Tulisan ini merupakan
lanjutan dari tulisan berjudul
(merupakan tulisan ketiga dari tulisan yang
semula berjudul
BILA IBU JADI PEMIMPIN,
RAKYAT ADALAH KELUARGANYA)
Untuk menjadi pemimpin wilayah yang jauh lebih luas daripada keluarga
kecilnya, seorang ibu harus menggeser sudut pandangnya. Bila sebagai ibu ia
sudah memiliki visi, strategi, dan menjalankan fungsi kepemimpinan dalam negara
kecilnya, sebagai pemimpin wilayah ia harus
bersikap khas seperti Tri Rismaharini. Ia harus bisa memperhatikan
kesejahteraan warga termasuk anak-anak sebaik-baiknya dengan menganggap mereka sebagai keluarga/anak-anaknya sendiri.
Naluri perempuan yang dimiliki seorang perempuan pemimpin bukan hanya
bisa menyebabkan bulir-bulir air matanya turun karena empati yang begitu
mendalam dirasakannya tetapi ia juga harus bertekad baja menyelesaikan
permasalahan yang ada.
Perkembangan zaman menuntut berbagai perkembangan terjadi. Perkembangan
teknologi di seluruh dunia berkorelasi dengan perkembangan dunia pendidikan.
Namun bagaikan dua sisi mata uang, perkembangan teknologi juga menimbulkan
aneka dampak negatif. Dampak negatif itu menjadi begitu berat bila dirasakan anak-anak,
perempuan, dan kaum difabel.
Sebagai pemimpin, seorang perempuan baiknya fokus pada ke-6 poin di
bawah ini. Keenam poin tersebut amat membutuhkan penanganan yang serius agar
para perempuan dan anak-anak bisa hidup dengan tenteram:
Sumber: hrpeople.monster.com |
#1 Pelecehan Seksual Kepada
Anak-Anak dan Perempuan
Bulan April ini, Indonesia digemparkan oleh berita pelecehan seksual
kepada siswa Taman Kanak-Kanak di Jakarta International School. Keamanan yang
demikian ketat diberlakukan pihak sekolah ternyata tak menjamin kejahatan tak
terjadi di dalam lingkungan sekolah.
Sungguh biadab, petugas-petugas kebersihan melakukan sodomi kepada seorang
siswa TK hingga menyebabkan si anak terjangkit penyakit herpes. Pihak sekolah belum
menunjukkan keseriusan mempertanggungjawabkannya. Si anak trauma. Ibunya
menanggung duka tak terkira. Untungnya 2 pelaku bisa tertangkap.
Polisi menemukan flash disk berisi produk pornografi milik salah satu
tersangka. Ia kecanduan pornografi. Pemeriksaan
“Ini bencana nasional! Data yang kami pegang menunjukkan kekerasan
seksual pada anak terjadi di dua belas provinsi di dalam lingkungan sekolah,”
seru Ely Risman, psikolog dan peneliti kasus-kasus kekerasan seksual terhadap
anak-anak dalam acara talk show televisi
“Indonesia Lawyers Club” pada tanggal 22 April 2014.
Masih menurut Ely Risman, pecandu pornografi seperti ini mengalami
kerusakan otak di atas alis kanan. Mereka sekilas terlihat normal tapi
sesungguhnya memiliki gangguan yang berbahaya.
Pornografi begitu mudah diakses di zaman ini. Kecanggihan gadget memungkinkannya. Nafsu-nafsu
hewani dilampiaskan di mana-mana, bahkan di dalam kendaraan umum. Siapa saja
bisa menjadi korban, entah itu anak-anak, mahasiswi, atau perempuan baik-baik
lainnya. Entah di mana nurani dan harga diri para pelaku hingga begitu mudah dikendalikan
oleh libido.
Para pelaku kejahatan seperti itu tak cukup bila hanya dihukum 5 – 15
tahun seperti yang tertera pada pasal 81 KUHP. Mereka layak mendapatkan hukuman
yang menimbulkan efek jera karena telah melakukan kejahatan moral yang
dampaknya tak terukur terhadap korbannya.
