Tulisan ini merupakan tulisan ke-5, catatan saya selama mengikuti Festival Forum KTI tanggal 17 – 18 November lalu. Silakan baca tulisan pertama, kedua, dan ketiganya: Graphic Recorder, Profesi Kreatif Keren Abad Ini, KTI, Masa Depan Indonesia, Pengelolaan Air dan Penanggulangan Bencana di Kaki Rinjani, dan Inspirasi dari Timur: Rumah Tunggu Penyelamat dan Wisata Eksotis. Tulisan ini dibuat berdasarkan penyampaian yang diberikan Bapa Tua La Asiru dan Pak Abbas, juga dengan mengambil dari internet (sumbernya saya sertakan).
“Para penjaga laut Tomia” (“Bapa Tua” La Asiru – ketua Komunto:
Komunitas Nelayan Tomia dan Abas) tampil membagikan kisah inspiratifnya.
Tomia
adalah wilayah kepulauan, bagian dari Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawei Tenggara. Wakatobi singkatan
dari 4 wilayah: Wangi-Wangi, Kalampeto, Tomia, dan Binongko. Bagian lautan dari
Wakatobi mencakup 97% dari total luasnya, bagian daratan hanya 3%.
Mulanya,
perairan kepulauan Tomia kaya dengan ikan. Namun karena ulah para nelayan yang
datang dari berbagai penjuru termasuk dari Sulawesi Selatan yang memakai bom
ikan dan bius ikan, secara perlahan, bukan hanya ikan yang berkurang, terumbu
karang pun banyak yang rusak.
Pak Abbas (kiri), Bapa Tua La Asiru (tengah) |
Timbul
Keresahan akibat berkurangnya ikan di perairan Tomia. Jenis-jenis ikan yang
dulu banyak, mulai berkurang. Tahun 2004 dibuat pengorganisasian dari dusun ke
dusun, kampung ke kampung untuk membentuk komunitas nelayan. Tahun 2006 Komunto
terbentuk, diikuti terbentuknya komunitas-komunitas nelayan lain di Tomia
hingga akhirnya ada 27 komunitas nelayan di seluruh Tomia.
Pak
Abbas, Bapa Tua, dan Komunto melakukan penyadaran kepada para nelayan Tomia
mengenai pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam di Tomia. Tak boleh
lagi ada penangkapan ikan menggunakan bom ikan, bius ikan, dan cara-cara salah
lainnya. Hanya boleh memakai cara alami.
Video Para Pengawal Laut Tomia. By: BaKTI
Saya
tidak mendapatkan keterangan dan data mengenai kapan tepatnya terbentuk “bank
ikan”. Tiga wilayah berukuran kira-kira 100 meter x 100 meter ditetapkan
sebagai bank ikan. Semua bank ikan terlarang untuk dieksploitasi oleh manusia.
Seperti bank pada umumnya, isi bank ikan seolah menyimpan “modal” yang tak
boleh diambil. Hanya “bunganya” yang boleh diambil. Ketika “tabungan” di bank
ikan sudah banyak, ikan-ikan akan bertebaran ke wilayah-wilayah laut lainnya.
Usaha
Komunto tak langsung ditanggapi positif oleh para nelayan dan warga setempat.
Mereka bahkan didemo oleh para sarjana dan pengusaha besar (tanya kenapa? Haha saya
juga bingung, orang pintar kenapa malah melawan sesuatu yang bijak, yak?).
Sebagian hadirin Festival Forum KTI VII |
“Kami
terbuka sepanjang bisa berlaku arif. Mulai dari memberi pemahaman yang sama
bahwa tempat kita perlu dijaga. Tak perlu biaya dari luar,” ucap Pak Abbas.
Lama-kelamaan
usaha positif yang dilakukan membuahkan hasil. Malah ada drama segala, dengan
mentraktir pemuda kampung dan mengadakan kontes dangdut (kalau drama itu, saya
baca ceritanya di website Gatra. Silakan baca kisah selengkapnya di
sini). Usaha drama yang berhasil, para pemuda kampung pun berhasil
diberikan pemahaman.
Komunto
juga menjalankan semacam koperasi simpan pinjam uang. Komunto menekankan
pentingnya melibatkan kaum perempuan dalam mengatur keuangan bagi rumah tangga
masing-masing[1].
Anggota yang meminjam dana harus menjaminkan pohon kelapa atau pohon jambu mete
yang dimilikinya. Pada batang pohon distempel cap bertuliskan "3K (Kredit
Koservasi Kulati)". Pohon dengan cap inilah yang menjadi jaminan pinjaman
kepada koperasi. Selama belum melunasi pinjaman, pohon dan semua jaminan ini
tidak boleh ditebang dan wajib dijaga[2].
Pada
tahun 2010, Komunto terpilih sebagai satu dari 25 pemenang Equator Prize 2010.
Wakil Komunto menerima penghargaan pada bulan September di New York, Amerika
Serikat.
Dalam
website resminya, Equator Initiative menyatakan bahwa keberhasilan dari
organisasi swadaya masyarakat tersebut adalah memobilisasi dan mengelola
nelayan-nelayan yang dulunya tersebar dan terisolasi, mengeliminir pemutihan
karang, menstabilkan harga ikan di pasaran, pengadaan dana untuk kemajuan usaha
perikanan Wakatobi serta mengembangkan kerjasama dengan pemerintah daerah.
