Mengenang Rumbai 13 Tahun Silam

Suatu hari, di bulan Juli tahun 2001 …

Pukul sembilan malam. Saya tatap bayi mungil itu. Ini pengalaman pertama melahirkan. Bersyukur bisa melahirkannya normal, melalui proses induksi yang menyakitkan. Tapi wajah mungil itu … membuat semua sakit dan penat menguap.

Uuh. Begini rasanya melahirkan. Setelah dia lahir pun badannya rasanya sakit. Menggerakkannya susah. Proses melahirkan Affiq alot karena tali pusar meliliti lehernya sebanyak 3 kali. Sehingga setiap kepalanya mendesak jalan lahir, Affiq tercekik dan tertarik kembali masuk ke dalam rahim. Untung bidan Ola yang menangani persalinan tenang dan cekatan.

Ia melarang saya mengejan ketika keinginan kuat untuk mengejan muncul. Susah sekali melawannya. Namun tuntunan bidan itu berhasil melepaskan satu lilitan di leher sang bayi. Ketika lilitan tali pusar di lehernya tinggal dua, kepala Affiq berhasil keluar. Dengan sigap, bidang Ola menariknya lalu memotong tali pusar yang membelitnya.


Minas - Rumbai, Riau
Aih, ganteng sekali dia,” saya menatapnya takjub. Ia bayi paling ganteng sedunia meski bentuk kepalanya agak memanjang karena cukup lama mengalami prose keluar – masuk di jalan lahir.

Lebih dari tiga puluh menit ia dan saya berjuang. Tak heran bila bentuk kepalanya lonjong seperti itu. Rambut halus tepat di atas ubun-ubunnya pun habis. Ah, ia seperti profesor mungil.

Saya perhatikan bayi mungil itu. Sejak lahir matanya tak terpejam. Ia melihat ke sana ke mari. Rumah sakit ini menganut sistem rooming in. Bayi dan ibunya ditempatkan satu kamar selama dirawat di situ supaya mudah memberikan ASI. Di rumah sakit ini, ASI adalah kewajiban ibu, hak azasi bayi. Aduh. Tiba-tiba perut saya mulas sekali. Dengan susah-payah saya berusaha turun dari tempati tidur.

Saya tak memanggil siapa-siapa karena di rumah sakit perusahaan tempat suami bekerja, siapa pun tak boleh menemani pasien tidur di dalam kamar. Suami saya sudah pulang kira-kira tiga puluh menit setelah jam bezuk berakhir. Kalau nekad tak pulang, siapa pun akan diusir pulang oleh perawat walaupun itu suami dari pasien yang baru saja melahirkan. Apa boleh buat, sudah begitu peraturan perusahaan.

Beberapa orang memilih melahirkan di dekat keluarga mereka. Tak demikian dengan saya. Saya yakin akan bisa menjalani proses menjadi orang tua walau jauh dari keluarga. Saat itu kedua ibu kami datang untuk menunggui proses kelahiran cucu pertama mereka tapi setelah itu mereka akan kembali ke Sulawesi. Kami hanya perantau di kota ini.

Tak masalah. Kami memang hidup di tengah hutan yang ditata sedemikian rupa hingga menjadi sebuah kota mandiri. Segala fasilitas lengkap di sini. Mulai dari mini market sampai rumah sakit. Tapi saya siap menjalani kehidupan baru sebagai orang tua, hanya berdua dengan suami mengasuh bayi pertama kami. Saya sudah belajar cara memandikan bayi dan belajar parenting dari banyak media. Toh banyak kawan kami bisa melakukannya, insya Allah kami pun bisa!


Dan yang paling penting, alam di sini masih alami dan asri. Banyak pohon menjulang, semak belukar juga bertebaran. Meski sesekali ada yang membakar sedikit area hutan tapi tidak begitu mengganggu. Di beberapa tempat terlihat jejeran pohon tinggi yang rapat. Sesekali ada godaan untuk menengok ke dalam hutan yang mengelilingi dan menyelingi kota mandiri itu tapi saya tak pernah berani melakukannya. Karena biawak, ular, dan harimau masih mudah ditemui di sana. 