#2 Perdagangan perempuan
dan anak
Kesulitan ekonomi dewasa ini menimbulkan banyak kreatifitas dalam
mencari nafkah. Berbagai industri kreatif bermunculan, mulai dari skala kecil
hingga besar. Orang-orang yang over kreatif
bahkan memperdagangkan perempuan dan anak-anak!
Seorang warga negara Indonesia di New York, Shandra Waworuntu pada tahun
2001dijadikan pekerja seks oleh sindikat perdagangan manusia yang menjeratnya
dengan iming-iming magang di sebuah hotel.
Saat itu krisis ekonomi sedang melanda Indonesia, Shandra baru
diberhentikan dari bank tempatnya bekerja. Berbekal selembar tiket, visa, dan
sejumlah uang, Shandra berangkat ke AS untuk merambah dunia kerja baru. Namun,
sejak hari pertama menjejakkan kaki di AS, Shandra dipaksa menjadi pekerja seks
komersial di sebuah rumah bordil di kota New York. Shandra berpindah-pindah
tempat dan kota hingga akhirnya berhasil melarikan diri melalui jendela kamar
mandi. FBI menindaklanjuti laporannya berdasarkan catatan harian yang dibuat
Shandra.
Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Republik Indonesia pada bulan
Maret lalu mengungkap jaringan perdagangan manusia yang mengirim 9 WNI untuk
menjadi tenaga kerja ilegal di Guangzhou, Cina.
Mereka yang di bawah umur pun kerap menjadi sasaran perdagangan manusia.
Pada bulan Januari lalu, terungkap kasus perdagangan 6 perempuan di bawah umur
asal Brebes, Jawa Tengah. Pada bulan Januari lalu Polresta Medan berhasil
mengungkap perdagangan bayi yang dilakukan oleh seorang bidan bersama suaminya.
Bayi yang diperdagangkan berasal dari seorang PSK di Batam.
Entah mengapa kreatifitas macam ini seperti sulit habisnya. Dibutuhkan
penanganan yang serius dalam menanganinya.
#3 Peninjauan kembali proses
belajar-mengajar di sekolah
Kurikulum pendidikan sering berganti tapi pelaksanaannya di lapangan
nyaris tak berubah secara signifikan. Banyak guru yang bingung dengan perubahan
kurikulum. Walaupun secara tertulis perubahan itu tampak esensial namun belum
tentu demikian pada pelaksanaannya karena belum tentu kemampuan guru memadai
untuk mentransfernya kembali kepada anak-anak berdasarkan “kemauan” pembuat
kurikulum. Ibaratnya guru harus melukis lengkap sebuah pemandangan hutan di
atas kanvas berbingkai, ia hanya mampu memasang bingkai dan membuat sekadar
sketsa saja.
Setiap hari anak-anak mulai murid kelas 1 sekolah dasar harus membawa
tas berat berisi perlengkapan sekolahnya namun belum tentu dalam sehari guru
mampu memberikan semua bahan pelajaran secara optimal. Akibatnya belum tentu di
akhir semester siswa menguasai semuanya.
Yang harus dipelajari di sekolah amat banyak padahal yang akan ia
terapkan kelak setelah usai menempuh jenjang pendidikan dan memasuki dunia
kerja tak sebanyak itu. Waktu bermain dan bersosialisasi mereka dengan
sekitarnya pun berkurang karena harus mengerjakan berbagai tugas dan
mempelajari aneka mata pelajaran.
Padahal bila diingat-ingat, bersekolah pada tahun 80 – 90-an tak sesulit
itu tapi toh mutu luaran institusi
pendidikan di masa itu tak menjadi bodoh. Mengapa tak bercermin saja pada
masa-masa itu? Pada masa di mana siswa-siswa sekolah dasar tak perlu membawa
ransel berat ke sekolah mereka tapi tetap mampu berprestasi dalam segala bidang?
Belum lagi mengenai jenjang pendidikan tinggi. Memang sekarang
daerah/swasta dimudahkan dalam pendirian intitusi pendidikan tinggi. Tapi mutu
luarannya belum tentu bisa bersaing dengan instansi negeri terkemuka yang ketat
seleksi tes masuknya.
