Judul : Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat
Penulis : Chik Rini, Agus Sopian, Linda Christanty,
Coen Husain Pontoh, Alfian Hamzah, Eriyanto, Budi Setiyo, dan Andreas Harsono.
Penerbit:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Pantau)
Tebal : 326 halaman
“Jurnalisme sastrawi”
(literary journalism) adalah nama
sebuah genre dalam dunia penulisan yang memadukan liputan/reportase dan
penulisan dengan gaya sastrawi sehingga enak dibaca. Majalah Pantau – majalah
pertama yang aktif mengusung genre ini di Indonesia, sayangnya telah gulung
tikar sejak tahun 2003. Website-nya (http://pantau.or.id/) pun
telah berhenti berdetak sejak 2008 silam[i].
Syukurnya, ada sebuah peninggalannya yang telah dicetak dalam bentuk buku
dengan judul yang sama dengan genrenya yang diterbitkan pada tahun 2005 dan
dicetak ulang pada tahun 2008.
Bila
penulisan jurnalistik pada umumnya terkesan kaku, hanya menampilkan fakta maka
penulisan dalam genre ini jauh dari kesan kaku karena mampu menggambarkan emosi
dari orang-orang yang terlibat di dalamnya dan menggambarkan latar peristiwa
dengan lebih detil. Fakta adalah hal yang teramat penting. Sampai-sampai
majalah bergenre ini: The New Yorker yang
terbit sejak 1925 memiliki jabatan fact
checker dalam mekanisme kerja mereka yang khusus bertugas mengecek mengenai
kebenaran fakta yang dimuat dalam sebuah tulisan mulai dari ejaan nama-nama,
angka, warna, buku, argumentasi, kutipan, dan sebagainya guna memastikan
keakuratan fakta yang sampai di hadapan para pembacanya.
Ada
8 liputan mendalam nan memikat dalam buku ini:
Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft. Menceritakan tentang bagaimana
(fakta dan konflik batin) para wartawan Indonesia meliput dan menjadi saksi
pembunuhan orang Aceh pada konflik GAM vs militer Indonesia yang terjadi pada
tahun 1999.
Taufik bin Abdul
Halim. Menelusuri jejak petualangan terpidana kasus
teor bom di Jakarta (Agustus 2011) yang berasal dari Johor – Malaysia. Mulai
dari latar belakang keluarganya, pendidikan, dan aktivitas “jihad” pelaku yang
berpindah-pindah negara mulai dari Malaysia, Afghanistan, lalu Indonesia.
Hikayat Kebo.
Memaparkan kisah pemulung belakang mal Taman Anggrek yang dijuluki Kebo yang
memiliki sejarah moral yang amat kelam. Kebo tewas secara mengenaskan pada
bulan Mei 2001 karena dibakar rekan-rekannya sesama pemulung yang teramat
jengkel dengan ulah-ulah brutalnya. Tulisan ini juga membahas pengaruh media
terhadap tindakan penghakiman oleh massa yang kerap terjadi waktu itu.
Konflik Nan Tak
Kunjung Padam. Merupakan investigasi yang amat
mendalam mengenai sejarah Tempo sejak tahun 1960-an hingga tahun 200. Mulai
dari berdirinya, konflik antara manajemen dengan karyawan dan antara manajemen
dengan pemerintah, juga mengenai dua kali pembredelan yang dialami sepanjang
sejarahnya. Mewawancarai tak kurang dari 30 orang membuat liputan ini sangat
menarik.
Kejarlah Daku Kau
Kusekolahkan. Menampilkan sisi manusiawi tentara
Indonesia yang bertugas di Aceh. Penulisnya mengikuti pos-pos tentara di sana
selama dua bulan. Ia rela ikut ke mana saja tentara bertugas. Bahkan pada
penyerbuan kamp GAM pada dini hari. Penulis jadi sangat memahami kebiasaan
tentara, jenis-jenis kendaraan tentara beserta risiko menaikinya bila ada
serangan GAM, jenis-jenis senjata, jadwal keseharian, hingga karakter-karakter
mereka.
Koran, Bisnis, dan
Perang. Membeberkan bagaimana konflik di Maluku
mempengaruhi pemberitaan dan bisnis media. Juga sebaliknya, bagaimana pembagian
wilayah media berdasarkan daerah Islam – Kristen yang terpaksa dilakukan di
tengah krisis yang makin tajam juga mempengaruhi konflik antar-agama ini.
Orang-orang penting yang berada di balik Jawa Pos Grup disebut-sebut berperan
dalam hal ini.
Ngak-Ngik-Ngok.
