Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Harian Fajar, pada tanggal 29 September 2014:
Perkembangan zaman membawa banyak konsekuensi berupa perubahan. Banyak sekali hal yang berubah dari tahun ke tahun. Sekadar bertahan tak cukup lagi, adaptasi sekuat tenaga dengan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi mutak diperlukan.
“Generasi
kini adalah generasi platinum. Anak-anak kita butuh penanganan yang berbeda
dari orang tuanya. Mereka pun butuh kebijakan yang berbeda,” demikian kata Elly
Risman – psikolog pendiri Yayasan Kita dan Buah Hati yang giat melakukan
edukasi terkait bullying (kekerasan/penganiyaan)
pada anak dalam sebuah wawancara televisi.
“Penanganan
yang berbeda” pernah terjadi ketika istilah Sumpah Pemuda dipopulerkan. Disinyalir
adanya kesengajaan dalam penggunaan istilah “sumpah” sementara tak terdapat
kata itu pada naskah asli Sumpah Pemuda. Pemberitaan surat kabar Sinpo, surat
kabar pertama yang memberitakan hasil Kongres Pemuda II tahun 1928 hanyalah
menuliskan “putusan kongres”, yaitu bahwa “kami putra-putri Indonesia mengaku
berbangsa satu, bangsa Indonesia”, tidak ada kata “sumpah” di dalamnya.
Sumber foto: Ida Ohan |
Istilah
Sumpah Pemuda pertama kali digagas oleh Presiden Soekarno pada tahun 1950-an
yang menginginkan kongres 1928 sama dengan istilah Sumpah Palapanya Gajah Mada.
Istilah itu jadi bermakna sakral, membuat orang takut melanggarnya. Masuk akal
karena pada masa itu, banyak perkumpulan pemuda berbasis kedaerahan terbentuk.
Mereka memiliki keinginan besar untuk berjuang tetapi tidak memiliki keinginan
untuk bersatu. Sementara percampuran dan interaksi yang terjadi rawan dipecah
belah oleh penjajah. Kata “sumpah” saat itu masih sedemikian sakralnya dalam
masyarakat kita.
Saat ini kita
tak lagi berhadapan dengan penjajah yang membelenggu kemerdekaan secara fisik. Arus
informasi dan teknologi yang deras akhir-akhir ini, beriringan dengan berbagai
dampak buruk dan ekses lain seperti masalah kependudukan, perubahan iklim, dan
krisis energi. Segala masalah kejahatan dan kekerasan, khususnya kekerasan
terhadap anak, termasuk kekerasan seksual menjadi hal yang tak kalah
mengerikannya dibandingkan dengan penjajahan oleh bangsa lain.
Di samping
itu, tantangan lain menghadang sejalan dengan berlangsungnya proses menuju Era
Komunitas ASEAN 2015 yang biasa juga disebut AFTA (ASEAN Free Trade Area). Besarnya potensi sinergi antarnegara anggota
ASEAN menjadikan koalisi ini sebagai sebuah keniscayaan kondisi yang harus
dihadapi anak-anak kita kelak.
Menurut Edy
Prasetyono, Ph.D., Dosen dan Ketua ASEAN Center Departemen Hubungan
Internasional Universitas Indonesia, langkah-langkah yang tercantum di setiap pilar
Komunitas ASEAN ditujukan untuk membentuk komunitas yang menyeluruh, regionalisme
terbuka, keamanan yang komprehensif, regionalisme yang berorientasi masyarakat,
dan ASEAN sebagai kekuatan regional.
Pada pilar
Komunitas Ekonomi, Single Market and
Production Base memungkinkan terjadinya “arus bebas: barang, jasa, tenaga
kerja terampil, modal, sektor prioritas, makanan, dan kehutanan”. Kebijakan
regional dan pemerintah akan menyaring beragam orang dari 9 negara ASEAN
lainnya masuk dan bersaing dengan tenaga kerja lokal. Persaingan akan semakin
berat. Bila tak pandai-pandai mengasah kompetensi diri, anak-anak kita bisa
tersisih.
Sistem
pendidikan secara menyeluruh dituntut untuk menyiapkan generasi muda yang
berdaya saing tinggi. Orang tua, masyarakat, media, dan semua elemen masyarakat
juga harus mempersiapkan diri dan saling mengedukasi. Namun sebagian orang
meragukan, siapkah semua lapisan masyarakat kita menghadapi hal ini?
Sektor
pendidikan dengan kurikulum 2013-nya tengah berbenah. Mudah-mudahan merupakan
terobosan besar dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia kita.
Masyarakat kalangan menengah ke atas banyak yang sudah paham dengan kondisi dan
tantangan yang harus dihadapi, akses internet yang canggih mempermudah mereka
untuk mengakses informasi penting.
Bagaimana
dengan kalangan menengah ke bawah? Sudahkah sosialisasi mengenai Komunitas
ASEAN menjangkau mereka? Sadarkah mereka dengan apa yang akan terjadi kelak dan
apa yang harus dilakukan? Bisakah seluruh rakyat Indonesia sama-sama memiliki
daya saing yang tinggi?
Pemerintah
memang bertanggung jawab atas kesiapan bangsa ini memasuki era Komunitas ASEAN
tapi media pun berperan besar. Melalui televisi dan radio, hampir seluruh
pelosok negeri bisa terjangkau. Pesan sederhana yang dilontarkan secara
berulang-ulang tentu bisa mereka terima bahkan dapat menjangkau alam bawah
sadar dan memotivasi, seperti bagaimana program Keluarga Berencana begitu
membahana melalui media televisi dan radio pada tahun 1980-an sampai-sampai
menjangkiti alam bawah sadar bocah-bocah ingusan yang kemudian berjanji dalam
hati kelak akan berkeluarga berencana setelah menikah. Namun butuh ketulusan
dari para penyelenggara media karena iklan layanan masyarakat seperti ini tak
mendatangkan keuntungan material.
