“Memberikan ASI secara eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan menjamin tercapainya pengembangan potensi kecerdasan anak secara optimal. Hal ini karena selain sebagai nutrien yang ideal, dengan komposisi yang tepat, serta disesuaikan dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung nutrien-nutrien khusus yang diperlukan otak bayi agar tumbuh optimal. Nutrien-nutrien khusus tersebut tidak terdapat atau hanya sedikit terdapat pada susu sapi. Nutrien-nutrien tersebut adalah: taurin (zat putih telur yang hanya terdapat pada ASI), laktosa (hidrat arang utama dari ASI yang hanya sedikit sekali terdapat pada susu sapi), dan asam lemak ikatan panjang seperti DHA, AA, omega-3, dan omega-6 (asam lemak utama ASI yang hanya sedikit terdapat pada susu sapi)” [i]
Tulisan ini memenangkan sebuah lomba di akhir 2011. Katanya akan dibukukan tetapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Takutnya, tulisan yang pernah hilang ini bisa hilang lagi. Beberapa waktu yang lalu, berkat kebaikan seorang juri pada waktu itu, tulisan ini bisa saya dapatkan kembali dan saya dokumentasikan di sini. Kalau sudah ada kepastian bukunya terbit dari panitia lomba itu, baru tulisan ini mau saya tarik dari blog ini. Saya rugi besar kalau tidak mendokumentasikannya sama sekali.
Setelah banyak membaca perihal menyusui,
sejak hamil anak pertama saya memutuskan untuk menyusui. Saya mantap akan
memberikan bayi saya ASI eksklusif sejak lahir dan melanjutkannya hingga ASI
tak layak lagi baginya.
Namun menyusui ternyata tak semudah
kelihatannya. Hari-hari pertama kelahiran si sulung adalah perjuangan saya
untuk nyaman menyusuinya dan perjuangan dia pula untuk mendapatkan
kenyamanannya. Saat kami sudah sama-sama nyaman, ada waktu sekitar 2 bulan yang
membuat saya harus sering menahan napas karena daya isapnya yang kuat membuat
puting saya lecet dan perih.
Saat itu, rasa takut menjalari urat-urat
saya jika waktu menyusui tiba. Saat ia menyusu, kedua telapak tangan saya
kepalkan dengan kuat, begitu pun jemari kaki saya menekuk keras, berharap hal
itu bisa mengurangi rasa sakit yang timbul dari daya isap sang bayi. Bersamaan
dengan itu keringat dingin membasahi sekujur tubuh hingga menetes berupa
butiran berukuran cukup besar.
Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan
rahang bayi yang semakin besar membuat proses menyusui menjadi lebih nyaman dan
lancar. Kami sama-sama menikmatinya. Sungguh bahagia merasakan betapa
berartinya saya menjadi seorang ibu yang dititipi ‘gudang makanan’ bagi bayi
saya. Sangat menakjubkan melihat pertumbuhannya dari hari ke hari hingga
berbilang bulan, lalu tak terasa 6 bulan berlalu dengan ‘hanya’ ASI
sebagai makanan sekaligus minumannya. Pertambahan beratnya pun menakjubkan, 1
kg per bulan!
![]() |
Sumber gambar: mypotik.blogspot.com |
Orangtua kami yang tak biasa dengan hal ini
beberapa kali protes, takut cucu mereka kekurangan gizi dengan dalih kami dulu
diberikan tambahan makanan saat masih di bawah usia 6 bulan toh tak
apa-apa. Tetapi saya dengan didukung suami berkeras karena memang tak ada yang
lebih baik dari ASI. Sekarang sulung kami sudah berusia sepuluh tahun. Alhamdulillah
ia super aktif dan sehat. Usia 3 tahun 4 bulan ia sudah bisa mengeja dan
membuat file presentasi menggunakan Power Point. Bukan maksud saya
berbangga diri kawan. Saya hanya membuktikan kepada Anda bahwa ASI eksklusif
itu sangat niscaya diberikan kepada bayi kita karena itulah makanan terbaik
bayi baru lahir hingga berusia 6 bulan. Saya sudah membuktikannya sendiri
melalui sulung saya Affiq berikut kedua adiknya. Karena sudah punya pengalaman
dengan Affiq, sejak masih di ruang bersalin mereka sudah lahap mengisap
kolostrumnya.
