Tulisan ini merupakan tulisan ke-5, catatan saya selama mengikuti Festival Forum KTI tanggal 17 – 18 November lalu. Silakan baca tulisan pertama, kedua, dan ketiganya: Graphic Recorder, Profesi Kreatif Keren Abad Ini, KTI, Masa Depan Indonesia, Pengelolaan Air dan Penanggulangan Bencana di Kaki Rinjani, Inspirasi dari Timur: Rumah Tunggu Penyelamat dan Wisata Eksotis, dan Gerakan Gebrak Malaria dan Pejuang Legislasi Malaria dari Halmahera Selatan.
Zaman
SD dulu, sering saya mendengar bahwa negara kita punya banyak lumbung padi.
Bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang kaya dengan hasil-hasil pertanian
dan juga kaya dengan hasil lautnya. Mengerikannya, di zaman ini, hal itu seakan
jauh panggang dari api. Kedaulatan pangan menjadi hal yang sulit diwujudkan.
Sebuah
artikel di republika.co.id kemarin melansir mengenai kedaulatan pangan. Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian
Indonesia (PISPI), Arif Satria, mengatakan kedaulatan pangan merupakan
paradigma baru dalam pembangunan pertanian. Ada 4 faktor yang harus dicermati mengenai
kedaulatan pangan[1].
Empat
faktor tersebut (sebagaimana yang disampaikan Afif kepada Republika) adalah:
- Isu produksi. Pada tahun 2025 diperkirakan wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara akan mengalami defisit pangan 126 juta ton, sementara Asia Selatan juga mengalami defisit sebesar 46 juta ton.
- Isu sumberdaya manusia pertanian. Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, jumlah petani yang berusia kurang dari 25 tahun sebesar 232 ribu orang dan berumur di atas 65 tahun sebesar 3,3 juta. Begitu pula yang kurang dari 44 tahun sebesar 10,2 juta jiwa dan yang berumur di atas 45 tahun sebanyak 16 juta. Memprihatinkan sekali karena petani usia muda komposisi jumlahnya jauh lebih sedikit. Bagaimana nasib pertanian kita nanti?
- Ketiga adalah isu MEA. Ini merupakan kenyataan yang sulit dihindari. Dengan MEA yang berlaku bulan depan, maka arus barang dan jasa akan semakin lancar. Tantangannya adalah bagaimana kita mampu memperkuat sarjana pertanian dan dibekali dengan pendidikan profesi karena mampu bersaing dengan tenaga profesional dari negara tetangga. Begitu pula produk pertanian kita harus memiliki daya saing.
- Salah satu amanah UU Pangan No 18/2012 adalah terbentuknya lembaga otoritas pangan. Namun hingga saat ini Badan Pangan Nasional yang sudah dirancang pemerintah belum didirikan juga.
Para anggota KSP Salassae yang tampil di Festival Forum KTI VII |
Kedaulatan pangan menjadi momok di zaman ini. Negeri kita yang tadinya kaya padi dan
kedelai menjadi pengimpor kedua bahan itu. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) Januari-Agustus 2015 yang dikutip detikFinance, Jumat
(25/9/2015), Indonesia juga tercatat masih banyak impor pangan[2], sebagai berikut:
- Beras 225.029 ton dengan nilai US$ 97,8 juta
- Jagung 2,3 juta ton dengan nilai US$ 522,9 juta
- Kedelai 1,52 juta ton dengan nilai US$ 719,8 juta
- Biji gandum dan meslin 4,5 juta ton dengan nilai US$ 1,3 miliar
- Tepung terigu 61.178 ton dengan nilai US$ 22,3 juta
- Gula Pasir 46.298 ton dengan nilai US$ 19,5 juta
- Gula tebu (Raw Sugar) 1,98 juta ton dengan nilai US$ 789 juta
- Garam 1,04 juta ton dengan nilai US$ 46,6 juta
Total
nilai impor 8 komoditas pangan tersebut mencapai US$ 3,5 miliar, atau setara
dengan Rp 51 triliun. Banyaknya impor pangan ini yang disebut Presiden Jokowi menjadi
salah satu penyebab rupiah melemah.
Ironi,
ya? Inikah negeri kaya?
Adakah
rasa pesimis melanda kita?
Hm,
singkirkan dulu rasa pesimis itu. Jika Anda hadir di Festival Forum KTI VII
yang diselenggarakan oleh BaKTI, Anda akan berdecak kagum mendengarkan
penuturan para petani dari Salassae, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang dipimpin
oleh Armin Salassa. Mereka berhasil mewujudkan kedaulatan pangan organik melalui
Komunitas Swabina Pertanian (KSP) Salassae!
