Tulisan ke-2 mengenai Pelatihan Jurnalistik Membangun Perspektif Perempuan dan Anak dalam Pemberitaan (LBH APIK, 10 – 11 Agustus 2015). Tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini.
Pak
Alwy Rahman melanjutkan materinya dengan Teori Kekerasan[1]. Dia memulainya dengan
mengatakan Tubuh perempuan menjadi gravitasi yang luar biasa di media. Pada
model Irigaray, ada 3 “penempatan” perempuan:
- Dunia Biologi, di sini perbedaan laki-laki dan perempuan bersifat alami, tidak ada konflik.
- Dunia Sosial, di sini perempuan menjadi penarik dalam politik, ekonomi, dan lain-lain.
- Dunia Simbol, di sini perempuan membawa simbol misalnya ada suku Dayak yang beranggapan, semakin panjang telinga seorang perempuan semakin cantiklah ia. Atau ada suku di Papua yang menganggap semakin banyak ruas jari seorang perempuan terpotong, semakin anggunlah ia.
Pak
Alwy kemudian memaparkan 4 Teori Kekerasan:
- Teori Insting: agresi bersumber dari dorongan fitrah biologis manusia untuk bertindak merusak dan destruktif.
- Teori Dorongan: agresi disebabkan oleh kondisi-kondisi eksternal (frustrasi, kehilangan muka, rasa malu).
- Teori Neo-Asosiasi Kognitif: agresi berasal dari reaksi negatif terhadap pengalaman, ingatan, dan kognisi yang tak menyenangkan.
- Teori Pembelajaran Sosial: agresi berasal dari proses pembelajaran melalui pengalaman dari lingkungan sekitarnya. Agresi ini semakin dikukuhkan melalalui penguatan yang dipersepsi oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar
Pada
sesi pertama ini, Pak Alwy Rahman berpanel dengan Pak Gunawan Mashar. Pak
Gunawan sedikit menceritakan tentang media mainstream
konvensional dan media online:
Tubuh
perempuan bagi media di Indonesia, dianggap sebagai “nilai berita”. Karena itu
ia ingin peserta menceritakan suatu kasus. Misalnya kasus Mei lalu Tata Chubby.
Kenapa berita itu booming. Lebih
banyak di media online. Betapa
menunjukkan berita kriminal di online
adalah drama.
Di
media konvensional, semua data dan fakta langsung disuguhkan di hari itu. Kalau
online, disuguhkan sepotong-sepotong.
Khususnya kalau korbannya perempuan. Misalnya pada kasus Tata Chubby. Begitu
diketahui ia berita panggilan, diekspos habis-habisan oleh media online dengan berita yang berbeda-beda.
Kasus seperti itu adalah peg news, untuk menarik pengunjung agar
website-nya populer. Pada media online, ketika
melempar berita, 10 menit kemudian sudah bisa dilihat statistiknya, berapa yang
buka. Jika menarik, akan di-running
habis-habisan padahal datanya telah terpakai.
Pernah
terjadi, anak penderita HIV, ayah-ibunya sudah meninggal. Anak ditampilkan di
koran, pada head line berita.
Wajahnya jelas padahal anaknya masih sekolah. Dia difoto sambil membawa foto
ayah dan ibunya yang sudah meninggal. Alhasil berita itu berdampak negatif pada
jiwa anak tersebut. Semua orang jadi mengetahui identitasnya. Padahal penulisan
inisial pun, kalau mengarah ke identitasnya, itu tidak boleh.
Sumber: bahan presentasi Pak Alwy Rahman |
Media
sangat bersifat “laki-laki”. Di media perempuan, berisi tentang bagaimana perempuan
menghiasi dirinya sedangkan pada media laki-laki menghadirkan laki-laki sebagai
penikmat (media laki-laki tidak memuat informasi bagaimana supaya lelaki
berhias, melainkan memuat perempuan sebagai bahan yang bisa dinikmati – red).
Pada
sesi tanya-jawab, saya berkesempatan menceritakan mengenai perkembangan dunia blogging saat ini. Saya mengatakan bahwa
saat ini sudah banyak blogger yang menyadari dan menjalani perannya sebagai citizen journalist. Saya dan beberapa
peserta lain mengajukan pertanyaan yang dijawab secara bergantian oleh kedua
nara sumber.