Ada pengalaman tidak enak saat baru
melahirkan Athifah, anak kedua saya. Bidan yang membantu proses kelahiran
membujuk-bujuk saya supaya mau memberikan susu formula kepada bayi saya. Saya
berkeras memberikan ASI, bidan tersebut pun berkeras ‘menasihati’ saya agar
memberikan susu formula. Beruntung saya sudah punya bekal pengetahuan dan
pengalaman sehingga tak termakan bujukan maut sang bidan.
Selama proses pemberian ASI eksklusif
kepada Athifah, saya kembali menghadapi rintangan dari orangtua kami. Mereka
tidak menyetujui Athifah hanya diberikan ASI. Saat saya sodorkan buku “Mengenal
ASI Eksklusif” yang ditulis oleh Dr. Utami Roesli – dokter ‘pejuang’ ASI, dan
menunjukkan halaman yang memuat perbandingan daftar zat gizi yang dikandung ASI
dan susu sapi (yang sudah tentu memperlihatkan kelebihan mutlak dari ASI), ayah
saya dengan yakinnya berkilah, “Ah, itu kan hanya teori.” Saya terpaksa diam
saja dan membatin, “Ayah, itu memang teori, tapi teori dari Allah, bukan dari
Saya. Dan teori yang berasal dari Allah bukan hanya sekedar teori tetapi juga
nyata karena Ia yang menciptakan ASI dan ahli yang meneliti ASI pun sudah
sangat banyak, mereka semakin membuktikan kehebatan ASI.”
Ibu saya pun seringkali mengatakan,
“ASI-mu jelek.” Hingga suatu ketika ASI saya tiba-tiba mampet. Rasanya tidak
masuk akal kalau ASI saya mampet karena saya senantiasa menyusui Athifah secara
eksklusif, sepanjang hari, tanpa pemberian bahan makanan lain. Payudara saya
memberat, mengeras, dan terasa sakit. Anehnya, bayi saya tak mau menyusu sama
sekali. Ia selalu menolak setiap saya hendak menyusuinya.
Saya mulai panik. Waktu terus berjalan,
Athifah sudah harus disusui lagi karena sudah berjam-jam lamanya ia ‘puasa’.
Saya mencoba mengeluarkan air susu dengan cara mengompres payudara saya dengan
air hangat dan menekan-nekan areola. Tidak berhasil. Saya mencoba memompanya
keluar. Tidak juga berhasil. Sementara saya semakin kesakitan karena beban dan
tekanan yang menumpuk di sekitar areola.
Akhirnya karena kasihan melihat saya
yang kesakitan dan panik, suami saya menawarkan diri mencoba mengisap ASI yang
tertimbun di sekitar areola. Yah, mau bagaimana lagi, hanya itu satu-satunya
cara. Mudah-mudahan setelah dikeluarkan sebagian, Athifah mau menyusu kembali.
Rasanya sakit saat ASI itu dikeluarkan. Kasihan juga melihat suami saya yang
harus mengisap dan meludahkan ASI itu. Tapi sekali lagi, mau bagaimana lagi,
hanya itu satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk meringankan penderitaan
saya.
Setelah beberapa kali mengisap dan
meludahkan sekitar 0,5 liter ASI, suami saya berkata, “ASI mama seperti susu
basi.” Ya Allah, tanpa alasan yang masuk akal, ASI saya tiba-tiba menjadi
jelek. Pantas saja Athifah tak sudi mengisapnya. Sungguh suatu ujian dari Allah
bagi saya. Jika susu formula yang sudah berjam-jam belum diminum bisa basi.
Tetapi ini ASI, bagaimana bisa ia basi di dalam tempatnya? Alhamdulillah
akhirnya payudara saya kembali normal. Athifah pun mau menyusu kembali.
Sekarang Athifah sudah berusia 5 tahun,
ia tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, sensitif, dan kritis. Kata-kata, “I
love you, Mama,” “Maafkan Saya, Mama,” dan “Saya rindu Mama” senantiasa
menyejukkan hati dan semakin membuat diri saya berharga menjadi seorang ibu.
