Tulisan (opini) ini dimuat di Harian Fajar, 10 Februari 2015
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “empati” berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Namun demikian tiap orang bisa berbeda-beda caranya dalam mempersepsikan empati.
Ada kasus menarik yang baru-baru ini terjadi.
Sejumlah turis di lokasi jatuhnya pesawat Transasia Airways bernomor
penerbangan GE235 dikecam banyak pengguna media sosial. Stasiun televisi
nasional pun memuat berita tentang mereka karena dianggap tidak berempati atas
musibah kecelakaan yang terjadi. Dengan latar belakang perahu-perahu karet tim
penyelamat yang masih mencari korban-korban yang hilang, mereka berpose dengan
wajah gembira.
Hal yang sama terjadi di depan bangkai ekor pesawat
Air Asia QZ8501 setelah proses pengangkatannya pada bulan lalu. Ada anggota
kepolisian dan TNI berfoto narsis dengan latar belakang ekor pesawat. Banyak
yang mengecamnya, bahkan media Inggris, Mirror.co.uk pun mengecamnya. Tudingan
tidak berempati pasti tidak terbayangkan ketika mereka berpose untuk
mengabadikan momen langka itu.
Makin nyata perbedaan persepsi tentang empati
bila mengingat masa-masa pergantian tahun menuju 2015. Dentuman petasan terdengar
sangat keras selama sedikitnya 3 hari di awal tahun ini. Tahun ini menjadi
pesta petasan terlama sepanjang hampir 41 tahun usia saya. Langit Makassar
seakan milik segelintir orang saja. Pukul 1 dini hari, saya terbangung. Putri
saya pun terbangun kaget. Dia memeluk saya sembari bertanya, apakah yang
terdengar itu bunyi meriam. Saya menenangkannya. Dan kami pun tidur dalam
posisi saling berpelukan.
Kemeriahan tahun baru yang baru kali ini berlangsung
selama berhari-hari terasa kontras dengan kecelakaan pesawat Air Asia di
penghujung tahun 2014 yang menewaskan 155 orang. Juga kontras dengan kesengitan
demonstrasi kenaikan harga BBM, disusul kenaikan harga barang-barang pada bulan
November – Desember 2014. Saat itu demonstrasi menimbulkan kericuhan-kericuhan
hingga 1 orang tewas.
Sumber gambar: Pak Basyar |
Harga barang-barang kemudian tak ikut turun
ketika harga BBM turun dua kali tapi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang sudah
jadi tradisi masyarakat Sulawesi Selatan tetap marak diselenggarakan di
mana-mana. Sekolah-sekolah, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah
menengah atas bahkan menjadikannya tradisi. Seolah-olah memasukkan “unsur
budaya”, perayaan Maulid Nabi di sekolah-sekolah disemarakkan dengan penyajian
makanan tradisional dari beras ketan dan telur-telur yang dihias. Tak
ketinggalan wadah-wadah aneka rupa dan warna yang dihias kertas warna-warni
makin menyemarakkan suasana.
Sebagian sekolah menetapkan murid-muridnya untuk
menyetor sejumlah uang atau barang dalam jumlah yang sama. Sebagian lagi
meminta murid-muridnya membawa sendiri sajian yang biasanya ada di dalam
peringatan Maulid Nabi khas daerah ini. Wadah-wadah, tongkat-tongkat kayu
penyangga telur, dan makanan tradisional berupa songkolo’ atau kaddo’ minnya’
beserta lauk-pauknya menjadi keharusan bawaan yang diperlombakan.
Banyak murid yang berlomba-lomba menjadikan
sajiannya paling menarik karena guru-guru mereka mengatakan apa yang mereka
sajikan akan dinilai. Kata “dinilai” secara tidak langsung berhubungan dengan
rapor sehingga siapa pun akan mengusahakannya dengan baik demi perolehan angka
tinggi. Orang tua mereka mendukung anak-anaknya dengan cara menyediakan uang
sebanyak puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah demi mendapatkan wadah paling
indah dan makanan paling enak. Yang kemudian menimbulkan tanya, kalau seperti
ini kejadiannya, apa relevansinya dengan dunia pendidikan?
Mengumpulkan uang atau bahan dengan jumlah yang
sama masih bisa ditolerir karena biasanya jumlah yang diminta tidak memberatkan
orang tua murid. Sebagian besar orang tua murid masih bisa mengusahakannya.
Tetapi membawa sajian untuk diperlombakan yang membuat para orang tua berlomba-lomba
membayar untuk sajian terindah agar anak-anaknya bisa memperoleh nilai tinggi,
bukankah itu mencederai dunia pendidikan karena sama sekali tak ada
hubungannya?
Lalu kalau dikait-kaitkan dengan empati, apakah
cara berlomba seperti itu dalam dunia pendidikan pantas dilakukan?
Empati adalah hal yang kita butuhkan di zaman
ini. Di zaman ketika hal-hal ekstrem lumrah terjadi, seperti kenaikan harga
barang yang tidak bisa turun lagi sementara harga BBM sudah turun dua kali.
