Lanjutan dari tulisan berjudul Catatan dari Diskusi Publik Media dan Isu Kekerasan pada Perempuan dan Anak
Sebenarnya
tulisan ini bukan merupakan lanjutan dari diskusi publik Media dan Isu
Kekerasan pada Perempuan dan Anak yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Makassar pada tanggal 14 Mei lalu. Tulisan ini adalah bagian
dari hal-hal yang tidak bisa sepenuhnya saya paparkan ketika diskusi
berlangsung, yaitu saat saya mendapat kesempatan untuk bertanya kepada ketiga
nara sumber. Untungnya, saya blogger jadi saya punya ruang lain untuk
mencurahkan isi hati dan pikiran saya mengenai apa-apa yang tidak tersampaikan
sepenuhnya itu.
Saat
diberi kesempatan oleh moderator, Ibu Sunarti Sain, saya menceritakan mengenai
contoh-contoh kasus betapa di negeri sudah kehilangan hal-hal yang dulu
merupakan bagian dari kita. Hal-hal itu adalah kepedulian dan kepekaan bersama dalam menegur perilaku buruk
anak-anak kita yang bisa berujung kepada ketidakberperasaannya anak-anak itu.
Saya
menceritakan bahwa dua anak saya pernah menjadi korban bully dan untuk mengatasinya, suami saya harus turun tangan. Bahkan
kepada yang mem-bully Athifah, saya
pun turun tangan dengan mengawasi anak lelaki yang menakalinya sampai
memelototi saat bertemu dengannya. Suami saya sampa perlu mengancamnya secara
khusus ketika anak itu berulang kali melakukan kenakalannya kepada Athifah.
Saya
sebenarnya tidak ingin lagi bercerita tentang hal ini karena hal-hal yang
menyakiti anak-anak saya juga terasa sakit bagi saya. Kadang-kadang ingin
berlaku ekstrem dengan memberikan “pelajaran keras” kepada anak-anak itu tapi
saya tahu itu tindakan salah. Namun saya tidak ingin menceritakan dengan detail di blog ini mengenai apa yang
dialami Affiq dan Athifah.
Pada
apa yang dialamai Affiq, setelah suami saya melaporkannya kepada guru BK
(Bimbingan dan Konseling), ketiga anak yang melakukan bully ditindak dalam bentuk penambahan “catatan amal buruk” mereka.
Sekali lagi mereka melakukannya, mereka langsung out dari sekolah karena sebelumnya mereka sudah punya catatan
kenakalan yang cukup panjang. Sekolah Affiq tega-tega saja memberikan sanksi
pada anak-anak yang keterlaluan nakalnya, misalnya dengan mengeluarkannya dari
sekolah meski sehari menjelang ujian nasional kalau “catatan kenakalan” mereka
sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Bagi
saya, itu fair karena mesti dipikirkan
juga kalau mereka itu masih anak-anak. Namun tidak demikian pada suami saya.
Ini karena sebenarnya kami tidak tahu sedalam apa bekas perlakuan anak-anak itu
kepada Affiq.
Satu hal yang saya garisbawahi pada kasus Athifah dan beberapa kasus
yang saya ceritakan adalah mengenai kurangnya kepedulian orang dewasa, termasuk
guru yang berada di sekitar anak-anak itu dan orang tua dari anak itu sendiri
(suami saya sudah mengadukan anak itu pada orang tua dan gurunya waktu itu).
Orang-orang dewasa sekarang banyak yang menganggap apapun yang dilakukan
anak-anak itu, bahkan bully dan
perkelahian sekali pun bisa dibiarkan karena mereka hanyalah anak-anak dan apa
yang mereka lakukan adalah bagian dari permainan anak-anak. Padahal tidak
demikian. Jika sejak kecil mereka dibiarkan, hingga besarnya mereka akan
menjadi penjahat yang tidak peduli pada orang lain.
Saya
tak sendiri dalam pendapat ini. Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman
blogger yang tinggal di Jawa Tengah. Ia mengamati hal yang sama dengan saya.
