Diskusi Media Soal Anak dan Perempuan yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar pada tanggal 31 Desember lalu itu merupakan langkah advokasi peliputan dan penulisan isu perempuan dan anak. Diskusi kali ini merupakan diskusi keempat. Saya hadir pada diskusi pertama namun berhalangan datang pada diskusi kedua dan ketiga. Harapannya, setelah diskusi keempat ini akan lahir buku saku atau buku panduan dalam peliputan dan penulisan isu perempuan dan anak.
Mengapa
hal ini penting? Karena masih banyak pelanggaran dalam meliput dan menuliskan
kasus yang menyangkut isu perempuan dan anak. Contohnya, identitas korban masih
ada saja yang membukanya bulat-bulat padahal itu kan tidak etis. Siapa yang
bertanggung jawab kalau ada dampak usai pemberitaan? Wartawan atau media? Ih, belum
tentu! Pada kasus kekerasan yang dialami oknum guru dan pelakunya anak SMA di
Makassar beserta ayahnya misalnya, si anak mengalami bully habis-habisan di media sosial. Kasihan, karena dalam kasus
seperti ini, walaupun anak sebagai pelaku, ia juga sebagai korban. Bagaimana
masa depannya nanti?
Pembicaraan Tentang Isu Perempuan dan Anak Kali Ini Didominasi Lelaki!
Hujan
turun deras sekali namun tak menghalangi para nara sumber untuk hadir pada
waktunya. Saat saya tiba di Kafe Independen, jalan Toddopuli VII, para nara
sumber Haswandy Andymas (Wawan, direktur LBH Makassar) dan Yudha Yunuz – praktisi dan pemerhati perempuan dan anak, konsultan
pada program MAMPU, BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) sudah
duduk ganteng mengitari sebuah meja bersama Gunawan Mashar – jurnalis, pimpinan GoSulSel.Com yang pernah menjabat sebagai ketua AJI
Makassar. Saat melihat mereka, saya baru sadar kalau isu perempuan dan anak kali ini akan dikupas oleh para lelaki. Cool!
Karena
Perspektif Media Berpengaruh dalam Membangun Opini Publik
Agak
lama menanti hingga dimulainya acara. Yang tadinya direncakan mulai jam 10,
molor hingga pukul 11.30 karena menunggu lebih banyak lagi yang datang di
tengah derasnya hujan yang mengguyur kota Makassar. Agam – ketua AJI Makassar
akhirnya membuka juga diskusi ini.
Usai
Agam berbicara, Lusi Palulungan dari program MAMPU BaKTI memaparkan mengenai
pentingnya buku panduan peliputan dan penulisan isu perempuan dan anak. Mengapa?
Karena perspektif jurnalis penting untuk
membangun opini publik.
Fungsi
jurnalis selain mewacanakan isu/persoalan saat ini, biasanya tidak signifikan
untuk peran-peran yang lebih jauh, seperti melakukan pengawasan dan advokasi
isu untuk menjadi kebijakan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif.
Padahal dari beberapa program yang diimplementasikan, peran media sangat strategis
dalam pembuatan kebijakan. Olehnya itu, Lusi mengharapkan buku panduan peliputan
dan penulisan isu anak dan perempuan bisa segera hadir di tahun 2017.
Penyelenggaraan
buku panduan menjadi perhatian program MAMPU[1] untuk diimplementasikan.
MAMPU dan AJI Makassar memberikan training
kepada beberapa jurnalis sehubungan dengan hal tersebut. Nantinya akan dipantau
dan diharapkan apa yang ada di buku panduan bisa direplikasi di kabupaten/kota/provinsi
di semua wilayah program kerja Mampu.
Agam (ketua AJI Makassar) membuka acara. |
Yudha
Yunus mendapatkan giliran berbicara pertama kali sebagai nara sumber. Ia
mengatakan penting untuk mendorong
advokasi dari dua sisi: legislatif dan jurnalis. Diharapkan nanti akan
terbentuk buku panduan yang menarik.
Yang dimaksud menarik adalah yang tidak menyusahkan, yaitu memudahkan orang
melakukan sesuatu. Seperti panduan memasak mie instan, demikian perumpaan yang
dia berikan.
Mengapa
Hak Anak dan Perempuan Perlu Mendapatkan Perhatian Lebih?
