Tulisan (opini) ini dimuat di Harian Fajar, 20 April 2015
*-Derai Kata-Perelok derai kata-katamu, bukan tinggikan suara. Sebab derai hujanlah yang suburkan bunga-bunga, bukan cetar petir membahana.(Akmal Nasery Basral, *terjemahan bebas dari sebuah sajak Rumi)
Sebuah status di page Facebook ustadzah
Irena Handono sepekan yang lalu memancing beragam komentar, di antara ribuan
yang membagikan kembali atau sekadar menyukainya. Status itu menceritakan
tentang kehebatan beberapa perempuan lain yang tercatat dalam sejarah tapi tak
lantas menjadikannya simbol kemajuan perempuan seperti Kartini.
Perempuan-perempuan tersebut
melakukan hal-hal yang lebih nyata dan berdampak lebih luas. Dua di antaranya adalah Sultanah Seri Ratu
Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle
dari Sulawesi Selatan.
Sultanah adalah sosok yang cerdas dan
aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan,
baik untuk laki-aki maupun untuk perempuan. Ia juga menguasai bahasa Melayu,
Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan
berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin
ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.
Foto: Lathifah Ratih |
Sultanah yang memerintah dalam kurun 1644-1675
ini juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menginvasi Aceh. VOC tidak
berhasil memperoleh monopoli perdagangan timah dan komoditi lainnya.
Aisyah adalah putri Colli’ Pujie. Perempuan
ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan sebagai raja Tanete. Aisyah
mendirikan sekolah yang memberikan pendidikan modern rakyat yang terbuka untuk
semua kalangan masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki pada tahun 1908. Hal
itu dilakukannya agar masyarakat bawah juga dapat mengikuti pendidikan tanpa diskriminasi
ekonomi, sosial, dan gender. Sekolah
rakyat yang didirikannya tak pernah mendapatkan bantuan dari Belanda.
Kartini sebagai simbol kemajuan
perempuan di saat sekarang ini bukanlah untuk dipersoalkan. Kemajuan teknologi
saat ini mampu dioptimalkan penggunaannya untuk mengenalkan sosok-sosok
perempuan hebat lainnya kepada masyarakat Indonesia. Media elektronik, media
sosial, dan blog bisa dimanfaatkan. Status Irena Handono contohnya. Saya pun
pernah menulis tentang Colli’ Pujie dengan mengambil kutipan dari buku Lontara’
Bilang – Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan karya H. A. Ahmad.
Saransi (Pustaka Sawerigading, 2008) di blog saya (www.mugniar.com) dan
mendapat tanggapan positif pembaca dari berbagai wilayah.
Bukan hanya membagikan sejarah para
pejuang, di zaman kini tanpa perlu menjadi terkenal pun, perempuan biasa juga bisa
mencatat sejarahnya sendiri. Mematrikan catatan-catatan sejarah yang kelak bisa
dibaca anak-cucu bisa dilakukan oleh siapa saja dan dari mana saja. Selain pada
blog, buku pun bisa jadi medianya. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh Irma
Devita – praktisi hukum yang berdomisili di Jakarta. Irma yang lulusan SMAN 1
Makassar tahun 1991 ini telah menerbitkan 9 buku. Tujuh buku hukum praktis dan
dua “buku sejarah” kakeknya, mendiang pejuang Letkol (Inf.) Mochammad Sroedji.
Satu buku berbentuk novel, yang lainnya dalam bentuk komik.
Sroedji adalah komandan Brigade III
Damar Wulan Divisi I Jawa Timur yang berani. Ia ditakuti lawan dan disegani
kawan. Sroedji memimpin ribuan pasukannya melakukan perlawanan dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1942 – 1949. Ia rela mengorbankan
jiwa raganya untuk kemerdekaan Indonesia.
Selama 1,5 – 2 tahun Irma melakukan
riset lalu menulis novel Sang Patriot. Untuk itu, ia harus ke berbagai kota
yang dilalui atau terkait dengan sang kakek demi menghasilkan tulisan yang
hidup. Ia melakukan riset ke Bogor, Bandung, Jogja, Kediri, Malang, Jember, dan
Surabaya. Melalui sahabat-sahabatnya di Belanda, Irma mendapatkan data arsip
intelejen marinir Belanda yang pernah kontak senjata dengan kakeknya. Di sana data
Sroedji tersimpan sangat rapi, bahkan tanda tangan basahnya sewaktu Perjanjian Renville
pun masih ada.
Saat ini, tahap pengajuan Sroedji
untuk menjadi pahlawan nasional sedang menunggu keputusan gubernur Jawa Timur.
Tim pengkaji di propinsi sudah beraklamasi
– setuju atas perekomendasian Sroedji. Setelah itu masih ada proses yang harus
dilalui sebelum sampai kepada presiden.
Bagi Irma, pengajuan menjadikan
Sroedji sebagai pahlawan nasional hanyalah “efek”. Yang terpenting, kisah tersebut
bisa menjadi teladan dan tak lekang oleh zaman. “Secara umum, saya merasa
sangat prihatin dengan semakin banyaknya anak muda yang kehilangan rasa
bangganya sebagai bangsa Indonesia. Secara khusus, saya ingin agar kisah kakek
saya yang terserak dalam beberapa buku, tidak hilang ditelan zaman. Suatu saat
kalau para pelaku sejarah sudah habis, siapa yang akan menceritakan kisah-kisah
ini?” tutur Irma mengenai motivasinya menulis novel dan komik Sang Patriot.
Memang, sejarah yang dicatat sendiri mengandung
harapan untuk mewujudnya masa depan yang lebih baik meskipun penulisnya tak akan
pernah melalui masa itu. Juga agar siapa pun yang membacanya kelak bisa belajar
banyak hal dari pengalaman pendahulunya dan memetik hikmahnya tanpa perlu
mengalami kepahitan yang tertera di situ.
Kalau usiamu tak mampu menyamai usia dunia, maka menulislah. Menulis memperpanjang ada-mu di dunia dan amalmu di akhirat kelak (Helvy Tiana Rosa)
Share :
keren! lagi-lagi publikasi ... Ibu yang satu ini emang jos. Bu Mug emang pewarna sejarah ... :)
ReplyDeleteAamiin ..... aamiin
DeleteProduktifnya ibu :')
ReplyDeleteMencoba mengisi waktu
Deletenovelnya memang kereen...salut buat mak irma. salut juga buat emak kereen mugniar
ReplyDeleteSalut saya juga buat Mak Ida ^_^
Deletemantap...keren euy mak mugniar...semakin berkibar :)
ReplyDeleteHua ... saya biasa saja, Mak, terima kasih ^_^
Deletesetiap ke sini saya selalu dapat ilmu baru. subhanalloh.
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga bermanfaat, Mak :)
Deleteseperti biasa ..dirimu selalu keren mbak.
ReplyDeletebanyak perempuan2 hebat yg mewarnai sejarah dengan tulisannya