Jurusan-jurusan yang dibuka saat ini pun beragam padahal lapangan kerja
yang tersedia tak sebanyak jumlah luaran perguruan tinggi yang tak terserap
dunia kerja. Mengapa tak meninjau kembali kebijakan mengenai jenis-jenis
jurusan yang boleh menerima mahasiswa baru? Mengapa membiarkan banyak orang
mengeluarkan uang puluhan juta rupian dan membiarkan mereka menaruh harap untuk
jenis-jenis jurusan yang akan sulit menemukan lahan kerja?
Bukan hanya hal-hal itu, masih banyak lagi yang perlu diperhatikan
mengenai dunia pendidikan kita. Masih banyak pekerjaan besar yang harus
dilakukan untuk menjamin pendidikan memang menghasilkan manusia-manusia yang
bermanfaat bagi sesamanya dan bagi negaranya karena pendidikan kita masih
terlalu terfokus dalam bidang kecerdasan intelektual sementara di dunia kerja
dan di kehidupan nyata, pendidikan intelektual bukanlah segala-galanya. Untuk
menjadi manusia bijak yang mampi menyikapi segala permasalahan hidup, seseorang
harus juga memiliki kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional yang bagus.
#4 Pendidikan teknologi dan
infrastruktur yang memadai bagi ibu-ibu
Ibu adalah pendidik utama anak. Kebutuhan pembelajaran ibu tak mudah
didapatkan hanya dari media cetak. Butuh internet untuk melengkapinya.
Di Kumpulan Emak-Emak Blogger (KEB), para perempuan saling berbagi lewat
tulisan. Secara tak langsung, kebiasaan mereka menulis apa saja turut
mencerdaskan sesamanya.
Aneka wawasan diperoleh dari saling mengunjungi blog-blog sesama
anggota. Berbagai hal dibagi dalam bentuk tulisan. Mulai dari cara menjaga
keharmonisan suami – istri, menjaga kehamilan, mengatasi permasalahan selama
hamil, pengetahuan mengenai melahirkan, merawat bayi, merawat anak usia balita,
merawat anak usia sekolah dasar/remaja, bagaimana menghadapi konflik
rumahtangga, konflik dengan sesama, tips parenting,
pengetahuan mom preneur, dan lain
sebagainya.
Bila mereka yang tinggal di Jawa bisa ngeblog dengan lancar walaupun
tinggal di pelosok-pelosok desa, tak demikian halnya yang tinggal di Sulawesi.
Infrastruktur yang tak memadai menjadi halangan berarti para ibu untuk ngeblog
walaupun semangat di dada begitu membara.
Kaum ibu Indonesia perlu mendapatkan akses internet yang memadai agar
bisa terus mengembangkan dirinya tanpa perlu keluar rumah. Kementerian
Komunikasi dan Informasi memang telah mulai menyelenggarakan pemerataan akses
internet melalui program ICT USO (Information Communication Technology
Universal Service Oblogation) namun masih perlu program ini didorong dengan
memberikan kesempatan pihak lain untuk berinvestasi demi teknologi yang memadai
dan murah bagi masyarakat.
Selain itu para ibu perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai
penggunaan teknologi. Bukan hanya untuk pengembangan dirinya, juga agar bisa
memproteksi anak-anak mereka dari dampak buruk internet yang saat ini mudah
sekali terjadi.
Membekali diri dengan teknologi pun perlu karena media tak bisa
memberikan semua kebutuhan pembelajaran dan pemberdayaan diri perempuan maka
perempuan sendiri yang harus bisa melakukannya, dengan saling berbagi melalui
internet. Bisa dengan menggunakan blog ataupun media-media sosial.
Perempuan bisa pula mendukung gerakan massa melalui internet, contohnya
dengan menandatangani petisi di change.org untuk kebaikan bangsa ini. Gerakan
massa bisa digunakan untuk mengontrol media main
stream agar obyektif dan edukatif dalam menyajikan berita dan hiburan.
#5 Mengendalikan mutu
siaran televisi dan media lain
Mutu siaran televisi terutama yang tayang di jam-jam premiere sekarang memprihatinkan.
