Tulisan ke-2 dari Seminar Internasional bertajuk Kartini Zaman Baru: Reflections on the Condition of Contemporary Indonesian Women yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Sejarah FIB UNHAS.
Andai
boleh duduk paling depan, saya akan memilih deretan paling depan. Tapi kali ini
saya cukup puas bisa duduk pada deretan kedua, di bagian tengah. Tepat di
belakang para nara sumber seminar internasional ini dan para petinggi kampus.
Dari
tempat duduk saya, saya mendengar pak dekan bertanya kepada Joost Cote, nara
sumber asal Belanda itu, “How do you spell your name?” Dan dijawab oleh – kalau
tidak salah, ibu ketua panitia seminar, “Yoost Kote, Pak.”
Hm, bukan “Jost Kot” rupanya,
melainkan “Yoost Kote”. Huruf J-nya diucapkan sebagaimana ejaan “J” pada Bahasa
Indonesia dulu, yaitu “Y”.
Satu
alasan besar, mengapa saya bersemangat datang ke seminar ini adalah hadirnya
Prof. Joost Cote sebagai nara sumber. Doktor dari Monash University (di Melbourne,
Australia) ini menerjemahkan kembali semua surat Kartini untuk kawan-kawan
Belandanya. Termasuk surat-surat yang dulu tidak dibuka oleh Abendanon.
Dr. Joost Cote |
Mr.
Cote menceritakan bahwa ia baru dari Jepara untuk hari yang khusus (Pameran
Reproduksi Warisan Kartini dan Jepara, di sana ia menjadi nara sumber pada
pembukaannya, tanggal 19 April 2016). Di sana, anak-anak muda yang tergabung
dalam komunitas Rumah Kartini[1] membentuk ulang hal-hal
yang disukai Kartini, seperti kain batik dan ukiran Jepara. Hm, pak Cote
ternyata sudah menjadi bagian penting dalam sejarah Kartini, ya. Oleh anak-anak
muda Jepara, beliau akrab disapa dengan “Mbah Cote”, lho.
Dr.
Joost Cote sudah meneliti tentang Kartini selama kurang lebih 20 tahun. Buku
terbarunya adalah Kartini The Complete Writings
1898-1904. Pada link http://ozip.com.au/index.php/joost-cote-20-tahun-bersama-kartini/
disebutkan bahwa buku itu baru diluncurkan secara resmi para 30 April 2015
sementara pada link http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-09-20/pakar-australia-nilai-kartini-sebagai-tokoh-nasionalis-awal/1193384
disebutkan bahwa buku tersebut diterbitkan Monash University Publishing tahun
2013 dan diluncurkan di Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali, pada
Oktober 2013 . Sebelumnya ia sudah menulis Letters from Kartini: An Indonesian Feminist, 1900-1904 (1992), On Feminism and Nationalism: Kartini’s
Letters to Stella Zeehandelaar, 1899-1903 (2005), dan Realizing the Dream of R.A.
Kartini: Her Sisters’ Letters from Colonial Java (2008).
Pameran craft Jawa di Belanda. Sumber: presentasi Dr. Cote. |
Kartini The Complete Writings
1898-1904 adalah
usaha pertama dalam mengumpulkan SEMUA surat, tulisan, artikel yang pernah
Kartini tulis ke dalam satu volume, lho! Kata “SEMUA”
saya tulis dua kali dalam huruf kapital yang diperbesar, ditebalkan, dan
digarisbawahi pula, untuk menekankan betapa banyaknya tulisan yang telah dibuat
oleh Kartini. Kalian mau tahu angkanya? Ini dia:
- 141 surat yang ditulis oleh Kartini dalam kurun waktu Maret 1899 – September 1904.
- 4 cerita pendek yang dipublikasikan tahun 1903 – 1904.
- 2 karya ilmiah (salah satunya dipublikasikan pada tahun 1899 dan yang lainnya baru dipublikasikan pada tahun 1914).
- 4 artikel panjang yang tak dipublikasikan (termasuk 1 autobiografi dan deskripsi pernikahan tradisional Jawa, beberapa catatan (diistilahkan oleh Dr. Cote dengan “memoranda”) politis mengenai pentingnya pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan katalog sepanjang hampir 8 halaman mengenai daftar buku pada perpustakaan Kartini).
Daftar isi buku Kartini The Complete Writings 1898-1904. Sumber: presentasi Dr. Joost Cote |
Selanjutnya,
Dr. Cote menekankan mengenai Kartini sebagai penulis dan nasionalis kebudayaan.
Kartini menulis hampir semua aspek dengan keluasan berpikir (yang luar biasa
pada zamannya). Tulisan Kartini bukanlah tulisan seorang gadis cilik, meski
saat menulisnya dia masih sangat muda. Penulisan suratnya, disebutkan Dr. Cote
sebagai usaha strategis untuk
memengaruhi pemikiran orang-orang Belanda – administrator kolonial,
politisi Belanda, dan warga Belanda pada umumnya.