Nasionalisme
kini amat dibutuhkan, sebagai bukti bahwa kita semua ikut merasa memiliki
bangsa ini dan ikut bertanggung jawab atas suksesnya generasi muda menghadapi
tantangan zaman yang makin sulit. Nasionalisme juga penting untuk menguatkan
identitas bangsa dalam regional ASEAN. Mari bersama-sama menghidupkan kembali
semangat Sumpah Pemuda, buktikan bahwa nasionalisme itu masih ada di dalam diri
kita!
- http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda
- http://strategi-militer.blogspot.com/2012/10/naskah-sumpah-pemuda-dimanipulasi.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/JJ_Rizal
- http://www.cyber4rt.com/2012/10/sejarah-dan-latar-belakang-sumpah-pemuda.html
- http://www.anneahira.com/latar-belakang-sumpah-pemuda.htm
- http://www.sindotrijaya.com/polemik/detail/37/soempah-pemoeda-ditengah-sumpah-serapah#.VECGDCLLcqc
- http://www.anneahira.com/latar-belakang-sumpah-pemuda.htm
- Presentasi berjudul ASEAN Community, oleh Edy Prasetyono, Ph.D., Dosen dan Ketua ASEAN Center Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia
- Koreksi: AFTA (ASEAN Free Trade Area) ternyata berbeda dengan Komunitas ASEAN 2015 (mengenai perbedaannya bisa dibaca di sini:http://iidnmakassar.blogspot.com/2014/10/pelajaran-dari-sosialisasi-komunitas_19.html)
Share :
yg saya rasakan, dulu sewaktu sekolah, sumpah pemuda itu bergelora di dalam dada, entah kalo anak2 sekarang. Selamat ya mak tulisannya di muat di koran :)
ReplyDeleteSaya dari dulu pengen bisa kirim artikel OPINI untuk media di Jawa Tengah dan sekitarnya. Terutama daerah itu pada khususnya. Sayang sekali belum bisa diwujudkan. Senang rasanya jika hasil karya tulisan OPINI bisa LAYAK MUAT di koran koran
ReplyDeletepengen banget masuk koran seperti itu,,, :) salut ama mak mugniar :)
ReplyDeleteJaman skrg sepertinya semangat Sumpah Pemuda ini kurang merasuk dalam kedalam jiwa anak muda ya mak... byk sih yg mengaungkan ini itu atau demo ini itu, tp kebanyakan dr mrk hanya bs bicara tanpa bs menerapkan ataupun membuktikan apa yg diucapkannya dg sesuatu yg positif...
ReplyDeleteSelamat ya mak...tulisannya di muat koran...sukses selalu mak Niar...
sekarang kata sumpah begitu mudah diucapkan namun kesakralannya mulai berkurang.
ReplyDeleteselamat ya mak, semoga makin produktif dalam menulis dan berkarya :)
Tulisannya keren mak. (y)
ReplyDeleteTulisannya bagus, mupeng...
ReplyDeletewah...hebat nih ketua IIDN Makassar kita, tulisannya tayang di opini koran Fajar Makassar. selamat ya Niar, semoga tulisan-tulisan bermutunya lebih sering tayang di koran-koran lokal Makassar dan Indonesia.
ReplyDeleteTulisannya keren, Niar! As always! :) Setuju dengan konten tulisan ini, pengen ih nulis di koran. :)
ReplyDeletesemoga semangat SUmpah Pemuda masih tinggi ya
ReplyDeleteselamat mak...keren tulisannya dimuat di koran
ReplyDeleteMba Mugniar, makasih ya tulisannya sudah mencerahkan, dan juga berbobot.
ReplyDeletekeren! selamat mbak :)
ReplyDeletekeren tulisannya. saran saya banyak juga baca literatur non-internet, semisal buku misalnya. buku lbh berbicara ttg hasil riset atau kompilasi banyak pemikiran. kalau sumber online kadang lbh banyak hanya info permukaan. tabe'.
ReplyDeleteMbak Santi, Pak Asep, Mak Dwi, Mak Iro, Mbak Lathifah, Mbak Susi, Mas Adi, Kak Novie, Kak Alaika, Mbak Lidya, Mak Ninik, Mak Rosita, Mbak Lia .. terima kasih banyak sudah berkunjung dan membaca :)
DeleteDg Rusle: waah terima kasih sekali, senior di komunitas blogger Anging Mammiri berkunjung ke sini. Referensi tulisan ini macam2, juga dari pelatihan2 media yang saya ikuti (yang diselengggarakan oleh AJI), diskusi media, buku2 hasil penelitian ttg media (yang saya peroleh dari diskusi media), pengamatan di sekitar, beberapa bacaan tentang ASEAN (dari internet juga sih walau ada yang hasil penelitian hehehe), dan yang terakhir dari seminar Sosialisasi Komunita ASEAN 2015 (di urutan terakhir daftar bacaan di atas). Cuma saya tidak bisa menuliskan semuanya karena kebanyakan sudah saya baca beberapa waktu lalu ... tinggal bentuk pemahaman saja yang masuk di alam bawah sadar saya, kemudian terolah menjadi ide2 di dalam tulisan ini.
Terima kasih sarannya ... mudah2an besok2 saya bisa memperoleh buku2 yang pas untuk bahan tulisan berikutnya :)