Hari pertama Afyad - putra ketiga saya
berada di dunia ini langsung menjadi ujian dalam pemberian ASI-nya. Ia lahir
pukul sebelas – lebih cepat 3 jam dari perkiraan dokter dengan sangat mudah,
hanya dengan satu kali mengejan. Tetapi tidak sampai lima belas menit setelah
kelahirannya, saat bidan yang menangani saya sedang ‘menjahit’ usai tindakan episiotomi
dan setelah menyusui sang bayi, tiba-tiba ada rasa sakit yang menyerang saya.
Rasa sakit yang nyaris tak tertahankan
itu mirip sekali dengan rasa sakit saat kontraksi datang sebelum kelahiran
bayi. Berdenyut hingga berkali-kali, tak kunjung henti. Bidan tersebut langsung
menelepon dokter Fatmah, dokter kandungan. Subhanallah, suatu kebetulan yang
sangat berarti – dokter tersebut sedang berada sangat dekat dengan rumah
bersalin. Beberapa menit kemudian ia muncul, siap mengobservasi saya.
Sumber gambar: ykai.net |
Ternyata saya harus menjalani sebuah
operasi karena mengalami pendarahan dalam (internal bleeding) di dinding
vagina. Para perawat dikerahkan. Mereka hilir-mudik membantu dokter dan
mengambil perlengkapan yang dibutuhkan. Jangan ditanya rasa sakitnya seperti
apa. Tiga kali melahirkan secara normal tak ada apa-apanya dibandingkan operasi
ini karena saya tak boleh dibius.
Karena kasus saya pendarahan dalam, tak
ada tempat keluar darah yang bisa diamati. Dokter hanya bisa mengamati ukuran
dan warna pembuluh darah yang ada di dalam vagina saya untuk mencari di mana
pendarahan itu terjadi. Tindakan pembiusan akan menghambat proses itu karena
akan menyebabkan perubahan warna di daerah vagina. Begitu kira-kira alasannya.
Selama operasi berlangsung, kurang lebih
tiga jenis ukuran benang jahit di jarum dan gunting lalu-lalang di dinding
vagina saya. Lampu berdaya watt besar mengarah ke saya. Darah
memercik-mercik di sekitar saya, mengenai baju praktek dokter Fatmah, bahkan
menjangkau tirai penyekat. Saya hanya bisa berdzikir, menggenggam erat lengan
suami saya sembari terpekik-pekik menahan sakit.
Pukul satu siang, operasi selesai. Saya
masih harus mendekam di ruang bersalin untuk observasi pasca operasi. Di dalam
vagina saya disumpal kapas yang akan dilepas jika observasi telah selesai.
Sekujur tubuh yang sakit usai melahirkan, semakin sakit usai operasi ini. Saya
hanya bisa berbaring pasrah, diam dalam dzikir. Suami saya tak selalu di
samping saya kali ini karena ia harus keluar untuk membelikan keperluan saya
yang diminta oleh bidan.
Saat bayi mungil itu menangis kehausan, bidan
yang bertugas membawanya kepada saya untuk disusui. Dengan menahan rasa sakit
saya berusaha menyusuinya dengan posisi berbaring. Sekelebat ada rasa ingin
menyerah dalam kondisi ini, “Mungkin lebih mudah jika ia diberi susu formula
saja.” Namun pikiran itu segera saya tepis dengan istighfar, menyadari bayi
saya sangat membutuhkan ASI.
Observasi yang memakan waktu lima jam
itu sangat lama bagi saya karena saya hanya bisa berbaring tak berdaya. Untuk
buang air kecil pun sulit, saya harus susah-payah menyeret langkah ke toilet
dan cukup makan waktu lama hingga air seni bisa keluar dan perut merasa lega.
Sesekali bidan membawakan bayi Afyad kepada saya untuk disusui. Dan setiap kali
menyusuinya, saya kembali tergoda untuk menyerah. Untung godaan itu berhasil
saya tepis.
