Saya
mendapat undangan menghadiri Diskusi Publik bertajuk Perempuan dalam Bingkai Media di Sulawesi Selatan pada hari
Sabtu, 10 Mei lalu. Ada 3 panelis yang menjadi nara sumber yaitu:
- Chusnul Mar’iyah, aktivis gender yang juga dosen ilmu politik, khusus datang dari Jakarta menghadiri acara diskusi ini.
- Muliadi Mau dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNHAS
- Yusuf AR, jurnalis senior
Panelis
pertama, Chusnul Mar’iyah memaparkan bahwa tidak
semua kegiatan perempuan dianggap “menjual” oleh media. Pada sebuah
kegiatan yang pernah ia selenggarakan yang dihadiri oleh 68 wartawan, hanya 1
yang kemudian menuliskannya.
Media
massa kurang mengangkat isu perempuan di media dan cenderung memperkuat bias
gender. Media juga membentuk cara pandang terhadap perempuan, contohnya pada iklan “kecantikan”.
Menurut
perempuan peraih gelar Ph.D pada tahun 1998 dalam bidang Ilmu Politik
dari The University of Sydney ini, media
kita kebablasan dalam kebebasan pres. Padahal itulah keberhasilan reformasi 1998.
Kebebasan pers di Indonesia tidak dibarengi dengan pertanggungjawaban.
Politik
di Indonesia, didominasi lelaki, itu realitanya. Rekrutmen jabatan di
partai-partai “tidak menyukai” perempuan yang kuat dalam adu argumen. Secara
ekonomi, kontribusi perempuan adalah 68% dari kekayaan di dunia (world bank)
tapi perempuan yang memilikinya kurang dari 1%, itu realita lain. Sementara kepentingan
media adalah kepentingan politik dan ekonomi, maka makin kentaralah dominasi
laki-laki.
Para nara sumber: Pak Yusuf AR (jurnalis), pak Muliadi Mau (dosen Jurnalistik, peneliti media, dan bu Chusnul Mar'iyah) |
Media
malah berperan besar dalam membentuk opini publik. Misalnya dalam membentuk
persepsi sensual. Atau misalnya dalam menuliskan kasus perkosaan, seolah-olah
perempuan saja yang disalahkan. Gerakan perempuan berharap media massa berperan
dalam mengangkat keadilan gender, bukan keterusan “bersifat maskulin” seperti yang
selama ini terjadi.
Sekarang
ini Chusnul yang pernah menjadi anggota KPU ini tidak mau lagi diwawancarai media kalau hanya untuk
menjawab satu atau dua pertanyaan saja karena media sudah punya frame sendiri, hasil wawancara tinggal
ditaruh di frame itu. Apa esensi
pembicaraannya malah tak dituliskan.
Chusnul
punya banyak pengalaman tak mengenakkan dengan media nasional. Mulai dari
pemberitaan yang memuji-muji sampai yang berisi fitnah. Harta yang tak
dimilikinya diisukan sebagai miliknya. Chusnul mengaminkan saja, semoga menjadi
kenyataan.
Ia
mengalami pembunuhan karakter dengan cara yang tak elegan. Media
mengomentarinya sebagai orang yang tak bisa mengurus diri atau tak bisa
mengurus rumah untuk menjatuhkannya. Padahal isi berita semacam itu sama sekali
tak ada relevansinya dengan hal-hal yang seharusnya diberitakan media.
Itu
media nasional. Kita mungkin beranggapan, media nasional saja demikian, apalagi
media lokal. Tapi rupanya Chusnul melihat tak demikian halnya dengan media lokal.
Ia berharap media di Makassar bisa menjadi barometer media yang punya
perspektif gender yang baik. Ia
melihat ada perbedaan di Makassar.
Saya
kira pertimbangan itu yang membuatnya sudi terbang dari Jakarta ke Makassar
walau hanya sempat istirahat selama satu jam selepas berbagai kegiatan yang
padat sehari sebelumnya karena melihat adanya itikad baik dari para jurnalis di
Makassar, melalui AJI (Aliansi Jurnalis Independen), penyelenggara diskusi ini.
Pemilik
media adalah pedagang. Pertumbuhan sangat cepat, kompetisi ketat. Stasiun tivi adalah penjual. Itulah
sebabnya warna maskulin (kelelakian) amat jelas dalam industri media. Satu lagi
contohnya, media televisi lebih mementingkan segmen pria “yang tidur larut
malam” ketimbang memfasilitasi tayangan
untuk membentuk citra perempuan yang mandiri dan percaya diri. Singkatnya, di negara kita, media
membingkai perempuan masih terbatas dalam hal fisik.
Makassar 14 Mei 2014
Bersambung
ke tulisan berikutnya
Share :
wah.. ternyata... padahal banyak perempuan hebat ya... :) yg di surat kabar itu juga yg disorot perempuan2 yg cantik dan kelas2 sosialita gitu.. belum pernah lihat perempuan misalnya ibu2 pendiri yayasan amal atau apa gitu ya.. :)
ReplyDelete