Tulisan ini merupakan tulisan ke-3 mengenai Pelatihan Jurnalistik Membangun Perspektif Perempuan dan Anak dalam Pemberitaan (LBH APIK, 10 – 11 Agustus 2015). Dua tulisan sebelumnya adalah: Menggugah Kepedulian Jurnalis Melalui Kritik Media dan Kekerasan dan Media.
Usai
sesi pertama, Ibu Lusi Palulungan – mantan ketua LBH APIK Makassar mengawal
peserta Pelatihan Jurnalistik Membangun Perspektif Perempuan dan Anak dalam
Penulisan untuk masuk ke sesi Curah Pendapat dan Berbagi Pengalaman.
Latar
belakang pelatihan ini adalah banyaknya pemberitaan di media mengenai kasus
kekerasan pada perempuan dan anak. Tapi kebanyakan perempuan dan anak
dibahasakan kepada komoditas pemberitaan. Sayangnya, selama ini peran media
hanya memberitakan saja dan cenderung mengeksploitasi perempuan/tubuh perempuan
dan anak sebagai komoditas pemberitaan. Diharapkan peran media sebagai fungsi
kontrol masyarakat atau fungsi penyalur aspirasi masyarakat untuk menyalurkan
persoalan yang ada kepada pihak-pihak yang berwenang.
Diharapkan
pelatihan selama 2 hari ini bisa mengubah cara pandang untuk membuat tulisan
yang: berperspektif perempuan dan anak,
tetap memperhatikan fungsi kontrol tapi tetap diminati orang untuk dibaca. Selain
itu, diharapkan peran kontrol publik terhadap media: bagaimana meng-counter-nya. Masing-masing peserta
nantinya mengemukakan permasalahan. Masalah dirumuskan, untuk RTL dan diskusi
besok.
Pak
Rusdin (fasilitator) melengkapi uraian Ibu Lusi dengan mengatakan bahwa sebenarnya ada banyak
kasus tapi tiba pada pilihan, perlu dipublikasi atau tidak. Karena bisa saja
kalau dipublikasi justru bisa merusak karena persoalan perspektif belum clear. Kalau dipublikasi, menjadi bola
liar yang justru merugikan korban.
Ibu
Lusi memberikan materi tentang perspektif gender. Ini kali ketiga saya
mengikuti materi ini, jadi pada tulisan ini saya hanya menuliskan yang penting dari
apa yang dikatakan Ibu Lusi. Bila ada di antara Anda yang berminat membaca
materi tentang perspektif gender, silakan membaca di tulisan-tulisan berikut: Mencari
Tahu Posisi Perempuan dalam Media dan Mengapa
Perempuan Perlu Belajar Gendr, Seks, dan HAM.
Siklus kekerasan. Bisa sangat pendek (hitungan hari) untuk sebagian orang Sumber: presentasi Ibu Lusi Palulungan |
Ada
pembangunan perspektif gender dalam masyarakat. Perempuan harus bersolek,
memasak, mengurus rumah tangga. Kalau misalnya ada kasus perempuan dipukul
suaminya karena tidak memasak. Kita membenarkan karena begitulah perspektif
kita, karena perempuan itu tidak menjalankan tugasnya. Padahal tindakan
pemukulan tidaklah dapat dibenarkan. Pun harus diteliti/dieksplorasi dahulu,
mengapa si perempuan tak memasak.
Definisi
gender adalah konstruksi sosial. Berlaku pada tempat tertentu. Peran gender
bisa diubah. Kodrat adalah pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis
kelamin à seks.
Meskipun sudah mengubah jenis kelaminnya, tidak bisa dianggap seseorang berubah
secara kodrat. Kodrat pemberian Tuhan, tidak bisa berubah dan tidak bisa
ditukar-tukar.
Persoalannya
bukan pada perempuan menuntut supaya sama dengan laki-laki. Bicara tentang
gender adalah tentang pemenuhan hak-hak perempuan secara adil. Persoalannya
adalah kalau perempuan juga mencari nafkah yang pulang ke rumah masih harus
mengerjakan pekerjaan rumah, terjadi beban ganda. Ibu (perempuan) rentan mengalami
masalah kesehatan. Efeknya adalah: tingginya angka kematian ibu. Tujuan
kesetaraan gender adalah bagaimana agar hak-hak perempuan mendapat perhatian.
Akar masalahnya adalah berkaitan dengan pemahaman gender.
Ada
beberapa dampak ketidakadilan gender bagi perempuan, yaitu:
- Kekerasan terhadap perempuan
- Marginalisasi (peminggiran)
- Subordinasi (penomorduaan)
- Stereotipe (pelabelan, pemberian cap negatif)
- Beban ganda
- Diskriminasi (pembedaan berdasarkan jenis kelamin)
Akar
kekerasan terhadap perempuan adalah: peran budaya patriarki, pemahaman agama – tafsir
yang bias gender[1].
Hukum, ikut melanggengkan. Dalam UU Perkawinan: lelaki kepala keluarga,
perempuan mengurus rumah tangga. Konsekuensi hukumnya: istri tidak bisa menjadi
kepala keluarga. Kalau ada bantuan untuk kepala keluarga, perempuan yang kepala
keluarga tidak bisa mendapatkannya karena kepala keluarga adalah laki-laki
(dalam hukum).
Selanjutnya,
Ibu Lusi memaparkan, dari sisi-sisi mana saja – dalam hukum, jurnalis bisa
menyoroti berita yang terkait kasus kekerasan terhadap perempuan, alih-alih
hanya menuliskan kulit-kulitnya saja (biasanya yang diekspos adalah sisi
kriminalitasnya yang dibuat sesensasional mungkin, sementara esensi yang lebih
penting tidak disinggung).
Apa
saja “sisi-sisi” tersebut? Nantikan di tulisan selanjutnya yaa ...
Makassar, 21 Agustus 2015
Bersambung
[1]
Saya kira kalau tentang ini, maksudnya adalah pemahaman individu terhadap
agamanya. Bukannya tafsir agama yang sesungguhnya. Karena kalau dalam Islam
sendiri, tak ada aturan yang membebankan. Kalau ada ketimpangan, itu kesalahan
individu dalam memaknai agamanya. Misalnya, banyak lelaki yang lupa kalau bukan
hanya perempuan yang harus melayani. Ada hubungan timbal-balik di sini. Orang-orang
yang membuat ketimpangan di dalam rumah tangganya melupakan hadits Rasulullah
yang ini: “Sebaik-baik kalian adalah
yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian
terhadap istriku.”
(HR At-Thirmidzi no 3895 dari hadits Aisyah dan Ibnu
Majah no 1977 dari hadits Ibnu Abbas dan dishahihakan oleh Syaikh Al-Albani
(lihat As-Shahihah no 285))
Share :
Wah penasaran ... sama kelanjutannya ...
ReplyDeleteSudah ada kelanjutannya, Mbak :)
Deleteseru ya bisa ada diacara itu
ReplyDeleteIya :)
Deleteeia kenapa harus ada kewajiban perempuan harus memasak ya. Kenapa tidak ada kewajiban memasak pada pria hehehe padahal wanita juga "diwajibkan" mengelola finansial keluarga dengan segala plus minusnya
ReplyDeleteKesannya, perempuan dituntut untuk serba bisa ya. Padahal pemberian peran seperti itu dari masyarakat, sih.
Delete