Seminggu setelah melahirkan, saat
kondisi kesehatan saya belum pulih benar, tiba-tiba saja saya terkena sesak
napas padahal saya bukanlah penderita asma. Baru saya tahu seperti apa rasa
tersiksa kala sesak napas menyerang. Mau tidur sambil duduk susah apalagi
rebahan. Jadilah saya duduk berjam-jam lamanya di malam hari, berusaha mengatur
napas sembari menahan kantuk dan lelah. Suami dan ibu mertua saya bergantian
memijat punggung saya dan menggendong Afyad yang rewel. Sesekali saya susui ia
dalam kondisi yang amat tidak nyaman itu. Sekali lagi, saya hampir menyerah.
Terlintas dalam benak saya keinginan mengganti susunya dengan susu formula.
Namun seperti yang terjadi sebelumnya, saya tepis keinginan itu dengan
istighfar. Walau kepayahan, Afyad tetap saya susui berapa kali pun ia mau.
Sepuluh hari lamanya saya terbaring
lemas. HB saya drop di bawah normal. Untuk melangkahkan kaki ke kamar
mandi yang berjarak hanya sepuluh meter saja saya harus berjalan setapak demi
setapak, sambil sesekali berhenti untuk beristirahat. Wajah saya pucat pasi.
Buang air seperti sebuah siksaan, butuh waktu lama bagi saya untuk ‘menunaikan
hajat’ di toilet karena menahan sakit dan tampaknya proses ekskresi saya pasca
operasi memang mengalami sedikit gangguan. Di saat-saat seperti inilah saya
sadar betapa kelancaran buang air adalah suatu nikmat tiada tara. Untungnya
suami saya sangat mendukung, ia yang memandikan buah hati kami setiap harinya.
Pernah saya menangis sendiri sampai mata saya bengkak karena ketidakberdayaan
saya. Bagaimana saya bisa mengurus bayi saya dengan baik, mengurus diri saya
sendiri saja saya tak mampu.
Di saat-saat itu sering sekali godaan
menyerah menghampiri saya. Ingin sekali rasanya memberikan susu formula kepada
Afyad. Namun Allah masih menyayangi Afyad dan saya, berulang kali saya kembali
istighfar lalu menguatkan kembali tekad untuk menyusui Afyad sampai ASI memang
sudah tak layak lagi baginya.
Sekarang Afyad sudah berusia tepat dua
tahun. Alhamdulillah ia tumbuh sehat dan ceria. Di antara kakak-kakaknya, ia
yang paling senang bermanja-manja dengan saya. Ia cemburu jika salah seorang
kakaknya mendekat dan bermanja-manja dengan saya. Ia lebih suka digendong dan
dikeloni oleh saya ketimbang oleh papanya. Dua bulan yang lalu ia berhenti
menyusu atas kehendak sendiri. Setiap saya sodorkan ‘gudang’ susunya, ia
menolak dengan manis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membuang muka,
padahal air susu saya masih banyak. Rupanya ia mengikuti kakak Affiq-nya yang
juga berhenti menyusu atas kehendak sendiri.
Saya bersyukur telah memberikan yang
terbaik bagi ketiga buah hati saya Satu kesyukuran pula telah merasakan
nikmatnya menjadi ibu yang dititipi amanah berupa air susu, menyaksikan
kebesaran Allah melalui mata air kehidupan bagi tiga sosok bayi mungil yang
mengalir ke dalam tubuh mereka, membangun sel-sel tubuh mereka hingga menjadi
seperti sekarang ini. Saya sangat yakin, proses menyusui adalah momentum
yang sangat berharga guna membangun jalinan hati antara saya dan anak-anak.
Jalinan hati yang kami butuhkan untuk saling bersinergi satu sama lain agar
menjadi manusia-manusia yang berkualitas terpuji secara maknawi di dunia dan
insya Allah – di akhirat kelak.
[i] Dr. Utami Roesli, SpA., MBA., CIMI,
“Mengenal ASI Eksklusif”, Trubus Agriwidya, 2000
Episiotomi : menggunting
tepi vagina
Share :
Aduh operasi yg anak ketiga bkn ngeri mak. Anak yg pertama, sy dijahit dg dibius namun yg kedua ga.ya ampyun sakitnya,bikin sy takut hamil lg.
