Tulisan ini dimuat di Harian Fajar (kolom opini) 14 Maret 2015
Kesadaran diri adalah nilai lebih yang dimiliki manusia dalam berperilaku, dibandingkan makhluk lainnya. Kesadaran diri membuat seseorang mampu menilai perbuatannya benar atau salah, jujur atau berbohong. Khusus pada anak-anak, adalah tugas orang tua, guru, dan orang dewasa di sekitarnya untuk memberi teladan yang baik.
Seorang anak
laki-laki 10 tahunan melakukan tindakan agresif lalu mencekik leher seorang
anak perempuan pada selasar di sebuah gedung sekolah dasar. Banyak orang dewasa
saat itu tapi hanya satu yang bergegas menegur anak itu. Anak lelaki itu
berkilah, “Cuma main-main.”
Seorang anak
lelaki 8 tahun menendang perut bagian bawah seorang anak perempuan, di
sekolahnya yang menyebabkan kandung kemih anak perempuan itu cedera sehingga ia
bolak-balik berkemih. Orang tua korban melaporkan kejadian itu kepada orang tua
pelaku. Tetapi pelaku berbohong dengan mengatakan tak melakukannya.
Pada beberapa
kasus, anak-anak yang melakukan kekerasan berbohong ketika ditanyai. Jika
terjadinya di sekolah, harapan terbesar untuk menyelesaikannya adalah peran
guru. Namun pada kenyataannya, tak selamanya guru dapat mengurangi tindak kejahatan
yang dilakukan anak-anak padahal pada beberapa kasus kekerasan besar dan
perkosaan anak oleh anak, terjadinya justru di dalam lingkungan sekolah.
Kasus kekerasan
oleh anak di Indonesia sudah mengkhawatirkan. Ketua Komnas PA Arist Merdeka
Sirait dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2014 Komnas Anak di Jalan TB
Simatupang, Jakarta Timur (30/12/14) memprediksi tingkat kekerasan dengan
pelaku anak-anak akan naik 12-18% di tahun 2015 jika pemerintah, masyarakat dan
keluarga tak melakukan tindakan pencegahan serta penanganan.
Sumber foto: AD. Rusmianto |
Alasan tindak
kekerasan yang dilakukan bisa apa saja. Bulan lalu di Yogyakarta, siswi SMA
dianiaya 9 orang yang rata-rata anak SMA hanya karena tato Hello Kitty yang dimilikinya
sama persis dengan tato yang dimiliki seorang siswi. Korban mengalami luka pada
kemaluan dan luka lain akibat disundut rokok. Kesembilan penganiaya itu membela
kawannya yang merasa tersinggung tatonya disamai korban. Hal sekonyol ini bisa
menjadi alasan anak SMA melakukan tindak kekerasan, apalagi anak SD.
Mengapa ini semua
terjadi? Adakah media audio visual mempengaruhi?
Haidar Baghir,
dalam Seminar Pendidikan Islam di Abad 21 di Makassar (14/02/15) mengatakan
bahwa anak-anak masa kini adalah “pribumi dunia digital” yang butuh penanganan
berbeda. Sekarang, generasi muda cenderung menyukai tayangan bergenre
“distopia” (mimpi tentang suatu zaman yang kacau). Fenomena ini harus disikapi
sebaik mungkin.
Pada seminar yang
sama, Prof. Komarudin Hidayat mengatakan ada 7 aspek yang melekat dalam diri
manusia, disebut arche types. Arche types adalah kecenderungan
struktur emosi dan pikiran yang datang berulang-ulang. Salah satunya adalah warrior (sikap untuk memenangkan
persaingan dalam hidup). Arche types
harus diamati dan diharapkan pendidikan bisa mengembangkan dan mengarahkannya
ke koridor yang benar.