Mengisahkan tentang sejarah grup musik Koes Ploes beserta konflik yang mereka
alami di zaman orde lama. Genre musik yang mereka usung ketika itu disebut
sebagai musik “ngak-ngik-ngok” dianggap bertentangan dengan budaya Indonesia
oleh pemerintahan Soekarno. Soekarno mengeluarkan instruksi untuk kembali
kepada kebudayaan dan kepribadian sendiri. Sampai-sampai suatu ketika ekspresi
mereka harus dikekang dengan cara melemparkan mereka ke penjara.
Dari Thames ke
Ciliwung. Adalah liputan mendalam beserta fakta-fakta yang
amat aktual mengenai bisnis air di Jakarta yang melibatkan dua “konglomerat air
raksasa tingkat dunia”: RWE Thames Water (Inggris) dan Lyonnaise des Eaux
(Perancis). Kedua konglomerat ini berperan penting dalam privatisasi dan
politisasi perusahaan air minum Jakarta yang awalnya melibatkan keluarga
Soeharto.
Membaca
buku ini seperti membaca kumpulan cerita. Ada narasi di dalamnya. Juga ada
penggambaran latar tempat yang hidup seperti pada halaman 1: Angin malam sekilas membawa bau amis dari
hamparan empang di seberang terminal. Di kejauhan, di atas belukar hutan bakau,
langit tampak memerah oleh semburan api raksasa dari beberapa tower di ladang
penyulingan gas alam cair milik PT. Arun LNG.
Kekuatannya
adalah fakta yang disajikan dengan sedetil mungkin untuk “merekonstruksi”
kembali kejadian dengan akurat dalam perspektif netral. Tak heran satu liputan
bisa makan waktu hingga berbulan-bulan bahkan hingga tahunan untuk
merekonstruksi kejadian apalagi bila sudah lama berlalu, butuh waktu yang lebih
lama lagi untuk melakukan investigasi.
Simak
secuil detil yang dipaparkan dalam tulisan Ngak-Ngik-Ngok pada halaman 243 –
244 ini:
Upaya pemerintah
memajukan kebudayaan nasional, terutama musik, didukung oleh Lembaga Kebudayaan
Rakyat (LEKRA) yang didirikan pada 17 Agustus 1950 dan sering dianggap sebagai
organisasi Partai Komunis Indonesia. Antara lain melalui konsepsi kebudayaan
yang dimuat di Lentera, lembaran kebudayaan harian Bintang Timur yang mulai
terbit pada 16 Maret 1962 dan ditandatangani sejumlah seniman seperti Sitor
Situmorang, F. Silaban, Pramoedya Ananta Toer, serta Henk Ngantung.Konsepsi
LEKRA didukung Lembaga Kebudayaan Nasional yang berafiliasi dengan Partai
Nasional Indonesia dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (LESBI) milik Pesindo.
Penelusuran
terhadap sejarah Koes Ploes ternyata juga membuahkan hal lain: pengetahuan
sejarah kondisi dunia musik saat itu. Benar-benar bukan pekerjaan mudah
menelusuri media lawas yang memuat informasi seperti ini.
Rekonstruksi
disusun berdasarkan wawancara dengan banyak orang dan melakukan riset terhadap
berbagai media yang pernah meliput peristiwa-peristiwa tersebut. Tak jarang
para penulis harus mendatangi kota-kota berbeda guna mengumpulkan fakta yang
terserak di banyak tempat.
Membaca
tulisan Konflik Nan Tak Kunjung Padam yang sangat padat seperti sedang menonton
film dokumenter yang menampilkan wawancara terhadap 30 orang. Hasil wawancara
terhadap ke-30 orang ini diramu dengan riset media menghasilkan rekontruksi
sejarah Tempo. Uniknya, bukan sekadar sejarah tetapi ada berbagai unsur
manusiawi di dalamnya. Hasil dari ungkapan perasaan dan pikiran banyak orang.
Membaca
fakta tentang Kebo dalam Hikayat Kebo menampilkan sisi manusiawi yang tak
terbantahkan, yaitu bahwa peran orangtua sangat besar dalam perkembangan diri
seseorang. Pada halaman 80 – 81, wawancara dengan Muah – istri Kebo menyiratkan
hal ini:
- Asal usul Kebo tak jelas.
- Saat berpacaran dengan Kebo, Muah sempat bertanya, “Lu kampungnya di mana? Orangtua Lu di mana?”
- “Di Dongkal. Cuma waktu kelas satu SD, saya ngikut truk berangkat ke Jakarta, terus bawa sarung sama ayam. Ayamnya nyolong punya orangtua saya. Ayam lagi angkrem (mengerami telur) diambil, buat ongkos. Sejak itu saya nggak pernah pulang,” jawab Kebo pada Muah.