Yudha
memberikan contoh kecil mengapa
perempuan dan anak perlu mendapatkan perhatian lebih. Dalam penanggulangan
bencana misalnya, bantuan tidak dipikirkan secara spesifik untuk perempuan dan
anak-anak. Bantuan yang sangat dibutuhkan perempuan dan anak itu seperti
pakaian dalam, pembalut, dan makanan bayi. Ketika bencana datang, tidak ada
alasan untuk tidak menggunakan barang-barang tersebut pada situasi yang mendesak.
Sementara bantuan yang datang tidak memuat barang-barang itu. Kalau ada yang sementara haid, bagaimana
dong? Dan bayi-bayi, mau makan apa?
Penting
juga penyediaan fasilitas publik yang ramah anak/accessable untuk semua orang di toilet, tangga, dan meja sekolah
anak. Toilet perempuan seharusnya lebih banyak jumlahnya daripada toilet
laki-laki untuk jumlah laki-laki dan perempuan yang berimbang. Tangga yang
tidak tertutup bagian bawahnya, akan memudahkan lelaki iseng mengintip pakaian
dalam perempuan. Begitu pun meja sekolah yang bagian depannya tidak tertutup,
akan memungkinkan terjadinya bullying di
dalam kelas. Anak-anak lelaki akan mencari-cari alasan agar bisa menunduk dan
mengintai dari bagian depan-bawah meja sekolah yang terbuka. Kalau kata suami saya, bukan hanya siswa
lelaki, guru lelaki yang iseng juga melakukannya. Nah, lho!
Yudha
melanjutkan penjelasannya, “Pernah ada yang mengatakan, ‘Sembarangnya mo Pak Yudha, yang seperti itu diurusi’.
Maka saya jawab, ‘Kalau istri atau anak perempuan Bapak naik tangga kemudian
ada anak-anak muda nakal duduk di bagian bawah tangga dan mengintip ke dalam
roknya, apa yang Bapak lakukan?’ Lalu bapak itu menjawab, ‘Akan saya pukul!’.” Nah, kan, orang lebih care kalau yang kena
perlakuan tidak enak itu istri atau anak sendiri!
Yudha Yunuz, Gunawan Mashar, dan Haswandy Andymas (kiri-kanan) |
Penjelasan
berikutnya, Yudha mengaitkannya dengan pengaruh media, “Terkait isu anak dan
perempuan itu agak sensitif. Banyak guyonan. Begitu bicara tentang janda, misalnya,
konotasi negatif langsung berputar di kepalanya. Menjadi kebiasaan orang-orang
kita. Baru guyonan saja sudah bias begitu, bagaimana aslinya? Belum lagi
pejabat kita masih ada yang bias gender.
Situasi seperti ini masih membayangi. Kalau ada di media, lebih bahaya lagi
(karena tersebar luas dan memengaruhi opini publik).”
Ada
dua istilah yang penting diketahui sehubungan dengan isu perempuan:
Pengarusutamaan
Gender (PUG), sebagai salah satu strategi. Semua sektor bicara tentang gender. Urusan gender tidak lagi menjadi domain
satu SKPD (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak maksudnya) tapi menjadi
domain semua sektor.
PPRG
(Perencanaan Penganggaran Responsif Gender): bicara perencanaan (harus ada
uangnya).
Ada 7
prasyarat PUG melalui PPRG:
- Komitmen Pemda/Pemdes. Perhatikan, apakah ada di visi/misinya? Apakah tertulis?
- Regulasi (contohnya: Perda Perlindungan Anak). Bagaimana melahirkan regulasi umum tapi responsif. Juga ketika melakukan assesment melibatkan perempuan dan anak, misalnya dalam Perda Penanggulangan Bencana, haruslah responsif gender yang memerhatikan kebutuhan perempuan yang tidak dialami laki-laki.
- Kelembagaan PUG. Bappeda, inspektorat, Keuangan, Pemberdayaan Perempuan (driver), motor utama.
- POKJA PUG, ketua Bappeda, Badan Pemberdayaan Perempuan dan semua SKPD pengurus di sini
- Vocal Point, ada 2 – 3 orang yang dianggap punya komitmen untuk mendorong isu-isu ini.
