“Ada
yang bilang, saking banyaknya humornya, pesannya tidak sampai,” suami saya
menanggapi perkataan saya sepulang saya nonton film Uang Panai’ bersama putra sulung kami.
“Ah
masa? Kasihannya itu kalau ndak dapat
pesannya. Menurutku justru dalam bentuk film seperti ini, pesan filmnya lebih
mudah disampaikan kepada remaja,” ya – saya heran saja kalau ada yang merasa demikian.
Karena saya merasa mampu menangkap pesannya.
Saya
juga merasa beruntung sekali sudah mengajak si sulung yang sudah berusia remaja
(SMA kelas 1) ikut nonton. Pulangnya, saya menceritakan tentang uang panai’ dalam prosesi pernikahan
saya dan papanya dengan menyelipkan pesan-pesan moral.
Memang
film ini berbentuk komedi situasi yang bikin tertawa dari awal sampai akhir.
Tumming dan Abu sangat mewarnai kelucuan film yang berjudul lengkap Uang Panai’ = Maha(R)l ini. Chemistry di
antara mereka berdua terlihat sangat erat. Saya baru tahu dari Affiq – si sulung
kalau mereka berdua terkenal di Instagram (setelah saya cek, weh memang benar. Follower akun tumming_abu ini mencapai
177 ribuan!).
Kuatnya
karakter Tumming dan Abu tidak semata-mata
memblurkan pesan moral dari film ini. Ada 4 pesan penting yang saya tangkap
dari film yang diproduksi oleh Makkita Cinema Proction (MCP) ini, yaitu:
- Lelaki, dalam memperjuangkan harga diri menyangkut uang panai’ itu harus seperti Ancha. Taro ada taro gau (apa yang dikatakan, itu yang dilakukan) – pepatah Bugis ini dimaknai Ancha dengan bekerja keras demi mengumpulkan uang panai’-nya. Ia tidak mengemis pada orang tuanya yang hidup sederhana. Bahkan Ancha menolak ketika ayahnya berniat meminjam uang kepada rentenir untuk menggenapkan uang panai’-nya.
- Istilah “harga diri” dalam konteks uang panai’ tidak sekaku persepsi Ancha. Bagi Ancha, harga dirinya menyangkut rasa malu ketika Risna menyumbangkan kalung untuk uang panai’. Di tengah pertengkaran mereka, Risna mengatakan, “Kau bicara harga diri? Yang dikasih harga itu saya. Pakai price tag!” Ya, dalam hal ini, uang panai’ itu masalah bersama yang wajar saja bila dipikul berdua. Karena toh yang akan dicapai tujuan berdua. Sekarang, banyak pasangan yang sama-sama menabung untuk uang panai’ mereka. Mereka memiliki buku tabungan bersama dan mengisinya bersama-sama sampai terkumpul jumlah yang diminta keluarga perempuan. Ada beberapa kejadian di mana uang panai’ sama sekali tidak bisa diabaikan dan benar-benar diusahakan oleh kedua belah pihak.
- Kompromi bukan hal yang mustahil dalam masalah uang panai’. Sebenarnya, dalam keluarga modern saat ini, kompromi bisa saja dilakukan. Bisa dalam bentuk “tawar-menawar”, atau disebut “harga” tinggi tapi yang dikasih tidak sebesar itu, dan lain-lain. Seperti juga pada ending film ini, ada sedikit kompromi diberikan oleh ayah Risna karena Ancha telah membuktikan taro ada taro gau’-nya di hadapannya.
- Jangan takut menikah dengan perempuan
Bugis-Makassar. Dalam
banyak keluarga Bugis-Makassar saat ini, kompromi dan toleransi bisa mereka
terapkan. Ditambah lagi dengan banyaknya orang yang sudah benar-benar memahami
hukum pernikahan dalam agama Islam, fenomena uang panai’ tidak seseram dulu. Orang tua Risna boleh dikatakan
masih kolot. Yang seperti mereka masih ada tetapi di sisi lain, yang sudah
tidak se-saklek mereka juga banyak.
Takut menikah dengan perempuan Bugis-Makassar yang sudah bergelar hajjah,
sarjana, bangsawan pula (karena uang
panai’-nya mungkin besar)? Aih kasihan, deh ...
ke laut saja sana. Jadi lelaki jangan ciut dulu sebelum bersikap sebagai lelaki, dong!
Walau
sudah tidak seperti dulu, uang panai’
kadang-kadang masih menjadi masalah bagi orang-orang Bugis-Makassar. Adalah hal
yang wajar bila remaja kita sudah diperkenalkan dengan istilah ini. Bisa jadi,
di antara remaja kita kelak ada yang terjebak dalam situasi yang sama seperti
Ancha, film ini sudah membuka jalan bagi wawasan mereka. Remaja perlu dibekali
aneka pengetahuan, termasuk tentang keadaan sosial kemasyarakatan dan bagaimana
menghadapinya. Moga-moga saja para remaja yang nonton bisa menangkap keempat
pesan film di atas. Nonton jangan asal haha hihi saja, ya Nak. Telisiki pesan
apa yang ada dalam film itu.
