Bagian depan SD Inpres Karuwisi. Gotnya dipenuhi sampah. Tak ada papan nama sekolah. |
Tak sulit menemukan SD Inpres Karuwisi. Setelah berputar-putar sebentar,
saya yang diantar suami menemukan sekolah dasar yang terletak di sebuah gang
yang cukup sempit. “Buram”, itulah kesan yang tampak dari bagian depan gedung
sekolah itu.
Dari luar terlihat lapangan yang dikelilingi gedung-gedung sekolah yang rupanya
terdiri dari 2 sekolah. Empat buah gedung satu lantai berukuran kecil
mengelilingi sebuah lapangan yang dipakai bersama oleh SD Inpres Karuwisi 1 dan
SD Inpres Karuwisi 3. Tiga gedung merupakan bangunan sekolah, sementara gedung
yang paling kecil merupakan perpustakaan. Harus melalui kantin yang ditata
seadanya di meja dan dinding gedung untuk menuju lapangan sekolah. Kantin sederhana
itu terletak di gang yang terbentuk antara gedung perpustakaan dan gedung SD
Inpres Karuwisi 3.
Pekarangan sekolah |
Kantin yang ditata seadanya |
Dua gedung yang berdampingan |
Anak-anak sedang berbaris ketika saya tiba |
Sedikit celah antara perpustakaan dan sebuah ruang kelas, dijadikan kantin yang juga ditata seadanya |
Saat tiba di tepi lapangan, murid-murid SD Inpres Karuwisi 3 sedang
berbaris di koridor gedung sekolah mereka. Sesi-sesi dalam kelas telah usai. Di
seberangnya, di koridor gedung SD Inpres Karuwisi 1, ditempatkan peralatan
pengeras suara. Seorang panitia kelas Inspirasi berdiri di situ, memberikan
aba-aba kepada anak-anak. Guru-guru sekolah terlihat di sekitar pekarangan
sekolah, sedang menyimak. Sementara para panitia lalu-lalang, mengatur
kelancaran acara.
Anak-anak diformasikan berdiri bersaf-saf, memenuhi koridor SD Inpres
Karuwisi 3. Mereka dituntun untuk mengikrarkan JANJI ANAK MAKASSAR
bersama-sama. Janji yang mulia. Semoga terpatri dalam sanubari mereka.
Dengan sebuah instruksi, anak-anak itu secara bergantian menandatangani
sebuah spanduk yang ditempelkan di dinding. Setelah itu, carik-carik kertas
yang sudah bertuliskan cita-cita mereka diinstruksikan panitia untuk dimasukkan
ke dalam “kotak cita-cita”.
Siapa yang belum mengisi Kotak Cita-Cita? |
Tarisa serius membubuhkan tanda tangannya |
Sret ... sret .. sret ... 10 tahun ke depan, apa masih seperti ini tanda tangan mereka? :) |
Logo ini tertempel di salah satu gedung |
Sejumlah balon gas dibawa ke tengah lapangan. Tak terduga respon anak-anak
itu. Dengan agresif mereka berlarian ke arah panitia yang memegang balon-balon
gas itu dan merebutnya. Beberapa balon pecah, beberapa lagi terbang. Banyak orang
yang menyaksikannya bereaksi sama dengan saya: terkesiap, tertawa, lalu
geleng-geleng kepala.
Untung saja masih banyak balon gas yang bisa diselamatkan. Kotak cita-cita
diikatkan pada balon-balon gas itu. Setelah anak-anak menyanyikan lagu
Indonesia Raya dengan penuh semangat, semua yang hadir menyaksikan balon-balon
itu terbang, membawa cita-cita mereka menuju birunya langit. Mudah-mudahan
cita-cita mereka membumbung setinggi-tingginya diikuti ketinggian kegigihan
mereka kelak dalam mengejar dan merealisasikannya.
