“Untuk orang macam saya ini, bertemu editor itu seperti bertemu artis
idola,” begitu tutur saya kepada suami yang menjemput saya usai mengikuti ajang
Makassar International Writers Festival 2013 pada hari keempat.
Kalimat itu mungkin kelihatan berlebihan. Tapi begitulah adanya, untuk
orang-orang yang bercita-cita menerbitkan bukunya sendiri seperti saya ini.
Betapa tidak, posisi editor sangat berperan dalam proses terbitnya sebuah buku.
Sebuah kesempatan emas, MIWF pada tanggal 28 Juni yang lalu menghadirkan
3 orang editor pada acara bertajuk Opportunity
& Networking. Menariknya lagi, kak Lily Yulianti Farid (ehm, maafkan bila saya sok akrab ya Kak J) bertindak sebagai
moderatornya. Jadi, bukan hanya editor yang bagai artis idola bagi saya saat
itu, kak Lily juga. Jangan heran ketika usai menghadiri acara ini, anda membaca
twit saya, “Bertemu editor dan @lilyyulianti bagai bertemu artis idola.”
Dari kiri ke kanan: John McGlynn, Siska Yuanita, Anton Kurnia, Lily Yulianti Farid |
Kak Lily (festival director MIWF 2013) bersama Riri Riza (sutradara
terkenal itu) adalah penggagas Rumata’
– rumah budaya Makassar yang berada di balik layar terselanggaranya MIWF
dalam 3 tahun terakhir ini. Keikutsertaan saya pada MIWF tahun lalu tak lepas
dari peran kak Lily dalam meloloskan saya yang mendaftar untuk menjadi
partisipan pada saat menjelang dead line
pendaftaran. Sayangnya saya belum pernah bertemu dan memperkenalkan diri kepadanya
hingga hari itu.
Ketiga editor yang hadir sebagai nara sumber adalah John McGlynn dari
Lontar Foundation, ia sudah menerjemahkan banyak karya penulis-penulis
Indonesia yang bernuansa lokal kental ke dalam bahasa Inggris. Kemudian ada mas
Anton Kurnia dari penerbit Serambi, dan mbak Siska Yuanita dari penerbit
Gramedia. Ini kesempatan emas. Sayang sekali bila saya tak memanfaatkannya.
Selain para editor sebagai nara sumber, terlihat para penulis duduk di
bangku peserta. Beberapa dari mereka seperti M. Aan Mansyur – penulis kumcer Kukila
dan Benz Bara – penulis kumcer Milana urun berbagi pengalaman dalam proses
penerbitan karya mereka. Agustinus Wibowo – penulis Selimut Debu yang backpacker sejati itu, bahkan duduk
sederetan dengan saya di bangku paling belakang!
Yang dibahas dalam acara ini adalah bagaimana
supaya (calon) penulis mampu melihat peluang dan menjalin kerjasama dengan
penerbit untuk menerbitkan karyanya.
Fort Rotterdam yang asli, tempat berlangsungnya MIWF 2013 |
Menjual diri? Oh no, jangan
membayangkan tentang “menjual diri” yang hina itu. Ini tentang inisiatif
memperkenalkan diri kepada editor. Bens dan Aan menggunakan social media dalam hal ini. Memberanikan
diri untuk me-mention editor di
twitter adalah salah satu caranya. Persis sama dengan yang disarankan mbak
Riawani Elyta – penulis belasan buku ketika menjawab pertanyaan saya di inbox
facebook.
Kak Lily pun mengatakan demikian. Seorang (calon) penulis harus berani mengambil inisiatif untuk
memperkenalkan diri. Kak Lily menceritakan pengalamannya ketika mengajak John
McGlynn berkenalan di UWRF (Ubud Writers & Readers Festival) beberapa tahun
silam. Dengan pak McGlynn ini, hubungan kerja mereka bahkan berlangsung hangat
selama bertahun-tahun setelahnya.
Dalam menyasar penerbit yang pas dengan tulisan seorang (calon) penulis,
perlu diketahui prioritas penerbit tersebut.