Oya, saya bahkan pernah melihat sekawanan babi hutan melintas. Gerombolan monyet liar malah pemandangan biasa di sekitar perumahan. Kalau ada gerombolan monyet, saya hanya berani mengamati mereka dari dalam rumah. Nah, Rumbai ini sungguh tempat yang asyik untuk membesarkan anak, kan?

Di bagian OBGYN (Obstetri & Ginecology), hanya ada 3 kamar rawat-inap. Saya kebagian kamar yang diperuntukkan bagi dua orang tetapi malam itu saya hanya sendirian di sana. Ranjang yang satunya tak ada yang menempati.

Tertatih-tatih saya melangkah ke kamar mandi. Untung kamar mandinya dekat, tak jauh dari ranjang saya. Argh, seperti orang yang sedang belajar jalan saja. Rasa mulas makin menjadi. Kalau tak segera masuk kamar mandi bisa-bisa saya “kebobolan” di situ.

Karena dikuasai oleh keterkejutan merasakan rasa mulas yang makin menjadi, tak terpikir oleh saya untuk memanggil perawat yang berada sekitar 5 meter dari kamar yang saya tempati. “Hanya ke kamar mandi sebentar,” begitu pikir saya.

Jelas saja saya salah tak memanggil suster. Saya belum tahu pengalaman melahirkan itu seperti apa. Saya baru mengeluarkan cukup banyak tenaga dan darah selama proses persalinan. Saat berada di dalam kamar mandi, pandangan saya tiba-tiba gelap. Saya berteriak-teriak memanggil suster. Dengan susah-payah saya mencari gagang pintu dan membukanya. “SUSTER TOLONG … TOLOOOONG,” teriak saya lemah.

Tak lama kemudian bergegas dua orang perawat menghampiri saya. Mereka menggotong saya dan menaikkan ke atas tempat tidur. Mereka membersihkan badan saya.

Bersamaan dengan itu Affiq semakin rewel. Mungkin ia merasa tidak nyaman di alam yang baru. Sejak lahir tiga jam lalu matanya belum juga terpejam. Perawat membawanya ke ruang bayi. Sepanjang malam itu, di antara tidur yang tak terlalu nyenyak, sesekali saya mendengar rengekan Affiq. Apa boleh buat, badan saya terasa lemas. Saya pun belum terbiasa dengan kondisi ini, kondisi pascamelahirkan.

“Affiq, sabar Nak. Kita akan bertemu esok pagi.”

Mengenang Rumbai, pinggiran kota Pekanbaru.
Tak kan pernah terlupakan,
pengalaman melahirkan dan mandiri pertama kali,
di tengah belantara Riau

Makassar, 16 Mei 2014






Share :

23 Komentar di "Mengenang Rumbai 13 Tahun Silam"

  1. kebayang mak hidup jauh dr kluarga ya apalagi baru punya anak...tp itu mendidik kita untuk mandiri ya...saya jg merantau ikut suami :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe iya Mak, pelajaran mandiri yang berkesan :)

      Delete
  2. Wiiihh...ikutan ngerasa nyerinya Mak. Luar biasa ya perjuangannya, pasti ttidak mudah ya Mak. Secara aku sendiri lahiran pertama ngerasanya manja gitu.*malu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hm .. "tidak mudah" tidak juga tapi bukannya mudah. Kalau memang niat mau menjalani, bisa koq :)

      Delete
  3. Oalahhh... pernah tinggal di Minas ya mak? Saya di Rumbai dulu. Pengalamannya mirip dg saya mak.

    Anak bungsu lahir di sana, jauh dari orang tua dan sanak saudara. Melahirkan ditambah dengan mengasuh 2 anak lainnya. Sendiri...