- Forum data: data yang disajikan dua hal: jenis kelamin dan umur.
- Ketersediaan data pilah (profil) gender. Menulis pada data: jenis kelamin (L / P). Alokasi harus berimbang. Misalnya cari tahu berapa banyak yang bisa ikut pelatihan di antara anggota? Kalau laki-laki 60%, perempuan 40% maka dalam pelatihan alokasinya 60% untuk laki-laki dan 40% untuk perempuan.
Di
antara penjelasan tentang hal-hal tersebut, terselip pembicaraan tentang WC. “WC
laki-laki dan perempuan harus terpisah. WC perempuan seharusnya lebih banyak
kalau jumlah perempuan dan laki-laki sama banyak. Dikarenakan perempuan lebih
lama berada di dalam WC dibandingkan laki-laki,” tutur Yudha.
Eh, benar, yah. Saya sendiri
merasakan demikian. Butuh waktu lama untuk saya berada di dalam WC apalagi bila
harus berwudhu. Koq tidak pernah terpikirkan untuk menuntut jumlah WC yang lebih
banyak bagi perempuan, ya?
Lusia Palulungan dari program MAMPU, BaKTI (berdiri) |
Tentang
Hak Anak dan Perempuan di Dalam Hukum
Nara
sumber berikutnya, Wawan menyampaikan alasan mengapa tidak ada konvensi laki-laki
dan orang dewasa (sementara ada Konvensi Hak Anak dan Konvensi Hak Perempuan di
dunia ini), adalah karena pada faktanya
terjadi diskriminasi pada anak dan perempuan. Makanya butuh perhatian
khusus mengenai pemenuhan hak perempuan dan anak.
Pemaparan
Wawan masuk pada prinsip-prinsip
HAM yang berlaku
baik bagi laki-laki dan perempuan, yaitu sebagai berikut:
- Universal dan non diskriminasi. Berlaku bagi setiap maunsia. Non diskriminasi: tanpa pembedaan.
- Tidak bisa direnggut (inalienable). Melekat pada diri setiap orang. Dalam praktiknya hak yang melekat sering direnggut. Misalnya dalam perang dunia (hak untuk hidup)
- Tidak bisa dipisah-pisah. Tidak terpisah antara hak sipil politik dan hak Ekosob (ekonomi, sosial dan budaya).
- Saling tergantung. Saling mengandalkan/mensyaratkan antara hak yang satu dengan hak yang lainnya.
Adapun
hak-hak anak dalam proses peradilan
pidana adalah
sebagai berikut:
- Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya
- Dipisahkan dari orag dewasa
- Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif
- Melakukan kegiatan reaksional
- Bebas dari penyiksaan, peghukuman, dan perlakuan lainnya yag kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat martabatnya
- Tidak dijatuhi pidana mati
- Tidak ditangkap, tidak ditahan, atau dipenjra, kecuali sebagai usaha terakhir dan dalam waktu paling singkat
- Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang obyektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum.
- Tidak dipublikasikan identitasnya.
- Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak.
- Menperoleh advokasi sosial.
- Memperoleh kehidupan pribadi.
- Memperoleh aksesbilitas, terutama bagi anak difabel (kata “cacat” saya ganti dengan kata “difabel” karena istilah “difabel” dianggap lebih manusiawi sekarang ini).
- Memperoleh pendidikan
- Memperoleh pelayanan kesehatan.
- Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Suasana Kafe Independen |
Contoh
kasus lain adalah kasus yang heboh beberapa bulan lalu, mengenai anak SMA di
Makassar yang bersama ayahnya memukul seorang guru bernama Darwis. Akhirnya
semua orang tahu identitasnya setelah kasusnya di-blow up oleh media. Sebagian jurnalis berprinsip bahwa semua orang sudah
tahu jadi untuk apa pakai inisial lagi. Nah, sementara di UUPA (Undang-Undang
Perlindungan Anak) dan Konvensi Hak Anak, identitas anak harus dirahasiakan. Seharusnya
para jurnalis menjunjung tinggi HAM dengan menutupi identitas si anak.
Dampaknya, anak ini sekarang depresi bahkan ada anak yang bernama sama
dengannya di-bully di media sosial. Kasihan, ya padahal kan masih besar
kemungkinan dia belajar dari kesalahan dan berubah menjadi baik. Nah, siapa
yang mau tanggung jawab kalau masa depan anak itu hancur?