Tiap penerbit punya ciri khas sendiri. Seperti ini pula yang disarankan
teman-teman di sebuah grup penulis di mana saya bergabung. “Jalan-jalan ke toko
buku. Cari tahu tentang penerbit-penerbit di sana. Tentang jenis naskah apa
saja yang mereka terbitkan,” begitu menurut mereka.
Kebanyakan penerbit di Indonesia tidak punya dana besar untuk
mempromosikan penulisnya. Oleh karena itu, penulis
harus berusaha memperkenalkan karyanya. Di antanya melalui social media. Oleh sebab itu pula, jauh
lebih mudah bagi penerbit dalam menerbitkan karya penulis-penulis yang namanya
sudah cukup dikenal ketimbang penulis baru, terlebih dalam jenis kumpulan
cerpen (kumcer). Namun ini bukan harga mati. “Kualitas karya tetap yang utama,”
tutur mas Anton.
“Pilih tema yang menarik. Tema CINTA biasanya ‘menjual’,” demikian
ungkap mbak Siska. Yup, tentang tema ini
memang tak boleh dikesampingkan. Khusus tema CINTA, memang tak pernah
kadaluwarsa di dunia ini.
Kursi peserta penuh, saya duduk paling belakang |
Karena menembus penerbit besar/mayor tak mudah, salah satu cara yang
bisa ditempuh adalah menerbitkan buku melalui penerbit indie. Ini tentu membutuhkan
modal dari penulisnya karena penerbit tak akan ikut campur mengenai konten
karya dan pembiayaan.
Hm, memang sebuah alternatif
yang menarik. Namun demikian baik penerbit mayor maupun penerbit indie, ada nilai
plus dan minus-nya bagi penulis. Semuanya harus disikapi dan diantisipasi
dengan sebaik mungkin.
Ini adalah pesan M. Aan Mansyur. Menurutnya, banyak penulis yang
melupakan editornya setelah bukunya terbit. Mereka kurang berterimakasih atas
jerih payah editor. Padahal dalam proses terbitnya sebuah buku, bukan hanya
penulisnya yang bekerja keras. Editornya pun demikian. “Editor itu akan
berdebat mewakili kita, mempertahankan buku kita jika dianggapnya layak terbit
di hadapan rapat penentu kebijakan di sebuah penerbitan,” demikian pesan
seorang teman penulis dalam sebuah kopdar komunitas kami.
Sebenarnya deg-degan luar biasa menunggu kesempatan bertanya kepada para
nara sumber. Tapi saya harus memberanikan diri. Penyakit minder dan gugup akut
harus sekuat tenaga saya singkirkan. Maka dengan bekal do’a nabi Musa, saya
segera tunjuk tangan ketika kesempatan bertanya untuk peserta kembali
dilemparkan oleh kak Lily.
Do’a nabi Musa memang membantu saya. Pelan-pelan kepercayaan diri saya
menguat sehingga saya berani maju dan memperkenalkan diri kepada kak Lily,
sekaligus menyampaikan ucapan terimakasih saya kepadanya atas kesempatan
menjadi penulis partisipan di MIWF 2012 (kisahnya tentang keikutsertaan saya di
MIWF 2012 bisa di baca di
sini). Saya pun berani bertegur sapa dengan Khrisna Pabichara, penulis terkenal yang menulis novel Sepatu Dahlan dan Surat
Dahlan itu.
Kemudian saya memberanikan “menjual diri”. Pembahasan tentang menjual
diri sebelumnya sungguh amat mendorong saya melakukan ini. “Kalau tidak
sekarang, kapan lagi? Kesempatan tidak datang dua kali,” saya membatin.
“Bagaimana peluang penerbitan
tulisan non fiksi?” itu pertanyaan saya.
Salah satu sisi Fort Rotterdam |
Saya biasa menulis esai di blog
ini. Hanya esai ringan, bukan yang berat-berat. Saya sering berkhayal,
andai ada peluang menerbitkan sebagian tulisan saya, pasti bahagia rasanya.