Secara
terorganisir, para anggota KSP Salassae berbagi tugas ada yang mengurus
pemasaran, mengelola unit makanan alami, dan membuat kompos sendiri. Mereka tak
menggunakan pupuk kimia. Sebagai gantinya, menggunakan pestisida alami dari
bahan herbal.
Di Bulukumba jika dihitung ada sekitar Rp 1 triliun uang yang digunakan oleh petani untuk memenuhi kebutuhan pupuk kimia, jika dibandingkan dengan pertanian organik setiap masyarakat dengan modal 80 ribu rupiah bisa mengelola lahan mereka selama 6 kali pengolahan. Semua bahan yang digunakan juga berasal dari alam. Bahan pembuat Nitrogen, Pospor, Kalium, Kalsium, Kompos serta obat herbal bisa dibuat oleh petani.[3]
Menurut
Armin Salassa, dari data terakhir di Bulukumba, penghematan di Salassae
Bulukumba dengan pertanian organik mencapai 250 juta rupiah. Wow! Oya, selain
itu hasil dari pertanian organik biasanya lebih tinggi, lebih hijau, dan lebih enak.
Seperti beras hasil pertanian organik, rasanya jauh lebih enak daripada beras
yang menggunakan pupuk kimia.
KSP
Salassae juga mengelola lembaga keuangan mikro, lho. Dari modal awal 6 juta,
kini terlah berkembang menjadi 600 juta rupiah. Yang ingin bergabung harus
berkomitmen bertani alami, kalau tidak mau tidak diterima. Syarat petani berdaulat
adalah bisa menghidupi dirinya sendiri. Di Salassae, para anggota KSP Salassae
sudah mewujudkannya.
Armin Salassa, pendiri KSP Salassae |
Perubahan
telah terjadi di Desa Salassae, beberapa orang muda sudah mulai bergiat tanam
organik (baca di sini). Masih ada penentangan dari orang-orang terdahulu yang merasa sudah
banyak makan asam garam. Memang, perubahan pola pikir dari penggunaan pupuk
kimia kembali kepada kearifan lokal bukanlah hal yang mudah.
“Susahnya
meyakinkan masyarakat yang ‘runtuh’ keyakinannya,” ungkap salah seorang lelaki,
anggota KSP Salassae. Sayang sekali saya tidak mencatat namanya. Lelaki ini
mengajar di SMA Salassae bidang pertanian organik. Dan saat Kak Luna Vidya – MC
event ini memancingnya menjawab
pertanyaan mengenai pendidikannya, ia mengatakan ,”Tidak tamat SMP.”
Wow luar biasa! Ini salah satu pembuktian
bahwa bukan pendidikan yang membuat seseorang berguna, melainkan apa yang bisa dia
perbuat!
Video Kedaulatan Pangan di Salassae. By: BaKTI
Makassar, 29 November 2015
Bersambung
Silakan
dibaca juga tulisan-tulisan sebelumnya:
- Graphic Recorder, Profesi Kreatif Keren Abad Ini
- KTI, Masa Depan Indonesia
- Pengelolaan Air dan Penanggulangan Bencana di Kaki Rinjani.
- Inspirasi dari Timur: Rumah Tunggu Penyelamat dan Wisata Eksotis
- Inspirasi dari Penjaga Laut Tomia
- Gerakan Gebrak Malaria dan Pejuang Legislasi Malaria dari Halmahera Selatan.
Sumber referensi tambahan:
- http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/28/nyimcl257-empat-faktor-dalam-mewujudkan-kedaulatan-pangan
- http://finance.detik.com/read/2015/09/25/093601/3027833/4/daftar-impor-pangan-ri-senilai-puluhan-triliun-rupiah
- http://www.tribunnews.com/kementan/2015/05/29/melirik-suksesnya-pertanian-organik-di-desa-salassae-sulawesi-selatan
Catatan kaki:
[1]
Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/28/nyimcl257-empat-faktor-dalam-mewujudkan-kedaulatan-pangan
(diakses 29 November pukul 15.37 WITA).
[2]
Sumber: http://finance.detik.com/read/2015/09/25/093601/3027833/4/daftar-impor-pangan-ri-senilai-puluhan-triliun-rupiah
(diakses 29 November pukul 15.47 WITA).
[3]
Sumber: https://perkumpulanwallacea.wordpress.com/2015/03/31/pertanian-organik-suatu-model-perjuangan-petani/
Share :
Negeri kaya, yang seharusnya penduduk juga kaya. Sayangnya malah petani yang hidupnya paling miskin. :( Udah capek-capek, hasilnya hanya cukup dimakan beberapa bulan dan nunggu panen lagi. Belum untuk kebutuhan lain. #anakpetani
ReplyDelete"bukan pendidikan yang membuat seseorang berguna, melainkan apa yang bisa dia perbuat!"
ReplyDeleteLove this quote so Much....