Sejak
itu kehidupan Kebo tak jelas. Ia tumbuh menjadi pribadi yang beringas. Ia suka
menyiksa istrinya hingga berdarah-darah, main perempuan, pencemburu yang tega
memotong jari telunjuknya sendiri, suka mengancam menyakiti orangtua dan
saudara istrinya apabila ditinggalkan, juga
suka nabok dan mabuk. Saat-saat
terakhir hidupnya di dunia ditandai dengan perbuatan amoral yang dilakukannya
di biliknya, saat kemarahan menguasai dirinya, ia membakar bilik tersebut yang
tentu saja berakibat pada merambatnya api ke bilik-bilik lain di perkampungan
pemulung itu.
Sudah
tentu ada banyak rintangan dalam liputan seperti ini. Membutuhkan relatif lama
dari, dan tak mudah mewawancarai semua orang yang hendak dimintai
keterangannya. Taufik bin Abdul Halim dan Koes Ploes contohnya. Ada saat-saat
di mana Taufik dan salah seorang personilnya sulit diwawancarai karena sifat moody-nya. Atau gerakan tutup mulut warga
Aceh yang curiga kepada penulis yang hendak meliput kejadian di Simpang Kraft
itu. Atau saat fakta yang ditemukan dari beberapa sumber ternyata saling
bertentangan.
Sah-sah
saja bila para penulis menyelipkan argumen mereka dalam tulisan-tulisan dalam
buku ini karena argumen itu terbukti berdasarkan fakta detil nan akurat yang
mereka kemukakan. Misalnya saja pada halaman 292: “Semua orang butuh air. Ini komoditi yang dibutuhkan semua orang. Ini
adalah komitmen hidup saya. Saya mau pensiun di sini,” kata Simanjuntak. Saya
hanya diam tapi setuju pada ucapannya. Bisnis air, bila dikelola dengan modal
besar dan didukung kekuatan politik yang kuat, adalah bisnis yang menjanjikan.
Tak heran kalau Simanjuntak merasa aman.
Hanya
satu hal yang agak mengganjal dari buku ini: disain sampulnya terlalu kaku.
Seandainya didisain dengan lebih populer tentu lebih banyak orang yang akan
tertarik membacanya. Disain buku ini membuat orang berpikir isinya sekaku
disainnya padahal tidak. Konten buku ini tak hanya memikat dari data-data yang
disajikan tetapi juga begitu mengalir. Keindahan bahasanya membuat buku ini
terasa ringan.
Namun
demikian, buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang ingin belajar
jurnalisme sastrawi ataupun bagi mereka yang mencari bacaan ringan untuk
mengisi waktu senggang karena dibuat berdasarkan tujuh pertimbangan[ii]
mendalam yang dibutuhkan dalam membuat tulisan jurnalisme dalam bingkai narasi:
fakta, konflik, karakter, akses kepada para karakter, emosi, perjalanan waktu,
dan unsur kebaruan.
Makassar, 19 Juli 2012
[i]
JAKARTA (11 Februari 2003) -- Direksi Institut Studi Arus Informasi mengumumkan
bahwa majalah bulanan tentang media dan jurnalisme Pantau dihentikan
penerbitannya karena kesulitan keuangan. Direktur Utama ISAI Goenawan Mohamad
mengatakan bahwa struktur pembiayaan majalah Pantau --dengan liputan-liputan
yang panjang, honor relatif tinggi, foto/lukisan artistik, biaya liputan,
sementara permintaan pasar tipis dan pemasukan iklan sedikit-- mendorong
manajemen ISAI untuk menutup majalah ini setelah ia beroperasi selama dua
tahun.
[ii]
Robert Vare, pengajar non fiction writing
pada program Nieman Fellowship on
Journalism di Universitas Harvard, pernah bekerja untuk majalah The New Yorker dan The Rolling Stones.
Share :
subhanallah. Pertama: bunda lagi2 buat aku iri. Ingin belajar nulis lebih baik lg. Kedua: reviewnya mak nyossss sekali. Lengkap. Detil. Seperti isi bukunya. Ketiga: aku pengen baca bukunya bun. Dibeli dmna ya? Hehehe... *aku pengen belajar lagi tentang sastra* soon...
ReplyDeleteWalaah koq Iri :D
DeleteSaya baru belajar juga Ci. Sayang bukunya sudah tidak ada di toko buku, terakhir diterbitkan tahun 2008.
Tapi coba cek di www.penerbit-kpg.com mungkin masih ada
eh, bunda ini. Belajar itu bukan harus sm yg dah pandai sekali dan ahli sekali kan bun... Sm sapa aja boleh kan ya? :D Duuuuh, pengen ke tempat bunda deh bun, rasanya. Cerita2. Hehehe...
DeleteWaah kalo sudah pandai sekali mah saya bisa ngalahin Asma Nadia, Cici. Tapi nyatanya kan tidak? :D
DeleteAyuk ke Makassar ... :)