Saat melihat seikat balon gas dibawa keluar dari sebuah ruang kelas, saya yakin ini benar SD tempat Bunga bertugas (baca di kisah sebelumnya) |
Anak-anak berlarian, mereka berebut balon-balon gas itu |
Beberapa balon terbang |
Panitia mengumpulkan balon-balon yang tersisa |
Panitia menyatukan kembali balon-balon gas |
Balon-balon gas digabungkan dalam satu ikatan |
Menyanyikan lagu Indonesia Raya |
Mereka bernyanyi dengan penuh semangat |
Seikat balon gas yang membawa kotak cita-cita berisikan carik-carik kertas yang ditulisi cita-cita anak-anak SD Inpres Karuwisi 3 diterbangkan |
Saya sempat mengintip sebentar sebuah kegiatan dalam kelas, di mana seorang
presenter televisi menjadi pengajar profesinya. Berulang kali, anak-anak di
dalam kelas itu meneriakkan dengan penuh semangat, “CITA-CITA ... INSPIRASI ...
CITA-CITA ... INSPIRASI ...” Sang
presenter bersimbah peluh. Cuaca Makassar memang sedang teramat garang
akhir-akhir ini. Suhu pada siang hari bisa menunjukkan angka 36 derajat
Celsius. Namun demikian sang presenter tetap bersemangat menjalani “tugas”
terakhirnya di kelas itu.
Seorang presenter TV sedang bertugas mengajar |
Tak seperti sebelumnya, anak-anak ini membawa bibit-bibit tanaman di mana secarik kertas bertuliskan cita-cita mereka terikat ke lapangan. |
Saya tak menyaksikan prosesi di dalam kelas itu secara utuh karena
perhatian saya terpecah pada kegiatan di lapangan. Dari website dan facebook
Kelas Inspirasi, saya berkesimpulan relawan pengajar bertugas membuka wawasan
anak-anak golongan ekonomi menengah ke bawah mengenai keanekaragaman profesi
yang ada dan menyemangati serta menginspirasi anak-anak agar punya keinginan
mengejar cita-cita mereka.
Di meja-meja para murid terlihat aneka peralatan menulis yang sebagian
sudah dibagi. Pasti senang sekali mereka mendapatkan peralatan menulis baru dan
suntikan semangat tentang bagaimana meraih cita-cita mereka pada hari itu.
Seperti murid-murid SD Inpres Karuwisi 3 tadi, murid-murid SD Inpres
Karuwisi 1 juga diinstruksikan panitia untuk berdiri secara bersaf-saf di
koridor dan melalui prosesi yang sama dengan sebelumnya. Yang berbeda di sini, tidak
ada banyak balon gas yang membumbung tinggi lagi tetapi bibit-bibit tanaman
yang pada batangnya terikat secarik kertas bertuliskan cita-cita mereka.
Salah satu ruang kelas di SD Inpres Karuwisi 3 |
Saat sedang berdiri di depan sebuah kelas, 2 orang ibu guru melibatkan saya
dalam percakapan mereka. Kedua ibu guru ini sedang membicarakan tentang bibit
tanaman (yang diikatkan secari kertas bertuliskan cita-cita) yang diberikan
kepada murid-murid SD Inpres Karuwisi 1.
Apakah bibit-bibit tanaman itu akan dibawa pulang oleh anak-anak itu? Saya
tidak tahu. Kalau saja memang dibawa pulang, salah seorang dari ibu guru itu
berkata, “Berarti mereka harus membawa-bawa tanamannya. Kebanyakan dari
anak-anak ini tinggal di rumah kontrakan. Dalam satu atau dua bulan, mereka pindah
lagi.”
Dalam satu atau dua bulan pindah kontrakan lagi? Waduh. Pindahan adalah hal
yang heboh. Dalam kehebohan begitu, bisa saja bibit tanaman bukan merupakan
prioritas para orangtua dari anak-anak itu. Saya hanya menebak-nebak karena
membayangkan kalau saja bibit tanaman bukan merupakan prioritas mereka dan
tertinggal begitu saja, sungguh sayang.
Buku-buku yang masih terlihat baru. Seringkah ruang perpustakaan ini disambangi oleh anak-anak itu? |
Bagi saya dan bagi sebagian orang, tentu indah membayangkan memelihara,
memupuk, dan menyiram tanaman yang akan menjadi pohon cita-cita setiap hari dan
bersamaan dengan itu cita-cita anak yang memeliharanya turut tumbuh besar. Dan
jika tanaman itu tersia-sia? Sayang ya?