Saya pun pernah nonton talkshow yang
menghadirkan ibu Elly Risman sebagai nara sumber. Ibu Elly menceritakan
mengenai kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang anak kepada 5 anak
lainnya hingga menyebabkan ada anak yang infeksi dan sakit. Saat para orang tua
korban mendatangi orang tua dari anak yang menjadi pelaku, tahukah Anda apa
yang dikatakan orang tua si pelaku? Ia berkata, “Ah, itu kan hanya permainan
anak-anak!” Astaghfirullah, itu kan
sudah keterlaluan!
Saat pada diskusi ini ada yang mengatakan
bahwa pelaku yang masih anak-anak seharusnya diberitahu baik-baik, jangan
ditegur di depan orang lain. Saya tidak setuju sepenuhnya.
Mengapa?
Karena,
saya membayangkan berada di posisi anak saya yang secara terus-menerus di-bully. Apakah saya harus mengajarkan
anak saya untuk selalu mengatakan baik-baik – jangan di depan orang perkataan
ini, “Kawan, jangan kau lakukan lagi, ya.” Sementara anak-anak itu – entah
terbuat dari apa, tetap saja bebal dan mengulangi perbuatan mereka, hingga
berkali-kali?
Maaf.
Saya tidak akan mengajarkan hal itu bila kelakuan anak-anak itu sudah
keterlaluan. Jujur saja, menuliskan kembali hal ini, saya menjadi agak emosi lagi
padahal kejadiannya sudah berlalu setahun – dua tahun yang lalu.
Memang
ada saatnya mengatakan segala sesuatunya secara sembunyi-sembunyi. Tapi ada
saatnya harus diserukan secara lantang supaya anak-anak saya memiliki kemampuan
membela diri, paling tidak secara verbal. Itu yang sedang saya ajarkan pada
anak-anak saya. Sebab kalau terus-terusan mengatakan secara baik-baik secara
sembunyi-sembunyi, tidak ada perubahan pada diri anak-anak itu.
Dalam
diskusi ini, saya mencoba menggugah teman-teman anggota AJI yang hadir untuk
bersama-sama menggugah kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesadaran,
kepekaan, dan kepedulian akan sikap anak-anak kita. Saya berharap media bisa
mengedukasi, bukan hanya sekadar menampilkan berita kekerasan misalnya. Apa yang
saya harapkan, saya kira sejalan juga dengan harapan para nara sumber. Dan juga
bersesuaian dengan “Gerakan
Bersesama” yang
digagas oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA) seperti
yang telah diulas oleh Ibu Tenri Palallo, kepala BPPPA (baca di tulisan
sebelumnya). Mari cerdaskan masyarakat dengan berita-berita yang mengedukasi
agar anak-anak kita menjadi berkualitas.
Makassar, 27 Mei 2016
Selesai
Share :
Aih, baca ini saya jadi ingat tweet seorang teman tempo hari yang bercerita pengalamannya dibully jaman sekolah dulu :(
ReplyDeleteIya betul.. Guru & ortu harus bertindak kalau ada bullying walaupun pelakunya masih anak2.
ReplyDeletesetuju, bullying harus segera dihentikan. jangan sampai jatuh korban-korban selanjutnya. :(
ReplyDeleteSetuju.. pengawasan ketat juga berlaku utk tontonan anak-anak.. miris melihat mereka terpengaruh film yg banyak adegan kasar.. :(
ReplyDeletePengalaman di bully itu traumanya susah hilang. Saya pun sering mengalaminya sejak kecil Mba. Saya tahu rasanya di bully... Sakiiiiit banget.
ReplyDeleteSetuju mbak pake banget.
ReplyDeleteSemoga anak2 kita terlindung dr segala macam bentuk perbullyan. Aamiin
Saya pikir bully mem-bully itu sudah ga ada...>
ReplyDeletekalimat yang saya suka di tulisan ini
"Saya harus mengajarkan kepada anak-anak saya, bukan hanya berteriak tapi kalau perlu membentak."
anak-anak harus di jauhkan dari tontonan yang kurang seronok ini. soalnya hampir setiap film ada film yang tak patut di tonton oleh anak2 kecil.
ReplyDelete