Jawaban
keduanya saya tuliskan setelah pertanyaan yang tertulis dengan huruf miring di
bawah ini:
Pendidikan dan kedudukan penulis yang mengirimkan tulisan ke media massa memang menjadi pertimbangan penting. Padahal tidak selalu seseorang yang menjabat pada sebuah jabatan dan punya titel kesarjanaan banyak juga menulis secara berkualitas. Bagaimana ini? Bagaimana mengenai pelatihan wartawan? Jangan-jangan masyarakat memang butuh berita-berita yang “seksi”?
Ada
teori yang mengatakan cara kita menguasai seseorang, adalah dengan menguasai komoditasnya.
Komoditas tak selalu barang. Isu pendidikan adalah komoditas juga. Karena
menghasilkan uang, sekaligus dipakai untuk menguasai seseorang.
Segradasi
sosial dan separasi sosial bisa terjadi kalau tidak memperhatikan hal-hal tersebut.
Contoh segradasi sosial: secara budaya: meletakkan kamar mandi di sudut
belakang rumah, kamar pembantu di belakang, dekat kamar mandi. Cara membagi
ruang di rumah mengingatkan kita melakukan segradasi sosial. Boleh jadi dalam
dunia menulis, itu ada. Suka atau tidak media menjadi pelaku segradasi dan
separasi. Bahasa bisa dipakai untuk membalik kualitas
Kita
tidak bisa lepas dengan semakin instannya media. Dengan media online, semakin
mudah membuat media. Perihal training,
sebenarnya adalah kewajiban media kepada wartawannya. Namun tidak selalu media
memberi training yang khusus kepada
wartawan. Ada yang baru sehari bekerja sudah disuruh menulis dan terjun ke
lapangan.
Citizen journalism memperkaya perspektif. Citizen journalism tidak bisa mengganti
tugas wartawan karena lebih berupa perspektif. Citizen journalism diperlukan sebagai perspektif, tidak apa-apa bersifat
subyektif. Tidak apa-apa tidak cover both
side. Cover both side itu tugas wartawan.
Media
turut berperan agar perempuan bisa maju. Media bahkan bisa jadi peluka
kedua/pemerkosa kedua. Bagaimana bisa foto korban yang (keadaannya) parah
sekali, masih diunggah ke media sosial. Sejauh
mana media ikut dan percaya bahwa tugas media adalah turut membangkitkan harga
diri meskipun yang diberitakan adalah korban?
Ada
contoh kejadian di Amerika, seorang perempuan terpuruk berhasil menjadi penulis
terkenal. Waktu itu dia diberitakan secara penulisan literary journalism.
(Dalam
hal ini, media bisa berperan pada kesuksesan seseorang. Kalau pemberitaannya
positif, walaupun korban – seseorang bisa jadi positif. Kalau beritanya
negatif, si korban menjadi korban berkali-kali).
Media
juga tanpa sadar telah melakukan “kejahatan semantik” atau “kejahatan
linguistik”. Kata mahar politik jangan dipakai seenaknya. Padahal “mahar” itu
maknanya sakral. Begitu pun kata “dinasti”, jadi berarti negatif, karena media
juga menyebarluaskan pemakaiannya.
Musuh
terbesar adalah pemilik industri media itu sendiri. Tahun 2014 lalu, AJI
mengumumkan musuh media, yaitu pemilik media beberapa stasiun televisi. Dilema
wartawan adalah antara idealisme dan urusan perut. Ada yang idealis, keluar
dari pekerjaannya – tak masalah kalau wartawan itu sudah mapan namun wartawan
baru, masih banyak yang dilema.
Makassar, 18 Agustus 2015
Bersambung
[1]
Untuk lebih jelasnya, silakan baca uraian Pak Alwy Rahman di tulisan berjudul Kelamin:Tak Membatas, Tak Tampak, atau Tak Berbahasa? Perspektif Debat Demarkasi Jender
Share :
Yg males itu kadang media online cuma ngejer sensasi aja..judul tulisan apa isiny apa... rasanya makin kesini etika jurnalistik entah menghailang kemana
ReplyDeleteYah, begitulah, Mbak
DeleteOnline ntu judul doang yg heboh, isinya biasa2 aja ya mb kdg2 tu
ReplyDeleteIya benar ... pas membuka, rasanya tertipu ya :D
DeleteIya bener,dilema juga ya. Kadang idealis dimusuhi
ReplyDeleteYah, seperti itulah di sekeliling kita
DeleteI constantlʏ emailed thіѕ blog post page to all mу associates,
ReplyDeletefor thе reason tһat if like to read it afterward
my links will too.