ReplyDeleteBtw ada gitu ya mak, susu yg basi di dlm payudara.kebetulan sy penggiat komunitas asi, blm pernah dengar.nti sy cb sharing dg konselor asi
Na'udzu billah sakitnya Mak. Di atas sakitnya melahirkan.
DeleteAneh juga Mak .... kenapa bisa. Kalo nanya ke orang2 sih katanya gak mungkin tapi kenyataannya, saya mengalaminya itu?
Sudah saya cek mak, rasa asi yg seperti susu basi itu karena kandungan lipase yang tinggi. Trus bayi berhenti tiba tiba menyusu/nursing strike jg kadang dialami bayi dan biasanya skin to skin kontak dapat mengembalikannya
Delete5 hari lagi anak saya 2 tahun mak.. alhamdulillah masih menyusu sampai sekarang. tinggal berjuang menyapih dan bener seperti kata mak Mugniar, kalau menyusui tak semudah apa yang terlihat dari luar.. :)
ReplyDeleteWow hampir lulus. Tetap semangat ya Mak :)
DeleteAku setuju mak, dengan pernyataan bahwa proses menyusui adalah momentum yang sangat berharga. Dan tidak dapat tergantikan. Proses menyusui itu bener2 bikin kita bahagia..
ReplyDeletePengalaman yang tidak bisa tergantikan dengan apapun ya Mak :)
DeleteSi sulung cuma sampe usia 16bln minum asinya...sedih gak sedih ya udah diterima aja
ReplyDeleteYang penting sudah berusaha. Itu dulu Mbak :)
Deleteyang kedua Allhamdulillah aku full ASI
ReplyDeleteAlhamdulillah :)
DeleteSebuah kisah yang inspiratif dan bikin deg-degan... semoga senantiasa sehat y mak mugniar...
ReplyDeleteAamiin .. makasih Mas.
DeleteDo'a yang sama juga utk Mas Iqrozen
Semua anak saya mendapatkan ASI sampai usia 2 tahun, kebetulan produksi ASI istri saya sangat banyak. Untuk kelahiran, keempat anak saya lahir normal hanya yang nomer lima saja yang via CS.
ReplyDeleteAlhamdulillah .... barakallah Pak Edi .... semoga skeluarga selalu sehat ya Pak
DeleteMak, sy bacanya deg-degan.
ReplyDeleteTerimakasih ya sudah berbagi pengalaman berharga ini :)
Makasih sudah membaca, Mak :)
Deletesemoga bukunya segera tayang dan profit akan segera memenuhi rekeningnya ya bu.
ReplyDeleteAlhamdulillah dan bersyukur saya ikutan demi kebahagiaan yang terus berulang atas yang didapatkan ibu...aaaamiiiiiin
Rencaanya buku antologi gabung dengan teman2 lain. Profitnya sepertinya untuk ke kegiatan sosial, Pak (kalo bukunya jadi). Terima kasih :)
Deletembak... perjuangannya, keren sekali... ternyata pengalaman saya ga ada apa2nya...
ReplyDeleteSetiap ibu pasti punya pengalaman keren sendiri2, Mbak Lia :)
DeleteTernyata perjuanganta' untuk memberikan ASI eksklusif berat ya kak. Jadi teringat waktu saya harus masuk ke ruang ICU selama 9 hari, masih sempat memerahkan ASI sedikit demi sedikit untuk Abdullah di rumah. ASI memang nikmat tak terkira :)
ReplyDeleteAlhamdulillah masih bisa kasih ASI walaupun di ICU ya Ana :)
Deleteanak pertama gagal ASIX mak, cm 3 bulan karena masih "bodoh" belum ada ilmunya dan belum berusaha cari tahu. anak ke 2 dan ke 3 sdh membekali diri dg ilmunya dan gabung di komunitasnya alhamdulillah lulus ASIX 6 bln dan smp 2 tahun.
ReplyDeletesetuju bgt mak sm kalimat ini: proses menyusui adalah momentum yang sangat berharga guna membangun jalinan hati antara saya dan anak-anak.