Terlihat adanya kemiripan pada banyak acara. Hiburan dengan format tidak jelas
karena isinya campur-campur.
Stasiun televisi begitu mengindahkan rating.
Padahal siarannya yang rating-nya
tinggi tidak pernah sampai ditonton separuh warga negara Indonesia, angkanya
kira-kira puluhan juta[i]. Jauh
lebih banyak yang tak menonton acara tersebut. Kalaupun menonton, apa iya
semuanya menontonnya sepanjang durasi tayangan, tidak memindah-mindahkan channel?
Rating dan share seolah mendikte selera penonton.Bila kondang di stasiun tivi
sana maka stasiun tivi sini menduplikasinya. Industri media seolah “menciptakan
regulasi” atau indikatornya sendiri melalui rating
dan share yang jauh lebuh kuat
dari semua regulasi yang ada di dunia penyiaran. Kondisi yang sama juga berlaku
untuk media cetak (dari perhitungan oplah) dan media online (dari segi popularitas dan kunjungan).
Adalah kenyataan bahwa media-media besar yang kebanyakan beredar
nasional (79 stasiun televisi, 66 stasiun radio, 318 media cetak, dan 8 media online) dimiliki oleh hanya 12 kelompok
perusahaan[ii], yaitu:
Global Mediacomm (MNC), Jawa Pos News Network, Kelompok Kompas Gramedia, Mahaka
Media Group, Elang Mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, Media Group,
MRA Media, Femina Group, Tempo Inti Media, dan Beritasatu Mediaholding.
Sebagagi industri, media tidak lagi memelihara tujuan utamanya dalam
beraktifitas: bonum publicum (kesejahteraan
bersama). Media seharusnya mampu memediasi publik, kontennya harus
merefleksikan keberagaman masyarakat. UU Penyiaran dan UU Pers sebenarnya mampu
memenuhi hak warga atas keberagaman konten namun kenyataannya tak demikian.
Kepentingan politik dan kepentingan ekonomi mengalahkan otoritas yang ada.
Perempuan, anak, dan difabel merupakan kaum yang terpinggirkan dalam
penyajian konten media. Walau perempuan merupakan salah satu dari 3 golongan
yang mendapat perhatian media menurut survey Mark Plus di 10 kota besar, pada
kenyataannya penggambaran perempuan di media cenderung terdistorsi maknanya.
Dalam iklan misalnya, perempuan ditampilkan dalam konstruksi yang memanipulasi
keadaan yang sebenarnya. Bukan hanya fungsi dan nilai guna sebuah produk yang
ditonjolkan tetapi bisa berupa citra diri individu, gaya hidup sekelompok
orang, dan kepuasan (dari perspektif laki-laki).
Berdasarkan temuan Aliansi Jurnalis Independen/AJI (2011), di
koran-koran: dari 195 berita tentang
isu perempuan, 145 didasarkan hanya pada peristiwa/peringatan tertentu
(contohnya Hari Kartini dan Hari Ibu) dan 50 sisanya berdasarkan pada gagasan (enterprise reporting), sementara topik
utamanya adalah kekerasan (seksual) sebanyak 43 item. Komnas Perempuan (2012) menemukan pula hal yang serupa: dari
1.210 berita tentang perempuan, fokus utamanya adalah kekerasan (seksual),
sebanyak 346 berita. Ini menunjukkan bahwa “liputan enterprise” tentang isu
perempuan sangat jarang padahal perempuan membutuhkannya.
Tak beda jauh dengan studi AJI pada tayangan televisi (2011). Dari 124
berita tentang perempuan, 37 tentang kekerasan. Sementara 86 lainnya didasarkan
pada peristiwa/peringatan tertentu.
Ini menunjukkan bahwa tak mudah bagi perempuan mendapatkan haknya untuk
mendapatkan berita yang mampu memberdayakan dirinya dari media main stream. Olehnya itu perlu kebijakan
yang tepat dan tekad yang kuat untuk memberlakukan keberagaman konten yang
mendukung prespektif gender.