Kartini
memang punya agenda pribadi mengenai masa depannya. Namun demikian yang
diinginkannya pada mulanya adalah peningkatan posisi bangsanya. Dengan memahami
konteks sejarah tertentu pada saat dia menulis, kita bisa melihat “agenda”
Kartini.
Kartini dimohon menulis tentang Jawa di media Belanda. Adakah di antara kalian, wahai perempuan masa kini yang dimohon menulis untuk mediacetak asing? Sumber: materi presentasi Dr. Joost Cote. |
Kartini
tidak hanya menyebutkan tentang Jawa di dalam surat-suratnya. Dia juga
menyebutkan secara spesifik mengenai tempat di Sulawesi Tengah (yaitu Tentena)
dan Sulawesi Utara (Minahasa). Ia bahkan menuliskan ingin juga bekerja di sana
sekali waktu. Selain itu, melalui surat, Kartini juga mempromosikan batik dan
ukiran Jepara agar bisa dipamerkan pada pameran di Belanda. Di suratnya, ia
menyebutkan mengenai rencana pengembangan industri kerajinan kayu Jepara
Kartini
memilih korespondennya dengan SENGAJA, untuk tujuan tertentu. Sepuluh orang
Eropa penerima suratnya merupakan pilihan yang SIGNIFIKAN agar memiliki platform pemikiran yang sama dengannya.
Dr. Cote menyebut Kartini sebagai “penulis yang menggunakan pena untuk memperjuangkan
perubahan”.
Dr.
Cote memaparkan nama-nama koresponden surat-surat Kartini dan menjelaskan
posisi mereka. Jacques Henri Abendanon
misalnya, dia merupakan pengacara dan birokrat puncak kolonial. Rosa Abendanon,
adalah seorang feminis. Henri van Kol adalah pemimpin partai sosialis yang
menulis kebijakan kolonial untuk partai, serta pendukung reformasi kolonial.
Selain mereka, masih ada beberapa orang lagi, Anda bisa membaca bio data
singkat mereka pada gambar-gambar berikut:
Kartini
menulis surat kepada banyak orang lagi. Di antaranya kepada generasi pertama
nasionalis Indonesia – pendiri Budi Utomo (sebelum Budi Utomo Berdiri tentunya),
Sosrokartono – saudaranya yang sempat mengenyam pendidikan di Universitas
Leiden dan menjadi jurnalis di surat kabar Amerika, dan saudari-saudarinya.
Menurut Dr. Cote, Kartini adalah penulis pertama yang mengartikulasikan “nasionalisme kebudayaan”. Meski fokus Kartini pada pulau
Jawa, di surat-suratnya, Kartini menyebutkan istilah yang bersifat nasionalis
seperti kata “bangsa” dan “rakyat saya” padahal Belanda belum menetapkan
kontrol atas “kepulauan Indonesia”. Pada saat
belum ada orang yang mendengungkan “paham kebangsaan”, Kartini sudah
mendengungkannya!
Dr. Cote memberi buku karyanya sebagai cinderamata kepada Prof. Dwia sementara Prof. Dwia memberikan buku karya Prof. Burhanuddin, Dekan FIB, UNHAS. Sumber foto: www.unhas.ac.id |
Dalam
presentasinya, Dr. Cote menekankan peran Kartini dalam sejarah Indonesia
sebagai penulis dan nasionalis kebudayaan. Ia berharap ada terjemahan buku Kartini
The Complete Writings 1898-1904 ke dalam bahasa Indonesia. Mengapa ada
terjemahan bahasa Inggris untuk Kartini? Karena Kartini telah menjadi figur
internasional. Tulisannya pun menjadi warisan dunia yang penting untuk dibaca
siapa pun, di mana pun dia berada.
Makassar, 8 Mei 2016
Bersambung
Mengapa translasi bahasa Inggris, harapan Cote, dan makna Kartini sekarang. Sumher: materi seminar Dr. Joost Cote |
- Mengurai Empat Hal Perjuangan Kartini (opini saya di Harian Fajar bulan April lalu)
- Pengalaman Wawancara untuk Film Dokumenter Seminar Internasional Hari Kartini
- Perempuan Pewarna Sejarah (opini saya di Harian Fajar pada Hari Kartini tahun lalu)
- Perempuan Menulis, Demi Keabadian (opini saya di Harian Fajar pada Hari Kartini tahun 2014)
[1] Rumah Kartini adalah Komunitas
Sosial yang Mempelajari dan Mengumpulkan data-data sejarah Japara untuk edukasi
masyarakat. Selain Pengarsipan data sejarah Jepara, Rumah Kartini pun berkarya
untuk Japara. Tahun 2008 Rumah Kartini dibentuk saat melihat kondisi sosial di
kota Japara yang kurang begitu respect
tentang Seni & Sejarah Jepara. Maka dari itu Rumah Kartini didirikan, untuk
sarana informasi dan edukasi di Japara. Dana diperoleh dari “proyek” industri
kreatif / merchandise yang dijual
untuk membantu kegiatan. Juga dari beberapa donatur dari Indonesia dan luar
negeri (sumber: www.rumahkartini.com).