Saat anak-anak itu berkumpul di lapangan, saya tak mengikuti lagi
kelanjutan prosesi, kurang lebih sama dengan yang sebelumnya. Waktu sudah menunjukkan
pukul setengah satu lewat. Athifah sudah menelepon, melaporkan situasi krusial:
Afyad membuka celana dan diaper-nya,
lalu pipis di sembarang tempat. Tak ada yang bisa memakaikannya di rumah, Ato’
(kakek) belum pulang dari masjid. So,
it’s time to go home.
Makassar, 31 Maret 2013
Catatan:
- Website kelas Inspirasi: http://kelasinspirasi.org/
- Alamat facebook Kelas Inspirasi Makassar: https://www.facebook.com/KelasInspirasiMakassar.
- Masih ada kelanjutan tulisan ini, ditunggu yaa :)
Silakan disimak
juga:
Share :
Salam mbak Niar, lama tak berkunjung banyak ketinggalan info dari Makasar nih.
ReplyDeleteSemoga murid2 di Sd Karuwisitersemangati dan terbuka wawasan untuk masa depan mereka ya mbak... dan balon2 itu bagaimana nasib akhirnya ya? :D setinggi apa bisa terbang? Iya, semoga pohon cita2 mereka bisa terjaga.
Eh jadi ingat tandatanganku udah beberapa kali berubah sejak SD sampai sekarang, tapi yg terakhir awet dari SMA.
Hai mbak ... pa kabar Madagascar? Kata Madagascar selalu identik dengan Pinguin from Madagascar buat saya :)
DeleteAamiin, semoga cita2 mereka terbang tinggi dan kelak mereka bisa meraihnya :)
Kabar baik, semoga mbak Niar dan keluarga juga baik2 ya.. HAhahaha memang film kartun itu berhasil memperkenalkan Madagascar ke kita ya?
DeleteAmin
Sebelumnya pernah dengar, di pelajaran sejarah dulu mbak. Tapi film itu benar meyakinkan saya bahwa lokasi itu benar2 ada hehehe
Deletejadi ingat masa kecil di sekolahku
ReplyDeletekangen sama guru SD ku
Masa2 yang seru ya :)
DeleteAcung jempol untuk penggagas kelas inspirasi ini Niar..Yang namanya anak-anak ya, tak masalah sekolah dimana, kalau disuruh nyanyi atau dihadapkan pada mainan energi mereka tumpah semua :)
ReplyDeleteIya kak. Ide yang brilian ya? Anak2 selalu semangat :)
Deletesekolah SD yah? jadi inget masa-masa SD dulu :D
ReplyDeleteSeru yaa :)
DeleteInpres itu instruksi presiden kan. Tapi baru denger kali ini. Kalau inpres desa tertinggal sering denger.
ReplyDeleteOoh istilah SD Inpres? Itu istilah untuk SD bentukan pemerintah. Saya tidak paham kenapa tidak pakai nama SD Negeri. Biasanya yang pakai nama SD Inpres itu sudah ada SD Negerinya.
DeleteAda jamannya dulu, tahun 80-an SD diperbanyak oleh pemerintah. Tidak dibuat SD baru tetapi dibuatnya di dekat SD Negeri yang sudah ada. Nah SD2 itulah yang namanya SD Inpres.
balon-balon itu terbang, membawa cita-cita mereka menuju birunya langit
ReplyDeleteMudah-mudahan upaya kecil ini menginspirasi mereka untuk terus belajar ... apapun kondisinya ... apapun situasinya
sukses untuk kelas-kelas inspirasi lainnya
salam saya
Langkah kecil yang semoga berarti besar buat anak2 itu om Nh :)
Deletesemoga saja anak-anak itu sering mengunjungi perpustakaan ya
ReplyDeleteSemoga saja mbak
DeleteTrims Atas Kunjunganx di sekolah SD Inpres Karuwisi 3...Mudah- mudahan kelas inspirasi bisa berkelanjutan...
ReplyDelete