Begitu pun konten yang mendidik anak-anak, jumlahnya minim sekali. Ambil
contoh kecil, lagu-lagu anak yang memang sesuai untuk usia anak-anak, sekarang
tak ada lagi tempatnya di televisi. Anak-anak dibius dengan lagu-lagu cinta ala
remaja. Pada jam-jam di mana sebagian besar anak Indonesia sedang terjaga,
acara televisi didominasi dengan acara-acara joged-joged yang tak jelas
formatnya, mirip-mirip pula.
Gaung AFTA (ASEAN Free Trade Area) tak ada di televisi kita. Padahal
tahun 2015 era AFTA terbuka. Orang-orang dari negara-negara ASEAN lain akan
berdatangan dan bersaing merebut pangsa pasar kerja di Indonesia. Ironisnya,
anak-anak kita saat ini masih terbius dengan tayangan dan sinetron tak bermutu.
Ibu-ibu mereka pun dibius dengan sinetron dan infotainmen yang juga tak bermutu
Padahal urgent sekali untuk
menyebarluaskan perihal AFTA. Stasiun televisilah yang bisa menjangkau
pelosok-pelosok desa agar anak-anak bangsa ini bisa segera bersiap untuk
menghadapi persaingan yang semakin berat di masa mendatang. Stasiun televisi
pula yang mampu menjangkau para ibu mereka agar bisa membantu anak-anak mereka
untuk mempersiapkan diri.
#6 Mengakomodir kebutuhan
para difabel
Media sering menampilkan tayangan yang menampilkan para difabel dengan
mendramatisirnya. Menggambarkan kehidupan yang sulit dan menyedihkan padahal pada
kenyataannya tak demikian. Banyak difabel yang tangguh tapi sisi ini kurang diekspos.
Ada pula yang menampilkannya sebagai bahan olok-olok seperti sinetron
komedi situasi berjudul 3 Mas Ketir yang pernah tayang tahun 2010 lalu. Tiga
difabel berbeda digambarkan sebagai orang-orang yang bermasalah yang mengundang
tawa. Untungnya atas desakan sejumlah organisasi difabel dan sebuah gerakan
massa di facebook, tayangan ini akhirnya
dihentikan.
Dalam hal lapangan kerja, pendidikan, dan akses fasilitas publik (misalnya
di jalan dan kendaraan umum) pun para
difabel layak mendapatkan hak yang sama dengan orang lain agar mereka bisa
hidup mandiri.
Agar tak mendapatkan diskriminasi media baiknya kerap memberitakan
hal-hal yang proporsional tentang difabel juga mengedukasi masyarakat. Kata
“cacat” jangan digunakan lagi, ganti dengan kata “difabel” yang berasal dari
kata different ability (berkemampuan
berbeda).
Hapus kesan bahwa difabel itu merasa terbebani dengan keadaannya karena
sesungguhnya mereka tak merasa demikian. Perlakukan mereka agar bisa hidup
berdampingan secara wajar dengan semua orang.
Makassar, 5 Juni 2014
Catatan: Daftar referensi saya sertakan di tulisan terakhir
[i] Berdasarkan bincang-bincang saya
dengan seorang pegawai stasiun televisi.
[ii] Nugroho, Y., Siregar, MF., Laksmi,
S. 2012. Memetakan Kebijakan Media di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia).
Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami Kebijakan dan Tatakelola
Media di Indonesia Melalui Kacamata Hak Warga Negara. Kerjasama Riset antara
Center for Innovation Policy and Governance dan HIVOS Kantor Regional Asia
Tenggara, didanai oleh Ford Foundation. Jakarta: CIPG dan HIVOS, dinukil dari
halaman 53
Share :
difable juga bisa setara ya mbak
ReplyDeleteIya mbak Lidya :)
Deletetulisannya bagus dan lengkap, mak. dijadiin buku aja kali...
ReplyDelete"difabel itu merasa terbebani dengan keadaannya karena sesungguhnya mereka tak merasa demikian" mungkin orang tua lah yang 'merasa' terbebani dengan anak2 mereka yang difabel, salut untuk orang tua yang merawat mereka tanpa keluh kesa.
ReplyDeleteApa kabar mbak, lama ga kemari :)
Subhanallah ulasan yang mencerahkan... Salam blogwalking dari Pulau Dollar
ReplyDelete