Pengasuhan Anak ala Warteg? Oh, No! - Kopdar
IIDN Makassar kali ini berbeda daripada biasanya. Seorang anggota yang bermukim
di Cileungsi, Bogor, datang ke Makassar. Namanya Mbak Fitria Laurent, akrab
disapa Mbak Pipit. Mbak Pipit ini datang ke Makassar sebagai fasilitator dari
Sahabat Edukasi untuk memberikan pelatihan di sebuah lembaga sosial – LeMina (Lembaga
Mitra Ibu dan Anak) selama 2 hari. Sahabat Edukasi bergerak dalam pendampingan
kepada masyarakat melalui hal-hal berbasis nilai (values).
Di
hari terakhir keberadaannya di Makassar, Mbak Pipit berkenan memberikan materi
dalam sebuah bincang-bincang santai yang bertempat di kantor redaksi Harian
Amanah, tanggal 18 Februari lalu. Berikut ini catatan dari bincang-bincang
tersebut:
Foto: Harian Amanah |
Isu
santer menyerang anak-anak dewasa ini (misalnya kekerasan seksual pada anak).
Karena kemajuan teknologi, kemajuan hiburan, dan kebutuhan ekonomi, waktu yang
seharusnya dipakai orang tua mendampingi anak-anaknya menjadi tergeser.
Kini,
banyak anak yang tak lagi didampingi orang tuanya. Tiga tahun ini, trend meningkat ditunjukkan pada minat orang tua dalam memasukkan anaknya ke sekolah
berasrama.
Apa alasan kebanyakan orang tua memasukkan
anaknya ke sekolah berasrama? Karena merasa aman.
Sekolah
berasrama dianggap lebih aman daripada rumah sendiri! Hal
ini menggeser filosofi bahwa rumah adalah tempat belajar pertama bagi anak.
Ada
penelitian menunjukkan bahwa banyak orang tua, karena kesibukan dan lain-lain,
kurang hadir bersama anaknya. Walaupun secara fisik ia ada bersama anak, ia
tidak mengedukasi anak. Banyak yang hilang dalam hal-hal yang dulu (saat kita
masih kecil) dibandingkan saat ini.
Mbak
Pipit menyebutkan 3 contoh:
- Saat ia masih kecil, ibunya tiap hari bangun lebih dulu daripada seisi rumah. Ibunya bangun sebelum subuh, menyiapkan segala sesuatunya. Usai shalat subuh, ia membangunkan anak-anaknya untuk shalat subuh. Hal seperti ini sekarang hilang karena kesibukan.
- Nonton televisi bersama (sekeluarga). Maksudnya nonton acara yang sama dan saling berkomentar. Orang tua menjawab pertanyaan anak. Sekarang, baik orang tua maupun anak punya acara favorit masing-masing. Channel masing-masing. Dan saat menonton, tidak berbicara satu sama lain.
- Dulu operator telepon hanya satu. Setiap telepon yang masuk ke rumah diketahui ayah ataupun ibu. Sekarang, masing-masing anak bisa saja punya handphone sendiri. Jika ada yang menghubungi, ayah atau ibu tidak perlu lagi tahu.
Bicara
tentang fenomena “kebersamaan yang tergeser” ini dan bagaimana mengaktifkan
kerja otak imprint anak agar kelak
menuai hal yang positif di usia 20 tahunnya, Mbak Pipit memberikan masukan
sebagai berikut:
Suasana bincang-bincang parenting. Foto: Harian Amanah |
Hidupkan nilai-nilai positif di
dalam keluarga kita dengan melakukan hal sederhana yang langsung berdampak
kepada kita. “Tutup
mata” dulu, deh dengan hal-hal yang tak terjangkau.
Bagaimana cara menghidupkan
nilai-nilai positif di dalam keluarga? Mbak Pipit melakukan simulasi kepada
kami dengan meminta kami menulis. Kesimpulan dari kegiatan dan dari apa yang
disampaikannya kemudian adalah:
- Catat karakter positif diri sendiri dan masing-masing anak.
- Tuliskan perilaku positif apa yang bisa diberlakukan di dalam rumah setiap harinya secara konsisten. Satu perilaku saja, diulang setiap hari maka akan menjadi budaya (dan tertanam dalam diri anak).
- Jadikan agenda.
Kata Mbak Pipit, pengasuhan anak adalah hal yang direncanakan. Jangan asal jalan saja. “Sayang, kan ibunya sarjana, anak diasuh ala warteg (sekadarnya saja),” kata-kata Mbak Pipit yang diucapkannya beberapa kali ini membuat saya tertegun.
Merasa
tertonjok.
Tepat
di ulu hati.
Dalam
hati saya membenarkan. Saya tahu, melaksanakan kewajiban di luar pengasuhan anak bukanlah alasan untuk sekadarnya saja dalam memperlakukan anak. Anak tak
pernah minta dilahirkan. Segala sesuatunya memang harus direncanakan supaya
perkembangan anak mengarah kepada tujuan yang dikehendaki.
Contohnya
saja, mana bisa mengharapkan anak shalat kalau orang tuanya hanya memerintahkan
“Shalat, Nak!” sesekali saja tanpa memberi contoh sama sekali? Atau mengharap
anak menjadi anak yang pemaaf sementara orang tuanya tidak pernah terdengar
meminta maaf kepada anak ketika khilaf?
Hei, dua contoh itu saya tulis karena
saya melakukannya, yah. Insya Allah dua hal ini saya biasakan terjadi pada diri
saya. Tapi saya punya banyak kekurangan dan kesalahan yang harus diperbaiki juga.