Sedangkan
mengenai film Uang panai’ sendiri, saya
tidak akan menuliskan jalan ceritanya di sini. Anda bisa browsing, sudah banyak yang menuliskannya. Saya mau menyampaikan
apresiasi saya. Saya suka sekali, film ini mengangkat isu fenomenal dengan cara
yang menghibur. Great job.
Selain
itu, tak perlu berlogat Jakarta pun,
ternyata film ini mampu memikat penonton dengan jumlah mencapai 500.000.
Sepanjang film, murni para pemainnya berlogat Makassar, sub title-nya yang berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Jadi mau ka’ kasih standing ovation. Makassar bisa tonji,
menembus nasional ternyata, kan. Tanpa perlu kejakarta-jakartaan dalam bertutur.
Dua artis ibu kota – Katon Bagaskara dan Jane Shalimar tampil sekilas, sebagai
cameo. Adalah hal yang luar biasa kalau film ini mampu bertahan selama sebulan
di bioskop hingga saat ini.
Official trailer film Uang Panai'
Hanya
saja sempat terbit rasa kasihan saya mengingat Risna – seorang perempuan yang
dulu sampai sempat jadi artis YouTube karena batal menikah dengan kekasihnya. Dalam
dunia nyata, ada seorang perempuan bernama Risna yang divideokan kepiluannya
oleh orang lain di acara pernikahan mantan kekasihnya. Kekasihnya itu pernah
melamarnya namun ditolak karena tak sanggup memberikan syarat uang panai’ yang diminta keluarganya.
Akhirnya sang lelaki menikah dengan orang lain.
Saat sadar
nama tokoh utama perempuannya sama dengan nama perempuan yang pernah ngetop
karena kasus uang panai’ itu, mendadak
timbul empati – tepatnya mencoba membayangkan seperti apa rasanya jadi Risna
dan orang tuanya dengan adanya film ini. Mana pakai nama Risna pula di
dalamnya. Eh, saya malah jadi baper.
Sudah, ah. Pokoknya, saya mengapresiasi film ini setinggi-tingginya. Selamat
buat semua pemain, Makkita Cinema Production dan semua orang yang berperan di
balik film ini.
Uang
Panai’ Maha(r)l
Produser: Amril Nuryan, Andi Syahwal Mattuju
Penulis
Skenario: Halim Gani Safia, Amril Nuryan
Sutradara:
Halim Gani Safia, Asril Sani
Pemain:
Ikram Noer, Tumming, Abu, Nur Fadillah, Awaluddin Tahir.
Makassar, 23 September 2016
Share :
Ada pak Awaluddin Tahir juga pemainnya.. #eehh
ReplyDeleteSudah mi kutambah naah Kak :D
DeleteIni film yg aku pengen nonton waktu pulang ke MKS kemarin tp belum main, sekarang sudah pulang ke US, yach tinggal tunggu siapa tahu diupload ke YT. Walaupun tinggal di MKS dari kecil, tp kurang paham betul bhs MKS, cuman paham adat ini.
ReplyDeleteWaah belum ada tuh Kak Illy. Soalnya masih main di bioskop :)
DeleteWah saya memang kurang informasi ternyata ada film Indonesia berjudul uang panai. Film mengangkat tentang budaya suku mana, Niar...
ReplyDeleteKalau membaca tulisan Niar, banyak benar pesan moral dalam nya ya...
Budaya suku Bugis dan Makassar, Kak Evi. Uang panai' ini biasanya menjadi syarat dalam pernikahan.
DeleteBaca postingan ini aja aku sudah senyam senyum sendiri.. apalagi pas nontonnya langsung ya.. pasti terpingkal2 deh dengan jalan ceritanya..
ReplyDeleteHahaha iya Mbak Rita. Banyak yang lucunya.
DeleteTerima kasih telah memberikan apresiasi atas karya kami dalam bentuk tulisan ini..
ReplyDeleteAmril Nuryan
Waah suatu kebanggaan buat saya, pak produser sekaligus penulis skenario Uang Panai' berkomentar di tulisan saya. Terima kasih. Sekali lagi selamat :)
DeletehAdeuh sayang sekali aku belum nonton film ini :-) kebanyakan nonton film nya raditya dika sihh :-(
ReplyDeleteSilakan ditonton, kayaknya masih diputar di XXI hehehe
DeleteMantap tulisannya tante Niar, bisa memperjelas maksud dan tujuan filmnya
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, Om Ridwan ^_^
DeleteEh, aku belum nonton film ini ._. errrrrrrrr.... ketinggalan nih aku ._.