Memang jarang penerbit yang menerbitkan kumpulan esai. Saya tahu akan
mendapatkan jawaban bahwa “peluangnya
kecil”. Namun saya perlu mencari tahu, penerbit mana yang masih membuka
peluang itu, meski kecil.
Saya teringat tiga buah buku kumpulan esai karya Miranda Risang Ayu
terbitan Mizan yang saya koleksi. Saya juga punya satu buku kumpulan esai
terbitan Leutika. Ini pula yang membuat saya menaruh harapan bahwa peluang itu
masih ada.
Mas Anton yang menjawab pertanyaan saya. “Siapkan satu tema besar yang
menampilkan keunggulan naskah. Jangan percaya bahwa hanya penulis yang punya
nama yang bisa menerbitkan buku. Kualitas karya tetap yang utama. Dan jangan
menyerah,” begitu yang disampaikan mas Anton.
“Yeaay, walau kecil, peluang
itu masih ada di penerbit Serambi. Dan saya berkenalan dengan salah seorang
editornya!” hati kecil saya bersorak gegap-gempita.
***
Maka MIWF 2013 sore itu berlalu dengan amat manis. Semanis peluang kecil
yang terbuka dan alamat e-mail mas Anton yang berhasil saya kantongi di luar
ruangan. Do’akan saya ya teman-teman. Outline
(kerangka) calon buku sementara saya garap, siapa tahu segera bertemu
jodohnya.
Makassar, 21 Juli 2013
Share :
Namanya peluang tetap ada mbak, tetap optimis. seperti saya yang menggemari tulisan mbak Niar, hanya sayangnya saya belum bisa melihat wajah nyata orang yg saya sukai tulisannya... ups..!!
ReplyDeleteHahaha ... masih malu ketahuan wajahnya, mas Insan :D
DeleteAamiin, semoga
mantap nih kakak.. lanjutkan perjuanganmu kakak...
ReplyDeleteCumuungud dah ^_^
Cemunguuud .. makasih yaa
DeleteSemoga segera terwujud untuk menerbitkan buku essai.
ReplyDeleteAamiin. TErimakash mbak Niken
Deletesepertinya yang hadir penulis semua ya mb.. pengalaman yg tentunya sngt berharga..
ReplyDeletesukses ya mb !
Tidak semua juga penulis koq, pokoknya yang berminat dengan dunia tulis-menulis, biasanya kepingin hadir :)
DeleteAamiin semoga semua dimudahkan jalannya unntuk bisa menerbitkan buku
ReplyDeleteAamiin, terimakasih mbak Ade :)
DeleteWhuahh... Kakakku ini semakin keren saja.
ReplyDeleteSaya doakan, Kak, semoga si jodoh cepat ketemu jodohnya.
aamiinnn
Dan semoga saya juga cepat ketemu jodohnya, hihihihi
*masak kalah sama naskah sih.. :p
Aaamiin terimakasih do'anya Mirna. Semoga segera ketemu jodoh. Masak kalah sama naskah? #Eh :P
Deletesmoga bisa terwujud ya mbak...
ReplyDeleteAamiin terimakasih mbak
DeleteTerus semangat semoga hasilnya sesuai dengan apa yang dituju :D
ReplyDeleteTerimakasih :)
Deletemakin mantap ibu yang satu ini...
ReplyDeletesemangat, bu..
Berusaha mencari peluang, mas :)
Deletemenarik sekali, peluang dan motivasi untuk menulis mnjdi sebuah buku, smoga lekas bisa terbit dan bisa mnikmati karyanya
ReplyDeleteAamiin. Terimakasih pak :)
DeleteEh.. Fort Rotterdam itu benteng kan? Kok penampakannya mirip gedung kantoran?
ReplyDeleteBenar benteng mbak. Iya, dalamnya kayak kantoran begitu karena sudah direnovasi tapi tidak semua kooq. MAsih ada yang alami.
Delete