Selain itu bank ikan juga termasuk hal yang diapresiasi sehingga Komunto
mendapatkan pernghargaan tersebut[3].
Snorkeling di perairan Tomia Sumber: http://www.wiranurmansyah.com/ |
Wilayah
konservasi di dalam bank ikan di Tomia menjadi terpelihara. Bank-bank ikan itu
kini hasilnya bisa dinikmati warga Tomia. Ikan-ikan kembali melimpah. Desa
ekowisata bisa diselenggarakan di Tomia, dengan modal dari hasil bank ikan. Pak
Abbas menutup penyampaiannya dengan kalimat, “Tolong bantu dengan cara mengambil makanan secukupnya supaya nanti
masih bisa ambil lagi.” Maksudnya, kita harus ingat bahwa anak-cucu kita
kelak juga membutuhkan alam yang terjaga. Bukan hanya kita yang butuh makan,
anak cucu kita pun butuh juga.
Pada
hari kedua, keesokan harinya, saya duduk semeja bersama Bapa Tua dan Pak Abbas.
Pak Abbas duduk persis di sebelah kiri saya. Bersama tujuh orang lainnya, kami
berdiskusi mengenai ketahanan pangan pada sesi Curah Ide. Dari apa yang mereka
bicarakan, nyata benar kalau mereka orang-orang bijak. Orang-orang yang peduli
dan sudah terbukti kalau mereka tak segan berjuang untuk masyarakat. Merekalah pahlawan sejati di zaman ini.
Hanya satu yang saya sesali pada pertemuan itu: saya tak menyempatkan foto
bersama Bapa Tua dan Pak Abba padahal sudah duduk semeja. Huhuhuuu.
Makassar, 25 November 2015
Bersambung
Silakan
baca tulisan-tulisan sebelumnya:
- Graphic Recorder, Profesi Kreatif Keren Abad Ini
- KTI, Masa Depan Indonesia
- Pengelolaan Air dan Penanggulangan Bencana di Kaki Rinjani.
- Inspirasi dari Timur: Rumah Tunggu Penyelamat dan Wisata Eksotis
Catatan kaki:
[1]
Sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/sosial/bank-ikan-untuk-lawan-kemiskinan
[2]
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/15/11/19/ny1pw736-bank-ikan-demi-kesejahteraan-nelayan-tomia
[3]
Sumber: http://www.wwf.or.id/?19980/Komunitas-nelayan-Tomia-raih-Equator-Prize-2010
Share :
Nyimak terus sambungannya tentang KTI. :D
ReplyDeleteTerima kasih ya Mbak Anisa
DeleteKlo di Karimun, ada pemeliharaan ikan hiu
ReplyDeleteWiih keren, Jiah
DeleteDuh terharu, saya suka meedak-ledak jika mendengar kisah-kisah inspiratif seperti kisah Pak Abbas. Semoga kebaikannya terus mengalir hingga ke generasi selanjutnya. Dan semoga saya bisa snorkeling menyambangi keindahan Wakatobi. Mbaaaak kangen dirimu :* :*
ReplyDeleteIya Mbak Lina, perasaan seperti suka muncul juga dalam diri saya. Beliau-beliau itu keren yah.
DeleteAamiin .. aamiin .. trus mampir di Makassar, ya Mbak Lina, biar bisa temu kangen :)
mak, asli saya baru tau kalau wakatobi itu singkatan. ke mana aja ya saya???
ReplyDeleteuwih...idenya cemerlang. bank ikan, pohon sebagai jaminan. acung jempol deh saya.
Saya pun baru tahu beberapa tahun lalu, Mak, diberitahu kawan yang tugas di salah satu kota di sana, hehehe.
DeleteBenar, cemerlang. Walau sederhana, idenya keren ... :)
laut tomia keren sekali. sayang banget kalo harus dirusak dengan bom ikan. selain makannan yang berkurang ekosistem lautnya juga rusak. benar itu harus ambil secukupnya saja
ReplyDeleteIya Mbak
Deletesalut buat pak abbas bapa tua dan komunto mak... :)
ReplyDeleteInspiratif ya mereka, Mak
DeletePerlu orang2 yang banyak akal seperti beliau agar kekayaan kita terlestarikan.
ReplyDeleteTerima kasih artikelnya yang inspiratif
Salam hangat dari Jombang
Iya Pakdhe.
DeleteTerima kasih sudah mampir di sini:)
asik ya snorkling disana
ReplyDeleteYup
Deleteorang-orang yang luar biasa..
ReplyDeletedaripada menyalahkan pemerintah dan tinggal dengan umpatan, mereka berbuat sesuatu..
terpujilah Bapak Tua
Benar sekali Daeng
Deletesyukurlah usahanya berhasil
ReplyDeleteALhamdulillah
DeleteTernyata masih bersambung lagi ya Bu. Panjang ceritanya. Bisa dibukukan.
ReplyDeleteWow .. keren ya mbak bank ikannya itu, saya baru tahu, terima kasih sudah berbagi cerita mbak. Semoga usaha bagus ini bisa ditiru juga di wilayah lain selai Tomia ya mbak agar anak dan cucu masih bisa menikmatinya.
ReplyDelete