Analisis Media, adalah
tema pokok pelatihan yang dilaksanakan pada tanggal 18 Januari lalu. Materi
berat ini dibawakan oleh pakarnya, pak Muliadi Mau, yang berprofesi sebagai
dosen di UNHAS. Mengikuti pelatihan ini bukan jaminan saya sudah bisa melakukan
ragam analisis media yang diajarkan. Butuh berlatih lebih banyak lagi untuk benar-benar
menguasainya.
Sedikit ulasannya, saya
tulis di sini, menyusul tulisan-tulisan sebelumnya (Agar
Perempuan Membingkai Media dan Mencari
Tahu Posisi Perempuan dalam Media). Barangkali ada di antara teman-teman
yang menunggu tulisan ini, maafkan baru saya selesaikan hari ini.
Analisis Isi
Analisis
isi bertujuan mendeskripsikan karakteristik pesan media massa dan teks publik.
Ada 10 tahapan yang harus dilakukan untuk melakukan analisis isi:
- Rumuskan masalah (misalnya ada masalah kekerasan pada anak cenderung meningkat. Teori yang dipegang, misalnya: konten media akan mempengaruhi perilaku anak. Maka perlu dianalisis: apakah tayangan-tayangan kita mengandung kekerasan. Kekerasan, bisa dibagi 3 macam bentuk: secara simbolik, fisik, dan struktural).
- Tentukan populasi (dari populasi bisa menarik sampel).
- Tentukan sampel (ada banyak rumus dan tabel yang bisa digunakan untuk menentukan jumlah sampel).
- Tentukan unit analisis (apakah: 1. Unit fisik seperti buku surat kabar, radio. 2. Unit sintaksis seperti simbol, kata-kata, metafor, dan lain-lain. 3. Unit referensial seperti negatif atau positif. 4. Unit proposisional seperti jenis seruan. 5. Unit tematik, seperti topik)
- Buat kategorisasi (bisa merujuk pada konsep, teori, atau hasil penelitian sebelumnya atau bisa juga dibuat sendiri berdasarkan data. Contoh kategorisasi: favorable – netral – unfavorable, pro gender – netral – anti gender. Kategorisasi harus mutually exclusive).
- Buat sistem perhitungan (bisa dicari).
- Latihan coder (orangnya harus obyektif, independen).
- Lakukan coding sesuai definisi operasional dan kategorisasi (coding-nya harus kuantitatif: teruji validitas dan realibilitasnya. Validitas: bicara tentang apakah pertanyaan instrumen pengumpulan data sudah mewakili apa yang diteliti. Jangan masalahnya lain, pertanyaan yang diberikan lain. Reliabilitas: apakah alat ukur ini nanti setelah dipakai, setelah dikumpulkan hasilnya diperoleh. Kemudian kalau dipakai lagi dan hasilnya tetap konsisten seperti semula).
- Analisis data.
- Buat kesimpulan.
Analisis Framing
Analisis
framing adalah suatu metode riset yang digunakan untuk
mengkaji cara dan strategi media dalam melihat, menyeleksi, menyajikan, dan
menonjolkan realitas sosial di media massa. Jika analisis isi mencoba menguak pesannya saja, analisis framing mencoba menguak pesan dan bagaimana pesan itu dikemas/dibingkai oleh media.
Dalam menyajikan sebuah
realitas, wartawan
(seperti pun diri kita) sangat dipengaruhi oleh
frame referensinya. Dari bacaannya, dari temannya, atau dari
tayangan yang ditontonnya. Ini berpengaruh pada berita yang ditulisnya.
Kajian
isu perempuan dapat dianalisis dari 3 paradigma framing yang dikemukakan oleh D’Angelo (2002), yaitu: cognitive, congtructionist, dan critical. Dalam paradigma kritis,
khasnya bicara tentang dominasi
(kekuasaan patriarki, misalnya) dan ideologi. Ada 2 model analisis yang
diperkenalkan pak Muliadi, yaitu model R. Entman dan model Gamson.
Berita
yang kita baca atau tonton biasa bias oleh persepsi wartawannya. Ini terkait
oleh pencitraan yang ingin ditonjolkan juga. Ada berita yang begitu menghakimi
padahal belum ada putusan pengadilan. Ada yang terlalu berbau rasis,
menonjolkan etnis tertentu pada berita kriminal, atau selalu mengaitkan cara
berpakaian tertentu dengan terorisme.
Di
Makassar, pernah ada media yang memuat berita seolah-olah seorang perempuan
bercadar itu teroris yang hendak meledakkan bom. Padahal setelah beberapa hari
berturut-turut hal tersebut tidak terbukti. Malah yang terkuak adalah fakta
bahwa perempuan bercadar itu hendak kuliah S2 di sebuah universitas negeri. Penolakan
perempuan itu membuka cadarnya di hadapan orang yang bukan muhrim ditanggapi
berlebihan oleh beberapa orang.