Seperti rasa empati yang dituntut oleh para
pedagang pakaian bekas di Tebing Tinggi, Balikpapan, Bandung, Surabaya,
Nunukan, Makassar, dan kota-kota lainnya di Sulawesi Selatan. Ribuan atau malah
belasan ribu pedagang dan keluarga mereka kebingungan dengan larangan impor
pakaian bekas. Para konsumennya pun merasa dirugikan. Perusahaan garmen dan
konveksi dalam negeri tidak selalu membantu meringankan kesulitan akan
keterbatasan penghasilan sementara mereka dituntut untuk berpakaian layak
karena walaupun diproduksi di dalam negeri, bukan berarti harganya menjadi
murah dan kualitasnya bagus.
Ketika uang semakin sulit diperoleh dan materi
semakin mahal, di tengah persoalan-persoalan lain yang menggempur bangsa ini,
tidak bisakah empati diperoleh dengan lebih mudah padahal tidak butuh biaya
untuk mendapatkannya?
Share :
tamparan nih buat yang baca.
ReplyDeleteaku tergolong orang yang cuek bebek sama apapun yang terjadi di sekitarku, apalagi tentang Indonesia, udah jarang banget -nyaris ga pernah- nonton tv/baca berita. jadi inget ngaji di aa gym minggu lalu, kata aa 'doa aja buat Indonesia. karena ngikutin berita tentang Indonesia terus mah ga akan ada habisnya. bukan malah semakin baik beritanya, malah makin buruk. makanya kita mah doa aja'. hehehe
Waah tidak bermaksud menampar lho ya, cuma menuliskan apa yang dirasakan dan dilihat :)
DeleteIya sih, nonton berita tiap hari, saya sering merasa stres sendiri. Adaaaa saja masalah di mana2 :(
kepeduliaan itu penting untuk keluar dari keburukan,..keep spirit
ReplyDeleteIya Mbak ..... keep spirit :)
Deleteboleh dong sekali sekali berkunjung ke evaarlini@blogspot,com..hehe promosi nih
ReplyDeleteSudah dari sana ya Mbak :)
DeleteKonon kata orang sih harga harga di pasar sudah NAIK dijamin tidak akan turun lagi. BBM memang sudah turun 2 kali, namun Harga akan tetap tinggi. Ini yang tidak bisa dipahami oleh saya yang memang sangat awam ini Dulu harga harga naik dan BBM dijadikan kambing hitam. harga harga naik karena BBM naik. Nah sekarang BBM turun dan Harga akan tetap NAIK
ReplyDeleteNah, apa pula yang mau dikambinghitamkan ya Pak Asep?
Deletememang empati itu sangat diperlukan tapi kadang orang lebih suka cuek beibeh,karena mneurut mereka urusan diir sendiri saja sduah susah apalagi ngurusin orang lain. Trus juga gak mau repot
ReplyDeleteSepertinya kita harus sedikit merenung...lihat ke bawah terus...jangan terus lihat ke atas..
ReplyDeleteSimpati dan empati selayaknya ditunjukkan jika ada sahabat, kerabat, atau tetangga yang mengalami kesusahan. Syokur jika bisa membantu tenaga, waktu, pikiran, atau harta beda.
ReplyDeleteApik artikelnya
Salam hangat dari Surabaya
semoga kita bisa (harus) menyisihkan sebahgian hati kita untuk berempati dengan kesusahan yang di derita sodara kita....
ReplyDeleteMbak...selamat ya..artikel tulisannya lagi2 dimuat di media cetak.. Keren deh bisa nongol di media... Ngomong2 soal empati...kayaknya skrg ini rasa itu sudah mulai luntur... Dalam keseharianku aku sering menemukan orang2 yang tak punya empati kepada sesama... Sebetulnya sungguh miris ya...nilai-nilai kepedulian kepada sesama semakin ditinggalkan dan keindividuan semakin menonjol dalam masyarakat kita dewasa ini... ini menurut pengamatanku lho Mbak...
ReplyDeleteAku jd inget Bapak yg ngomelin adek gara2 nasi yg dimakan gak dihabisin. Pdhal ya, beras skrg mahal, ada yg gak bs makan lg
ReplyDeleteiya, di bandung banyak banget yang jualan baju bekas impor, di jakarta di seputaran senen.. lantas, belum ditemukan solusi apa yang dilakukan jikamereka dilarang berjualan..
ReplyDeleteEmpati emang jadi sesuatu yg langka ya, mak. bahkan di sosmed sekali pun. by the why, selamat ya mba, artikelnya dimuat di surat kabar. Keren :)
ReplyDeleteNarsis di tengah musibah sangat tidak layak.
ReplyDeleteUtk dunia pendidikan, sy jg gemes dgn kondisinya seakan belum ada perubahan yg berarti.
Selamat ya Mak, artikelnya masuk koran lagi.
Mendokumentasikan diri saat bekerja menurut saya wajar saja sih. Tidak semua orang mau bekerja sebagai relawan seperti bapak bapak TNI itu. Bayangkan saja, mereka harus menyusuri setiap sudut lautan dan menyelam mencari sesuatu yg tidak pasti keberadaanya. Mencari para korban yg tidak ada hubungan darah dengannya. Kemudian ada titik terang dengan menemukan potongan potongan pesawat tentu mereka merasa gembira karena usahanya ada hasil kemudian mereka mengabadikannya dengan berfoto. Siapa sesungguhnya yg tidak berempati....? Komentator media atau para relawan itu
ReplyDeletesaya termasuk yang pernah beberapa kali berburu pakaian bekas, lho. Kalau beruntung, kita bisa dapat pakaian bagus. Trus modelnya unik. Kalau dilarang, ya, harus ada solusinya
ReplyDelete