Saya tak memperhatikan dengan seksama bagaimana Marisa membawakan
materinya di depan anak-anak itu karena saya memilih memanfaatkan waktu dengan
berbincang-bincang dengan Rusda. Rusda dan Risna merupakan kakak-kakak
pendamping anak-anak di kampung pemulung itu dalam berkegiatan. Bulan Desember
tahun lalu, saya menyaksikan Risna berbicara di ajang TedX Makassar mengenai
kampung Pemulung Tamangapa (selengkapnya bisa dibaca di TedX
– Dari Pasar Hingga Surga Pemulung). Di Ajang inilah mata dan telinga saya
terbuka lebih lebar dalam menangkap realita yang ada di sana.
Sejak itu saya menyimpan rasa kagum yang besar kepada Risna dan
teman-temannya yang bergiat dalam memperhatikan kesejahteraan orang-orang di
kampung pemulung yang amat rentan dengan penyakit. Ajakan dari LeMINA – sebuah
LSM yang bergerak dalam bidang kesejahteraan anak memberi saya kesempatan untuk
melihat dari dekat anak-anak yang setiap harinya bermain dengan tumpukan sampah
ini.
Kakak-kakak pembina anak-anak kampung pemulung: Risna (jilbab biru tua) dan Rusda (jilbab merah) |
Maka saat melihat Rusda masuk ke dalam ruangan berukuran sekitar 24
meter persegi yang dipakai untuk kegiatan belajar menulis itu, saya langsung
mencari cara supaya bisa mendekati dan berbincang-bincang dengannya. Kharisma
yang terpancar dari aktivis-aktivis kegiatan sosial seperti ini selalu saja
menarik saya untuk mengamatinya lebih dekat. Berharap ada semangat atau apapun
hal positif darinya yang bisa saya serap.
Sesaat setelah komando terhadap anak-anak kampung pemulung diambil
Marisa, saya mendekati Rusda.
“Mereka penurut ya,” saya mencoba beramah-tamah.
Rusda tersenyum dan mengangguk.
“Tidak seperti dugaan Kami sebelumnya. Kami pikir anak-anak di sini akan
sulit diatur. Ternyata tidak juga,” kini saya dalam jarak yang amat dekat
dengan Rusda.
Rusda mengiyakan.
Kami pun bercakap-cakap. Saya menceritakan tentang IIDN Makassar, nama
komunitas yang saya bawa. Kelihatannya Rusda tertarik. “Gabung saja,” saya
memberikannya akun fesbuk saya dan komunitas kami. Saat Rusda menanyakan
bagaimana lagi caranya untuk menulis, saya mengajaknya membuat blog. Bagi saya,
sayang saja kakak-kakak pembimbing anak-anak ini tidak membuat blog yang
menceritakan tentang kegiatan sehari-hari anak-anak dan orang-orang dewasa di
kampung pemulung ini. Kalau cerita mereka dituliskan di blog dan disebarkan,
pasti bisa lebih banyak pihak yang terbuka mata dan hatinya lalu memberikan bantuan,
minimal menyampaikan simpati kepada mereka. Belakangan baru saya tahu bahwa
mereka sudah punya blog di http://yaptau.blogspot.com/ tapi sudah lama tidak di-update.
“Kalian selalu berkegiatan di sini ya?” saya bertanya. Rusda mengiyakan.
“Kalau sedang banyak-banyaknya, berapa anak yang biasa ngumpul di sini?”
tanya saya lagi.
“Bisa seratusan anak,” jawab Rusda.
Wow. Banyak juga ya.
Perpustakaan mini, di latar belakang. |
Uty (jilbab coklat) tengah bercakap-cakap dengan Risna |
“Biasa kalau banyak yang datang, Kami memakai tempat di dalam TPA,”
Rusda menambahkan.
“Ooh, di sana ada tempat yang
agak lapang ya?” saya menebak. Kembali, Rusda mengiyakan. Ingin rasanya melihat
tempat yang dimaksud itu.
“Jumlah semua anak ada lima ratusan, berasal dari empat kampung: Sakura,
TPA, Borong Jambu, dan Kampung Kajang,” ujar Rusda.
“Buku-buku itu sumbangan dari orang-orang ya?” mbak Aisyah ikut mengajukan
pertanyaan. Pandangan saya terarah di perpustakaan mini, dalam ruangan itu.
Aneka buku terpajang di rak-rak. “Itu diambil anak-anak dari mobil sampah yang
datang,” terang Rusda lagi.
Rusda sendiri, dahulu sama seperti anak-anak pemulung itu, bermain di
sekitar sampah. Sekarang gadis manis ini masih tinggal dengan orangtuanya, tak
jauh dari TPA. Ia masih berstatus sebagai mahasiswa di sebuah STIKS (Sekolah
Tinggi Ilmu Kesejahteraan Sosial) di Makassar.
“Semester berapa?” tanya saya.
“Masih semester empat Bu, tapi saya masuk tahun 2008,” ucap Rusda
terlihat malu-malu.
Saya tersenyum maklum. Memang banyak kendala untuk menyelesaikan kuliah
di zaman serba sulit ini. Walau demikian, saya percaya Rusda dan juga Risna
beserta kawan-kawannya masih akan tetap berjuang di tempat itu. TPA Tamangapa
Antang ini butuh kemilau dari mutiara-mutiara seperti mereka untuk kualitas
generasi muda yang lebih baik. Tetap berjuang ya Rusda dan kawan-kawan, jangan
pernah patah semangat. Semoga Allah meridhai kalian.
Makassar, 29 Juni 2013
Share :
waah... saluut...
ReplyDeletebukunya juga dari ngumpulin di tempat sampah...
Alhamdulillah masih ada orang yg persuli seperti mbak Niar dkk
semangat menulis..
ALhamdulillah, berkat inisiatif kawan di LeMINA, mas Insan, kami diajak kerjasama. TErnyata kerjasama yang menyenangkan
DeleteBiaya kirim paket ke Makasar berapa ya?
ReplyDeleteAku punya beberapa buku yg bisa dikirim ke perpustakaan mininya.
Sdh saya jawab di blognya ya mbak Reni :)
DeleteLSM yaa. saya pengeeen banget kerja di LSM
ReplyDelete*Inginnya banyak banget ya saya ini :p
pernah ikutan ngajarin anak2 di gang dolly baca tulis dan bikin puisi. rasanya seneng! pernah juga mendekat pada keseharian pengamen dan pengemis cilik di SBY, kasihan ...
Mereka mudah diatur ya? ah, pintarnya ...
jadi pengen ke Makasar, nemui njenengan dan ikutan kegiatan semacam ini ^^
Penasaran sama anak2 gang Dolly dan dirimu juga Tha :)
DeleteMungkin juga kami belum menemukan anak2 yang tingkat kesulitan diaturnya tinggi. Kalo yang hadir ini pinter2 :)
subahanallah,
ReplyDeleteMbak rusda dan mbak risna masih mau berbagi dengan anak-anak pemulung. Blog-nya nggak di update mungkin terlalu sibuk dengan dunia nyata mereka kak. Mendingan kalau misalnya mereka mau menulis, ditaruh di blognya kak niar aja. Jadikan kontributor aja kak di blog ini.
Sayang mas Hadi, bagusan mereka pake blog sendiri. Lebih bagus untuk menunjukkan kepada khalayak
Delete