Diena Rifa’ah (memakai nama pena Arrifa’ah – penulis buku Merajut Benang Cahaya, Umma Azura – penanggung jawab antologi Storycake Berpikir Positif, dan Kak Arniyati Shaleh – kontributor buku Boneka Kuntilanak memberikan sharing terbaik mereka di sesi pertama Sharing Kepenulisan Bersama Penulis IIDN Makassar di Gramedia Mal Ratu Indah (MaRI) pada tanggal 28 Maret lalu. Saya sudah menuliskan reportasenya di blog IIDN Makassar dan Soulmaks Magazine. Beberapa hal yang belum tertuang dalam tulisan, saya bagikan di blog ini.
***
Syairawati
Maghribi (Abby Onety) seketika menjelma menjadi dewi penolong pada detik-detik
mendebarkan sebelum acara dimulai. Pasalnya sudah setengah dua lewat sementara
baru 6 orang yang datang untuk acara Sharing
Kepenulisan. Jika Kak Arni, Umma, dan Diena selaku nara sumber dan juga
saya selaku moderator duduk di kursi yang telah disediakan di bagian depan maka
berarti tinggal dua orang saja yang duduk di bangku peserta: Marisa dan
Haeriah. Rasanya mengenaskan memulai acara dengan dua peserta saja.
Tak
terkira riangnya hati saya ketika Abby datang bersama para siswanya di SMA
Perguruan Nasional. SMA Perguruan Nasional
baru membentuk ekstra kurikuler Jurnalistik. Itu makanya para anggota ekstra
kurikuler yang sedang bersemangat menimba ilmu kepenulisan itu diboyong ibu
guru ini ke acara kami.
Diena
menceritakan proses buku Merajut Benang Cahaya yang menjadi penguji kesabarannya.
Proses sejak pengajuan ke penerbit hingga beredar di toko buku Gramedia di
seluruh Indonesia berlangsung setahun lebih. Namun raut wajah Diena
menunjukkan, ia bahagia – bukunya kini sudah tersebar luas dan bisa diakses
oleh banyak orang.
Mohon maaf fotonya disamarkan karena dua orang nara sumber tidak bersedia wajahnya diperlihatkan di foto Sumber foto: Kak Heru |
Kak
Arni sebaliknya. Tiga tulisannya di buku Boneka Kuntilanak adalah tulisan
spontan yang tak disangkanya menjadi bagian dari sebuah buku yang kemudian
beredar di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Menariknya, ketiga tulisan itu
dibuat oleh Kak Arni berdasarkan kisah nyata. Ada kisah penunggu rumah orang
tuanya yang subuh-subuh menggunakan pompa air dan membantu membereskan rumah. Hiii,
seram ya.
Umma
Azura menjalani proses yang berbeda selama hampir 2 tahun. Sebagai penanggung
jawab buku antologi (kumpulan tulisan dari beberapa penulis), ia bertugas
mengumpulkan naskah, menyeleksinya, dan meng-edit dalam tahap awal, dan membuat kata pengantar sebelum memajukan
naskah buku berisi 38 tulisan itu ke penerbit.
Umma
dan Diena, di samping menulis buku juga menjadi copy writer. Kak Arni sendiri, sekarang juga menjadi editor lepas
di sebuah penerbit. Menariknya, menulis adalah pekerjaan kreatif. Ada banyak
hal yang bisa dilakukan yang bukan hanya mendatangkan kebahagiaan tapi bisa
menghasilkan rupiah melalui menulis.
Dalam
menulis, kalau pun suatu waktu tidak menghasilkan, para penulis tidak perlu
patah semangat karena mereka melakukan hal yang membuat hatinya bahagia. Tapi
kalau bisa menghasilkan, kenapa tidak?
Pertanyaan-pertanyaan
dijawab dengan baik oleh ketiga nara sumber. Salah satunya adalah pertanyaan
tentang penerbit indie dan penebit mayor. Kedua model penerbitan ini sama-sama
memiliki plus dan minus. Kalau di penerbit mayor, kita tak
perlu membayar maka kita harus membayar agar naskah kita bisa diterbitkan di
penerbit indie.
Tapi
di penerbit indie, tidak ada seleksi naskah. Naskah apapun yang masuk bisa
langsung diterbitkan. Sementara di penerbit mayor, butuh kesabaran dalam
menunggu proses seleksi yang memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan.
Penerbit mayor punya standar tersendiri dalam menilai naskah yang layak
diterbitkan. Yang paling utama adalah “pasar yang menjanjikan”. Naskah bagus
belum tentu mau diterbitkan oleh penerbit mayor karena menurut mereka pasarnya
kurang bagus. Tapi antara penerbit mayor yang satu dengan penerbit mayor yang
lain berbeda pula cara mereka dalam menilai pangsa pasar.
Bu
Abby meminta masukan untuk siswa-siswi SMA Perguruan Nasional, mengenai
motivasi menulis. Banyak saran yang diberikan. Seperti:
- Kalau menulis, tulis saja dulu jangan menulis sambil diedit. Kalau sudah selesai menuangkan semua isi pikiran/perasaan barulah mengedit. Kalau mengedit sembari menulis, bisa-bisa tulisan tidak selesai.
- Jadikan menulis sebagai kebiasaan dengan menulis satu tulisan setiap harinya.
- Yang terpenting dalam menulis adalah, bagaimana orang lain bisa mengambil manfaat dari tulisan kita.
- Dalam menulis, orang biasa melandaskan pada dua hal: menulis apa yang diketahui dan menulis apa yang ingin dipelajari.
Menjawab
pertanyaan mengenai apakah tulisan yang baik itu harus dalam Bahasa Indonesia
yang benar atau bisa dalam bahasa ibu, dari seorang siswa SMA Perguruan
Nasional, pada intinya ketiga nara sumber menyarankan untuk melihat untuk
kepentingan apa tulisan itu dibuat. Sesekali menulis dengan bahasa ibu tak
mengapa asalkan memberikan catatan kaki mengenai arti kata yang dimaksud.
Saya
menambahkan, kalau dalam ngeblog lebih santai. Ada yang bahkan membuat blog
khusus bahasa daerahnya atau tulisan khusus bahasa daerahnya untuk melestarikan
penggunaan bahasa daerah.
Asyiknya,
dalam acara ini Umma menyumbangkan bukunya untuk dihadiahkan kepada para
peserta yang bertanya. Adapun mereka yang beruntung di sesi 1 ini adalah:
Elisa, Adrian Ibrahim, Marisa Agustina, dan Abby Onety. Bagi siswa-siswi SMA
Perguruan Nasional yang membuat tulisan blog terbaik (2 orang) juga akan
dihadiahi buku oleh Umma. Seru, kaan?
Nantikan
keseruan-keseruan lainnya di Sharing Kepenulisan
pada sesi-sesi berikutnya Kawan. Masih ada hadiah buku dari Umma yang akan
dibagi-bagi kepada mereka yang beruntung J
Makassar, 3 April 2015
Berikut
jadwal sharing-sharing berikutnya:
Share :
wow keren maak, IIDN Makassar :*
ReplyDeleteYah... sayang tdk bisa ikut :(
ReplyDelete