Kalau hal itu, cukup saya dan Allah saja yang tahu.
Nah, bagaimana dengan Anda?
Makassar, 23 Februari 2016
Bersambung ke tulisan
selanjutnya
Share :
Menjadi orangtua itu harus belajar dan belajar terus
ReplyDeleteIya, Kang Arul. Ternyata seperti itu seharusnya ketika kita menjadi orang tua
DeleteTantangan terberat dalam bidang jasa penitipan atau pengasuhan anak ini adalah menjaga kepercayaan orang tua dalam menitipkan anaknya untuk diasuh. Selain itu, harus menyediakan pengasuh yang bisa dipercaya dan sayang pada anak-anak.
ReplyDeleteDan sebaiknya pengasuh bukan hanya tahu cara memandikan atau menyuapi anak saja, dia juga harus tahu ilmu parenting.
DeleteLagi berusaha membangun karakter positif ni supaya nadia tumbuh jd anak pemberani n pede dan akunya lg berusaha mengurangi kata perintah dna marah2 hehhee.jd ortu emang ga gampang ya mbak tfs ya :)
ReplyDeleteTidak gampang, Mbak Muna. Tapi tidak juga sulit, yah ... asal kita mau belajar :)
DeleteTulisan yg bermanfaat kak Niar...bagaimana mengharapkan anak solehah kl ibunya tidak berusaha menjadi wanita solehah ya
ReplyDeleteIya Islah, begitu kira-kira.
DeleteUcapan Mbak Pipit menohok ya Mak. Sy yg blm jadi ortu jd nyebayangin, kira2 jadi ortu macam apa sy nanti. Harus banyak blejar dr senior2 pastinya ^_^
ReplyDeleteBelajar sedikit demi sedikit supaya saat tiba waktunya, tidak kaget lagi. Bahkan para lajang pun seharusnya sudah mulai mempersiapkan diri ^^
DeleteInspiratif sekali acaranya... kadang memilah2 antara positif dan negatifnya jaman sekarang thdp pendidikan anak agak susah...
ReplyDeleteTerima kasih sudah berbagi
Jadi, orang tua perlu belajar, ya Bang Doel
DeleteWah, ini sesuatu yang baru. Jadi seorang ibu juga gak terlalu merepotkan lagi.
ReplyDeleteTidak terlalu merepotkan kalau tahu ilmunya :)
Deletebelajar jadi orang tua melalui postingan ini :)
ReplyDeleteMAri belajar, Mbak Titis :)
DeleteSebenarnya semua kembali kepada pemahaman dan tujuan seseorang menikah. Menikah bukanlah sekedar karena aku sudah cukup umur, karena aku tak bisa hidup tanpanya. Tapi menikah adalah sebuah perjalanan hidup yg sebenarnya yg harus siap dg segala buntut permasalahannya. Begitupun dg pengasuhan anak, seseorang harus berilmu dg pendekatan kasus masa lalu dan kekinian yg terjadi dan yg terpenting merujuk kepada kaidah agama sesuai sunah.
ReplyDeleteIya Pak Edi. Dan semuanya tidak bisa dilakukan kalau tidak belajar. Orang tua harus selalu belajar.
DeleteBaca postingan ini jadi belajar parenting, bermanfaat sekali bu. Ditunggu part 2-nya.. Salam kenal bu :)
ReplyDeleteMAri belajar, Mbak Ulvia :)
DeletePostingan keduanya sudah ada
Seadanya.
ReplyDeleteAkupun tertohok mak -_-
Ya walaupun kita irt cuma kadang tetep aja suka ngerasa ga total ngurus anak gitu ya?
Iya bener banget, parenting itu harus terus diapgret supaya kita bs penyesuaian dengan perkembangan anak
Iya, Mak Ratu ...
DeleteBerasa masih ada kekurangan di sana sini
AKu pernah menawarkan pesantren sama si sulung tapi dia menolak. Hikmahnya aku masih bisa sama-sama trus deh
ReplyDeleteBagus, Mbak Lidya masih menanyakan kemauan Aa :)
DeleteHuhuhu merasa tertonjok juga. Ada rencana masukin anak ke pesantren juga sih, tapi niatnya supaya dia mandiri, bukan ingin ngejauhin. Tapi itu pun kalau dia mau sih sebenernya.
ReplyDeleteEmang berat jd ortu ya.... moga bisa amanah aamiin
Mesti diusahakan jadi kemauan anak juga, Mbak ... Mbak Pipit pun mengatakan demikian.
DeleteAamiin. Mudah2an kita jadi ortu yang amanah ya.
Aduuuh..pengasuhan ala warteg. Ini makaudnya ala kadarnya gitu ya mba? :(
ReplyDeleteHiks ... iyaa, Mbak.
DeleteTantangan mengasuh anak sekarang lebih berat ya mak
ReplyDeleteMenurut saya pun demikian, Mak Ika
DeleteMakjleb banget ini Kak, self noted. Dan tentang pesantren dan sekolah berasrama, saya pernah membahas panjang lebar dengan suami, meski anak kami baru 4th. Masih dilema juga, dan banyak pertimbangan. Banyak pakar parenting tidak rekomen untuk memasukkan anak ke pesantren atau boarding school. Tapi banyak Ustadz dan ustadzah yang menyarankan sebaliknya. Huaa..bingung T_T
ReplyDeletePOintnya ortu harus memberi contoh yang baik ya mbak. Iya nih, kadang anak nonton tivi saya tinggal mainan HP :(
ReplyDeleteUlasan yang menarik dan bermanfaat kak.. Saya jadi merasa perlu banyak introspeksi diri.. Terimakasih kak..
ReplyDelete