Dalam
pemberitaan selama berhari-hari, tak pernah sekali pun korban diwawancarai.
Yang diwawancarai hanya beberapa orang warga dan polisi. Padahal keterangan
polisi bukan satu-satunya sumber kebenaran atau kesahihan fakta.
Amat
disayangkan, nama baik telah tercemar tapi perempuan itu tak menuntut balik
sang wartawan ceroboh itu padahal ia bisa menyatakan keberatannya melalui “hak
jawab”-nya sebagai korban. Orang lain yang bersimpati pun bisa mengajukan “hak
koreksi” kepada media yang memuat berita ceroboh itu. Kalau wartawan atau media
tak mau melayani maka korban bisa mengadukannya kepada Dewan Pers.
Mengomentari
kisah ini, pak Muliadi berkata, “Coba cek ke rumah wartawan itu, pelajari apa
bacaan-bacaannya. Pelajari teman-teman bergaulnya. Pelajari organisasinya. Dari
situ bisa kita ketahui, kenapa dia menulis berita seperti itu!”
Analisis Wacana
Media tidak netral. Itu fakta. Itu mengapa kita
harus kritis terhadap media. Pada awalnya analisis wacana hanya fokus kepada teks.
Belakangan, dalam perkembangannya pendekatan ini ternyata mengalami kelemahan karena
mencoba memaknai peristiwa hanya pada teks. Padahal dalam praktiknya teks tak
lahir begitu saja. Tentu ada prosesnya hingga lahirnya teks. Maka orang-orang ilmu
sosial mencoba memperluasnya menjadi kajian linguistik sosial dengan mencoba
pendekatan discourse analysis plus.
Ada
clue dalam membedakan antara analisis
isi, analisis framing, dan analisis
wacana:
- Analisis isi: apa?
- Analisis framing: apa dan bagaimana?
- Analisis wacana: apa, bagaimana, dan mengapa?
Analisis Wacana Kritis atau Critical Discourse Analysis (CDA) tidak hanya menganalisis wacana
dari segi kebahasaan (linguistik) melainkan juga dari aspek konteks, termasuk
di dalamnya praktik kekuasaan.
Sebuah berita tak semata-mata lahir tapi ia lahir karena
di dalamnya ada kepentingan. Bisa jadi kepentingan ekonomi, politik, atau
ideologi yang bisa saja disadari wartawan ataupun tidak disadarinya. CDA dilakukan untuk membongkar ideologi/kepentingan di balik berita.
Bila disadarinya, maka wartawan tak profesional tetapi ia sudah menjadi politisi.
Wartawan seharusnya menjadi komunikator profesional. Kalau lebih dari itu ia
sudah menjadi propagandis. Kalau tak disadarinya, maka wartawan telah menjadi
seorang ideolog.
Dalam isu perempuan, boleh jadi wartawan dipengaruhi oleh sosial budayanya. Cara
pandangannya masih maskulin atau patriarki, masih dominasi laki-laki,
belum berpihak kepada perempuan.
Pak Muliadi memaparkan 3 model analisis wacana,
yaitu: model Teun A Van Dijk, model Theo Van Leeuwen, dan model Sara Mills.
Setelah itu pak Muliadi menceritakan penelitian-penelitian yang pernah
dilakukannya, berdasarkan model-model analisis ini. Seperti:
- Kalau ada 2 yang bertikai, maka salah satunya tidak ditampilkan hanya satunya saja yang ditampilkan. Ini namanya strategi exlusion (eksklusi).
- Dalam strategi “pasivasi”, salah satu bentuk strategi exlusion, diberikan contoh ini: Misalnya beritanya: “Lagi, seorang wanita diperkosa”. Implikasinya: ia diperkosa tapi tidak ditunjukkan dalam berita siapa pemerkosanya, akhirnya pemerkosanya hilang dari wacana (discourse) maka amanlah laki-laki itu.
- Boleh jadi memasukkan orangnya tetapi menggunakan strategi berbeda pada keduanya. Misalnya perseteruan 2 orang. Keduanya dimintai keterangan. Dua-duanya muncul di dalam berita tetapi perlakuannya berbeda (strategi diferensiasi, salah satu bentuk strategi inclusion dalam model Theo Van Leeuwen). Contoh: misalnya sang wartawan jengkel kepada yang satu orang, dia menuliskan: “A yang selama ini dikenal sering melakukan perkosaan”
- Salah satu contoh strategi “kategorisasi” salah satu bentuk strategi inclusion dalam model Theo Van Leeuwen: menyebutkan asal daerah pelaku padahal tidak ada hubungannya asal daerah dengan tindak kejahatan individu. Misalnya “Pelaku perkosaan, mahasiswa asal kabupaten B.”
