Judul : Mei Hwa dan Sang
Pelintas Zaman
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : Penerbit Indiva
Cetakan : Pertama, Januari 2014
Tebal : 368 halaman
Ukuran : 19 cm x 12,5 cm
ISBN : 978-602-1614-11-2
Novel ini berbicara
mengenai dua lini masa yang dilalui oleh dua orang yang berbeda. Ada lini masa
milik Mei Hwa, mahasiswi Kedokteran keturunan Tionghoa yang cerdas dan tertutup
yang berasal dari keluarga pengusaha kaya-raya. Yang satunya adalah lini masa
milik Sang Pelintas Zaman yang cantik dan berasal dari keluarga
ningrat-religius.
Mulanya alur
kehidupan Mei Hwa (Cempaka) berjalan sesuai dengan yang ia harapkan walaupun
kerap menerima sentilan-sentilan “hanya” karena ia keturunan China (bukan
Cina). Hal seperti ini sudah biasa baginya: “Kata
Pak Rektor, semakin bagus, karena selain mahasiswa teladan, kau juga China.”Karena
aku China? Lagi-lagi karena aku China. Aku diam-diam mengeluh. Memangnya kenapa
kalau aku China? (halaman 91).
Namun kehidupan Cempaka
yang tenang menjadi porak-poranda setelah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Keluarganya tercerai-berai dan ia sendiri mengalami kejadian yang teramat pelik.
Ia menjadi sangat membenci laki-laki yang sebenarnya amat dicintainya karena
menganggap lelaki itu turut berperan dalam kejadian itu. Dalam keterpurukan
berkelebat tanya di benaknya, mengapa reformasi meminta begitu banyak tumbal?
Saking beratnya
cobaan yang dialami, Cempaka merasa tidak hanya menjadi manusia. Sesekali ia berubah
menjadi rase, kera sakti dan burung kutilang. Cempaka mengalami petualangan
seru hingga bertemu dengan Mbah Murong – si manusia setengah kayu dan diajak
tinggal di kontrakannya yang sempit.
Secara diam-diam,
kepada Cempaka yang dipanggilnya Kapas, Mbah Murong menyematkan janji, “Aku akan membawamu kembali menjadi manusia,
meskipun hanya manusia separuh kapas. Itu lebih baik daripada kutilang, elang
ataupun rase separuh kapas. Mudah-mudahan, akhir kehidupan yang penuh liku ini,
mampu kuhabiskan untuk sebuah kebaikan.” (halaman 208).
Petualangan yang
dialami Ayu – sang pelintas zaman pun tak kalah serunya. Ia mengecap udara pada
masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga akhir tahun 90-an. Berbagai
peristiwa pahit yang dilaluinya dan pertemuannya dengan gembong komunis Jepang
mengantarkannya menjadi aktivis PKI. “Kebebasan” adalah kata kunci kehidupannya.
Kebebasan pula yang kemudian menyeretnya ikut berperan dalam peristiwa
pembunuhan Kiyai Murong – kakeknya sendiri.
Kelebihan novel ini
adalah pada penokohan yang berkarakter kuat dan berkembang, alur maju-mundurnya
yang melompat-lompat dinamis dalam banyak latar tempat, dan point of view yang berganti-ganti dengan
lincah pada orang pertama tunggal dan orang ketiga tunggal, bersesuaian dengan
dinamika alurnya.
Riset sejarah yang
kuat melatarbelakangi novel ini. Seperti: sejarah mengenai mengapa orang
Tionghoa tidak suka disebut Cina (halaman 71), perpindahan ibukota Jepang
(halaman 141), hubungan Jepang-Indonesia (halaman 145), pembayaran pampasan
perang (halaman 148), dan sejarah partai komunis Jepang (halaman 162).
Beberapa kesalahan
ketik tak menjadikan cacat yang signifikan karena diksi yang elegan, simpel,
dan tak membosankan, dipadu dengan multi konflik, peran lebih dari 20 tokoh, selipan
humor yang cerdas, serta pesan kuat bahwa “bahkan kita bisa mendewasakan diri
melalui peristiwa paling menyedihkan sekali pun” menjadikan buku ini begitu
memukau.
Tengoklah diksi
dalam ungkapan berikut ini: Aku telah
berubah menjadi gugus radikal bebas yang menyerang ke sana ke mari mencari
sasaran. Aku adalah zat karsinogen yang siap menebarkan bibit-bibit kanker pada
induk semang yang kuhinggapi (halaman 121) dan: Lantas, segenap naluri keibuan, perasaan hormat dan penjagaan martabat
yang sebenarnya mulai mencelup perempuan itu, mendadak lumat (halaman 242).
Lini masa yang
dilalui Cempaka dan Sang Pelintas Zaman yang semula paralel dilukiskan bertemu
dalam satu titik secara natural oleh penulis. Dengan manis, penulis menuntun
pembaca untuk sampai kepada perenungan bahwa “yang pahit pun bisa berbuah
manis”.
Makassar,
Juni 2014
Catatan:
Yang dimuat di
Koran Jakarta, beberapa bagian di akhir resensi sudah diedit. Tulisan ini
merupakan naskah asli yang saya kirim ke redaksi.
Share :
Wah, kata Yang bisa diwal kalimat ya bisa dijadikan judul, sip deh. Makasih sharingnya Mbk :) selamat udah dimuat di Korjak.
ReplyDeleteApa ada yang bilang tidak boleh, Mbak Naqi? :)
Deleteselamat ya mbak tulisannya di muat di korjak
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Lidya :)
DeleteSelamatnya ...
ReplyDeleteminta komentarnya
http://resepberbagaikueenak.blogspot.com/2014/07/cara-membuat-banana-cake.html
Terima kasih :)
Delete