Melalui internet
seorang anak lelaki kelas 4 sekolah dasar menikmati film Crows Zero berulang
kali. Film untuk remaja itu mengisahkan perkelahian ala tawuran 2 geng yang
berseteru. Dengan tenang dia bisa menjelaskan adegan-adegan yang akan terjadi,
termasuk adegan pertumpahan darah. Kalaupun film itu mengusung semangat
solidaritas, tetap tak bijak membiarkan anak SD menonton film untuk remaja
berulang kali. Ketika tipe warrior
dalam dirinya menghendaki aktualisasi, film Crows Zero bisa saja
divisualisasikannya.
Anggadewi Moesono
(1996) dalam Evita (2007) mengatakan film tidak langsung mempengaruhi perilaku penonton tetapi kalau bertubi-tubi disajikan
akan berdampak negatif bagi penonton.
Titin Florentina
P., M.Psi., Psi.mengungkapkan, televisi diduga bisa menyulap sikap dan perilaku
masyarakat terutama anak-anak. Ada penelitian yang menunjukkan: sebagian besar
acara televisi bersifat antisosial (58,4%) yang mencakup berkata kasar
(38,56%), mencelakakan (28,46%), dan mengejek (11,44%). Sedangkan kategori
prososial hanya (41,6%). Media audio visual mampu merebut 94% saluran masuknya
pesan/informasi ke dalam jiwa manusia (lewat mata dan telinga). Televisi mampu
membuat orang mengingat 50% dari yang dilihat dan didengarnya walaupun hanya
sekali ditayangkan. Atau secara umum orang mengingat 85% setelah 3 jam ditayangkan,
dan 65% setelah 3 hari.
Menurut Titin, peran
orang tua, guru, dan lingkungan sekitar amat penting terhadap anak. Caranya
dengan:
- Mengembangkan kemampuan kognitif, emosi, bahasa, kreativitas, bakat, dan sosialisasinya.
- Menumbuhkan rasa percaya dirinya. Arahkan anak yang persepsi dirinya tidak rasional. Berikan feedback yang benar dengan menegaskan hal-hal positif. Puji upaya anak ketimbang memuji hasilnya. Latih anak menerima pendapat orang lain.
- Melatihnya memberikan support dan bantuan pada teman-temannya. Dorong anak berpartisipasi pada aktivitas yang mendorong kerjasama ketimbang kompetisi.
- Selalu tunjukkan kasih sayang kepada anak anda dengan memberikan pelukan spontan disertai pesan yang membesarkan hati.
Maka, dengan penguatan
peran orang tua, sekolah, dan lingkungan sekitar yang bersinergi, diharapkan
anak-anak kita bisa terbina kesadarannya akan perbuatan tercela, khususnya
kekerasan sehingga mampu membedakan antara benar-salah dan jujur-bohong.
Share :
thx for sharing mak...saya suka merasa dilema, saat saya harus mengerjakan pekerjaan RT anak ditinggal dengan gadget :( sejauh ini sih bisa dikontrol apa yg dtitonton..
ReplyDeleteOrang tua memang harus aktif memperhatikan anak anaknya, terutama dengan dunia digital yang sangat luas jangkauannya. Bermain internet harus seimbang dg pembinaan ahklaq. Kita harus disiplin dalam membatasi kapan bermain dan kapan harus belajar.
ReplyDeleteSubhanallah luar biasa ya dampak IT, audio dan visual yang mendatangi generasi muda masa kini, langsung ke tangan mereka setiap hari, hiks jadi ketir2 saya
ReplyDeleteMiris lihat berita kekerasan(oleh dan terhadap) anak sekarang ini...
ReplyDeleteminggu lalu anak saya jadi korban kekerasan. dinakali di sekolah sampai lebam. ya tidak seberapa luka sih, cuma ini yang kesekian kalinya dan pelakunya itu lagi.
ReplyDeleteyang juga bikin saya miris adalah sikap teman lain yang melihat. mereka tertawa, mak. ya Allooh...anak TK tertawa lihat temannya nangis karena dibuat terluka???
Hai Teman-Teman
ReplyDelete