ReplyDeleteYuk nonton yuk ... mari kenali Makassar melalui film ini :)
DeleteIya benar kak, banyak pesan penting yang tersirat dalam film ini. bukan cuma haha... hiihi... hehehe... saking kusukanya film ini sampe nonton 2x
ReplyDeleteMakassar bisa tonji
Mengobati rindu Makassar, dih Nu. Untung ji sampai di Jakarta filmnya jadi Nunu bisa nonton.
DeleteYg belum menikah cepat menikah ya.. jgn mikirin uang panai'... hehe
ReplyDeleteBetulll, eh kecuali kalo calon mertua mempersyaratkan... mesti dipikir juga kalo sudah begitu.
DeleteMurid saya yang kelas 3 SD aja dapat pesan moral dari film ini, kalau hidup itu harus kerja keras kayak Ancha lalu menabung untuk nikah.
ReplyDeleteWiih anak pintar, sudah bisa menyimpulkan seperti itu :D
DeleteSaya berasal dari suku Mandar dan kalau adat kami menyebutnya dengan passorong. Saya selalu bingung menempatkan diri antara menyetujui atau menolak keras adanya uang panaiq/passorong bunda.... Saya merasa adat itu memberatkan kedua pasangan, tetapi di sisi lain juga harus menghargai adat selama masih dalam koridor agam
ReplyDeleteIya itu yang palig benar. MAsalahnya adalah kalau kita terpaksa bertentangan dengan orang tua karena sudah tidak seseuai dengan aturan agama :(
DeleteReview filmnya keren.... saya sendiri belum nonton filmnya, cuma lihat lewat potongan adegan di Youtube. Waktu teman2 blogger Jakarta ngundang nobar di XXI Blok M Square, Jakarta Selatan, saya keburu pulkam ke Makassar. Dengan review mbak Niar ini bisa mengobati rasa penasaran saya.
ReplyDeleteSaya sendiri sudah pernah menulis kisah UANG PANAI ini dari versi blog dan video blog, sesuai sudut pandang saya sbg putra Bugis-Makassar, semoga bermanfaat :
http://nurterbit.com/2016/09/uang-panai-di-makassar-kenapa-mahal/
Lebih sip kalo nonton ki' juga :)
DeleteTerima kasih sudah mampir di sini, Daeng.
ah jadi penasaran pengen donlot eh nonton filnya di bisokop...
ReplyDeleteBudy | Travelling Addict
Blogger abal-abal
www.travellingaddict.com
Eh koq donlot ahahaha.
Deletewahhhh pengen nonton filmnya jadinya ini,.. penasaran banget...
ReplyDeleteNonton yuuuuk :))
DeletePacar saya tuh orang Thailand dan kalo nanti nikah, saya juga diwajibkan untuk memberikan "uang susu" kepada keluarganya dia disamping emas kawin dll. Harganya juga lebih mahal dari yg tertulis di tabel di atas, minimal 200 juta lah, apalagi pacar saya cantik, terpelajar, lulusan S2, hahaha. Saya bukan dari keluarga yg berada, tapi ya saya yakin saya mampu cari jalan untuk bisa memenuhi semua persyaratan yg harus dilakukan nantinya. Love will find a way =)
ReplyDeleteKalau gak salah tradisi uang panai ini tradisi kota makassar bukan mbak??
DeleteKeren Kenni ... semangat
Delete@Penggemukan Sapi, iya tradisi di kota Makassar, tepatnya sih di suku Bugis, Makassar, dan Mandar. Bukan hanya kota MAkassar.
Bentar lagi pasti ada di SCTV #Menunggu #LaluDigampar
ReplyDeleteHehe, iya tunggu saja. Mudah2an diputar.
DeleteUang panai atau mahar ini di daerah sekitarku sdh bkn jd mslh mba, soalnya trgantung kondisi ekonomi msg2 jg,,dan setahuku, 2 kali menikahkan anaknya, org tuaku bhkan tdk perlu tawar-menawar ttg mahar, cuma di kecamatan sblh ku mahar memang jd alat ukur kemapanan calon pengantin,,jd maharnya jg kyk jd gengsi2an gt he he,,
ReplyDeleteKalo uang panai' bukan mahar, Mbak tapi sering diperlakukan seperti mahar. Maharnya bisa gak mahal2 amat, nah yang mahal uang panai'nya.
DeleteDi Kaltim, bahkan orang Jawa sekalipun ikut minta juga. Bahkan terkadang ada beberapa yg lebih kaku daripada orang-orang dari etnis (Banjar, Bugis, Makasar dll) yg memang punya tradisi ini.
ReplyDeleteWaah begitu yah?
Delete