- Misalnya ada berita tentang penerimaan dosen di UNHAS, tidak ada benar-benarnya rangkaian proses penerimaan dosen itu. Belakangan diketahui ternyata penulis beritanya dulu mendaftar dosen di UNHAS dan tidak diterima.
- Pemilihan gubernur, media A pro pada calon C. Media B pro pada calon D. Usut punya usut ternyata ada hubungan antara redaktur dengan media A dengan calon C (teman lama).
Suasana diskusi peserta dengan bu Tenri Palallo Sumber foto: AJI Makassar |
Dalam analisi wacana, harus ditelusuri
lebih jauh: teks, wacana, dan analisis praktik wacana. Telusuri siapa penulisnya, ada hubungan apa dia dengan yang
ditulisnya, kebijakan redaksi, siapa pemilik media, siapa
redakturnya, dan sebagainya. Kedua struktur ini harus
diperhatikan dengan jeli:
- Struktur mikro: menyangkut detil kalimat, disain grafis termasuk penataan foto
- Struktur makro: judul berita, lead, dan isi berita.
Menarik
sekali materi ini. Beruntung sekali saya bertemu pakarnya, pak Muliadi punya
banyak pengalaman dalam meneliti media.
Hari
terakhir, 19 Januari 2014, bu Tenri Palallo membawakan materi berikut: Mengidentifikasi
Isu Perempuan dalam Media. Bahannya adalah tugas yang diberikan sehari
sebelumnya, melalui analisis masing-masing peserta terhadap isu perempuan pada
berita yang diperolehnya.
Diskusinya
menarik, peserta tidak berdiam saja di kursi masing-masing. Satu penekanan
diberikan oleh bu Tenri: kalau membaca
berita ada 3 komponen besar yang harus diperhatikan: UU, pemerintah, masyarakat.
Bu Tenri menekankan lagi: diharapkan
peserta sudah tahu apa targetnya ke depan setelah melalui pelatihan ini.
Diharapkan ada yang membedakannya dari perempuan lain.
Dua
kali menghadiri pelatihan yang khusus diselenggarakan AJI bagi komunitas perempuan
membuat saya makin menyadari bahwa perempuan memang harus kritis dalam membaca
isu perempuan di media. Karena perempuan bisa benar-benar mengerti tentang
kebutuhan perempuan atau tentang ketimpangan yang dimuat media sehingga bisa
memutuskan langkah yang tepat untuk bereaksi.
Makassar, 18 Maret 2014
Tamat
Share :
Materinya akan bermanfaat sekali buat saya. Ya, Ibu Mugniar akan menjadi Jurnalis hebat nih.. Semangat!
ReplyDeleteSaya tetap akan menjadi blogger mas Aan, kayaknya tidak mungkin menjadi jurnalis krn itu jalur profesional ^__^
DeleteJangan sampai prasangka dibuat sedemikian rupa agar nampak menjadi fakta ya mak
ReplyDeleteNah, bisa kayak begitu, Mak
Deletebener banget.. masih banyak media yg beritanya timpang..
ReplyDeleteIya ... mash banyak yang kayak gitu
DeleteNice article, sayangnya sekarang banyak media yang "memaksa" para profesionalnya untuk memuat materi yang "layak jual" saja. Justru materi yang berbobot seperti teknologi, kesehatan, pendidikan dan explorer hanya sebagai pemanis dan pelengkap karena memang sebagian besar pembaca mencari berita/materi yang banyak dibicarakan (bukan yang dibutuhkan). Saya setuju sama Bu Niar untuk tetap ngeblog aja, karena bisa profesional juga tetapi tetap independent.
ReplyDeleteYup .. benar pak Her. Karena mereka memang harus memperhatikan sisi komersialnya :)
Deletede ehh.. semangat ta' ikut2 pelatihan.. anak elektro ki juga kak? saya jugaaaa...
ReplyDeleteWaaaah ketemu yunior di dunia maya. Senangnya ternyata ada beberapa (mantan) anak Elektro yang suka ngeblog :)
DeleteSy kalo ada kesempatan, sy sambar saja Rahma. Tapi tidak juga selalu ikut. Tergantung kesempatan :)
Baru tahu aku Mak.. kalau ternyata ada banyak analisis yang dipakai ya? Materi pelatihan yang keren tuh Mak dan terimakasih sudah berbagi.
ReplyDelete*legggaaaaa..., akhirnya bisa mampir disini lagi* :D