    Pengalaman yg mendebarkan dan berkesan.... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahh...Mak Mugniardan MakElly pernah tinggal di Riau yaaa....
      Mak Mugniar,saya tau betul peraturan ttg suami pun gak boleh nungguin itu,meski dari teman...hehehe.....
      Saya tinggal di Rumbai sejak 2002....masih hutan bgtt,tapi skrg sudah jauh berubah Mak....:)
      Salam hangat buat Mak Mugniar dan Mak Elly dari Rumbai...
      Semoga sukses GA-nya Mak.....

      Delete
    2. Waaaah senangnya ... ternyata mak Ellys pernah di Rumbai ya, jangan2 sezaman kita ya :)

      Mak Dhona, waah tahun 2002 saya dah balik ke Makassar, Mak. Tapi kalo ada rezeki kapan2 saya bisa ke Rumbai, bisa main ke tempat mak Dhona kan ya? ;)

      Delete
  4. Oh ya, sukses nge-GA-nya, ya Mak :)

    ReplyDelete
  5. aku juga pernah merasakan seperti ini mak, melahirkan di Papua hanya ditemani suami, tak ada keluarga yang menunggui karena jauhnya jarak. Tapi semua itu membuat saya jadi berani. Pengalaman mak Mugniar seolah kembali mengingatkanku tentang kenangan di Papua, TFS mak...semoga sukses dengan GA-nya

    ReplyDelete
  6. fotonya keren ya mbak ? itu 13 tahun silam berarti saya masih kecil dunk ...


    misi ... numpang minta komentar balik disini ya ?
    http://musikanegri.blogspot.com/2014/05/sosok-walisongo-teladan-sukses-berdakwah.html

    ReplyDelete
  7. Perjuangan hebat seorang ibu ya Jeng
    Saya nggak bisa membayangkan bagaimana ibu melahirkan saya pada jaman yang apa-apa belum lengkap seperti sekarang.
    Semoga berjaya dalam lomba
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ya Pakdhe .. jaman dulu serba sulit ...

      Delete
  8. waaah...betul-betul tak terlupakan ya mbaaa...sukses GAnya dan salam untuk mas Affiq :D..

    ReplyDelete
  9. Memang sangat luar biasa perjuangan seorang wanita, seorang Ibu yang melahirkan anaknya, apalagi saat itu anak pertama ya Mbak,..
    Boku keingat saat Istri melahirkan anak Boku, saat itu masih dalam perjalanan pulang, karena saat mau melahirkan istri Boku ada di kampung halaman. jadi Boku tidak bisa menungguin dan menyaksikan langsung kelahiran anak pertama Boku..

    ReplyDelete
  10. Assalamualaikum, salam kenal mbak.

    Maaf mbak, RUMBAI disini maksudnya apa ya? lalu hubungannya dengan melahirkan apa ya?

    Saya salut perjuangan seorang ibu untuk melahirkan anaknya, karena taruhannya nyawa

    ReplyDelete
  11. Bayangan saya tentang Rumbai tuh malah menakutkan, Mba. Apalagi sampai ketemu monyet liar. Hiiih, merinding. :D

    Sekarang profesor mungilnya sedang proses menjadi profesor senior. :)

    ReplyDelete
  12. Jadi Affiq orang Rumbai yah :D jadi ingat klo perjalanan dari Dumai ke Pekanbaru, kalau lewat Rumai langsung ingat Daya (Makassar), dekatmi kota :D

    ReplyDelete
  13. semoga Affiq jadi anak yg sholeh ya Bun.. :) amiiiin....

    ReplyDelete
  14. Mak Niar, persis banget dengan aku nih. Dulu saat melahirkan anak pertama, aku pede banget turun dari ranjang dan kepengin mandi. Boro2 mandi, baru nyampe kamar mandi langsung pingsan. Masih mending Mak Niar sempat minta tolong, aku langsung jatuh berdebam tanpa ingat sebelumnya tadi kenapa hehehee... dimarahi suster habis-habisan setelah itu :)

    Terima kasih telah berpartisipasi di GA ini Mak Niar, good luck.

    ReplyDelete
  15. Gimana tuh caranya, agar blog lebih banyak komentar ?
    obat kista sehat

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^