Share :
Saya merasa begitu bangga ketika mengikuti keynote speech Joost Cote di Seminar yang diselenggarakan Rumah Kartini Jepara.
ReplyDeleteSayang sekali banyak yang mempersempit peran Mbah Kartini pada kemerdekaan RI dengan menyematkannya sebagai pahlawan emansipasi. Padahal bagi Belanda saat itu, tulisan Mbah Kartini sangat berbahaya.
Tahun 1898, dan Mbah Kartini sudah menulis tentang my nation, my people, di antara pemikirannya tentang hak asasi manusia (wanita). Di suratnya ke Rosa Abandenon, Mbah Kartini menulis tentang perkumpulan pelajar kedokteran bernama Jong Java. DI sejarah Jong Java disebut lahir tahun 1915, padahal Kartini pernah menyebutnya di tahun 1903. Luar biasa kan?
Perempuan luar biasa pada zamannya, bahkan di zaman sekarang ya, Mbak Susi. Coba, apakah ada di zaman sekarang yang pemikirannya seluas itu, yang pendidikan formalnya tak tinggi tetapi pembelajar sejati, mencoba melobi orang2 berpengaruh untuk kepentingan bangsanya dan untuk kepentingan perempuan yang dikungkung adat, dan dimohon untuk menulis di media cetak asing? Wow ...
DeleteItu lah kenapa Kartini lbh spesial dibanding yg lainnya
ReplyDeleteAku pegang bukunya keder, butuh terjemahan hahaha
Hm itulah .. makanya bukunya ditranslate, doong. Jangan dipegang saja hahaha.
Deletewah...jujur terbuka mata saya lebih lebar saat baca ini mbak. betapa banyak sejarah dan peninggalan kartini yang tidak saya tahu.
ReplyDeleteditunggu jilid tiganya.
Mengenai paparan dari Mbah cote, cuma satu tulisan ini, Mbak.
DeleteIya, saya pun begitu, mata jadi terbuka lebih lebar.
ohya mbak. Mr. Cote itu profesor atau doktor ya? di bagian awal mbak Niar menyebutnya Prof. Cote tapi di bagian selanjutnya Dr. Cote.
ReplyDeleteDoktor, Mbak ... maaf, sudah saya ralat. Terima kasih ya, Mbak jeli sekali :)
DeleteBaru satu buku yang saya baca tentang Kartini, yaitu karangan Pak Pramoedya. Memang bukan tulisan lengkap surat-surat Kartini namun itupun sudah menggelitik rasa kebangsaan dan keperempuanan saya. Jika ada kesempatan membaca semua tulisannya, bukannya tidak mungkin kekaguman ini makin menjadi. Ijinkan saya mengungkapkan Kartini juga sebagai seorang visioner perempuan Indonesia.
ReplyDeleteYup, setuju Mbak Ratna, beliau seorang visioner. Pemikirannya melampaui pemikiran perempuan pada umumnya di zamannya. Bahkan di zaman kita pun, sulit menemukan perempuan sepertinya.
Deletekisah kartini ini sangat menarik, apalagi banyak sejarawan yang membahas dari berbagai sisi...TFS...
ReplyDeleteIya. Terima kasih sudah mampir :)
DeleteSubhanallah, luar biasa ya. Pelajaran buatku mba. Seharusnya dibaca juga sama beberapa orang yang nyinyir dan mempertanyakan kenapa ko Kartini bukan yang lain. Fakta sejarahnya memang membuat beliau layak (tanpa mengurangi hormat pada pahlawan wanita lain) dijadikan panutan emansipasi wanita. Salam kenal ya mba. :D
ReplyDeleteIya Mbak dan ternyata Kartini itu perempuan ketiga yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional, lho. Yang pertama dan kedua adalah Cut Nyak Din dan Cut Mutia (lupa urutannya, yang jelas kedunya lebih dulu). Jadi nyinyiran yang berkembang banyak yang asal-asalan.
DeleteIyaaaa, asal padahal ngga tau dengan jelas fakta sejarahnya. Thanks for sharing mbaaa.. :D
DeleteSama seperti Mba Ratna, saya juga membaca sedikit surat dari Kartini dalam bukunya. Juga,sedikit asal usul beliau, kondisi keluarganya serta bagaimana kejiwaannya ketika memasuki masa pingitan. menariknya, beliau sosok inspiratif dengan menonjolkan bahwa kesuksesan masih dapat diraih meski terbelenggu.
ReplyDeleteBuktinya, kini banyak perempuan yg sukses dengan menulis seperti dirinya.
Yup sekarang sudah lebih banyak perempuan yang menulis. Tapi yang sampe editor asing memohon-mohon utk supaya tulisannya dimasukkan ke medianya, kayaknya belum ada ya. Soalnya Kartini sampai diminta-minta utk memasukkan tulisannya :)
Delete