Wawan
lalu menjelaskna mengenai aturan penahanan bagi anak yang telah berumur 14
tahun. Jika diduga melakukan tindak pidana, ancaman pidananya penjara 7 tahun
atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah
berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Namun ada kasus di
mana hakim gagal melakukan diversi[2] karena ada intervensi
pihak lain di dalamnya. Padahal diversi akan mengakomodir kepentingan anak.
Terkait
hal ini, Gunawan menghimbau kepada para jurnalis, “Jangan menyebutkan
identitas, termasuk keluarga ataupun tempat tinggal. Seruan Dewan Pers melarang
menyebut identitas korban asusila. Inisial pun jangan disebut. Sebutkan saja ‘seorang
anak’. Termasuk dalam kasus SARA dan yang traumatik. Pada Pedoman Media Cyber ada aturan mengenai berita apa
saja yang bisa dicabut di media online.
Pada Pedoman Perilaku Jurnalis: ada pedoman kasus-kasus kriminal pada isu
perempuan dan anak. Aturan sudah sangat banyak, tinggal diejawantahkan!”
Ada 2
hal yang penting dalam hal ini, yaitu peliputan dan penulisan. Dalam peliputan:
penting wartawan punya kepekaan pada kasus berisu perempuan dan anak, supaya
punya standard akurasi yang lebih
tinggi dibandingkan pada kasus lain. Karena kalau salah (tidak memahami dan cek
dan ricek tidak bagus) kesalahannya bisa fatal. Wartawan jangan jadi pemicu
terjadinya copy cat. Sering terjadi,
untuk kasus kriminal, wartawan memburu dramanya.
Pada
babak diskusi, ada saran-saran dan pandangan-pandangan yang dilontarkan para
peserta. Ada pula permintaan untuk menyatakan keberanian dalam memihak
(kebenaran). Buku panduan memang perlu tetapi tentunya keberanian untuk
mengaplikasikannya juga penting. Fauziah Erwin (ketua KPID Sulawesi Selatan)
menyampaikan usulan penyusunan panduan, agar kiranya memperhatikan 3 hal ini: perilaku, standard konten, dan pemilihan
angle dalam menulis. Dengan demikian dipikirkan juga bagaimana dampak ke
depannya penyajian sebuah berita/artikel.
Berikut
ini, saya mencatat hal-hal yang disampaikan ketiga nara sumber pada babak
diskusi:
Di dunia
online, apapun itu bisa naik. Tidak
seperti media cetak sehingga nilai berita di media online lebih cair dibandingkan cetak. Dalam artian, media online punya ruang untuk memuat
segalanya. Hal yang paling privat dimuat. Media online sekarang ada 3 jenis: mainstream
(detik com dll), UGC (penggunanya juga terlibat menbuat berita sendiri, seperti
Hipwee, Kompasiana, Selasar, Mojok.co) punya andil dalam penciptaan opini, dan
agregator seperti Babe, Kurio, Caping, dan lain-lain. Akibat banyaknya space, memungkinkan untuk mengedepankan
prasangka daripada fakta. Fakta jadinya bisa jauh lebih terlambat dibandingkan
prasangka. Media online juga terbelit
pada persoalan untuk hidup. Ini era yang edan tapi keniscayaan teknologi
seperti itu.
Penyehatan
menyeluruh seharusnya kepada medianya. Kerja jurnalis bukan kerja perorangan.
Percuma kalau jurnalisnya punya pespektif yang baik namun tidak dibarengi
redaktur dan pemimpin redaksinya. Dalam rapat redaksi, yang menentukan angle
adalah orang-orang di atas reporternya. Redaktur beberapa media berpihak pada
kepentingan industri.
Ini
eranya “tsunami media”. Hadirnya media online
telah mengubah konstelasi, terutama dalam mudahnya membangun media. Sekarang
mudah dengan beli hosting dan
menyebar link ke mana-mana.
Pada
media mainstream dan online yang benar-benar menerapkan
prinsip jurnalisme, ada training.
Jika masih berniat baik, ada training-nya.
Tapi kebanyakan tidak. Di era sekarang, banyak warga yang terlibat sebagai
pembuat. Kelemahan jurnalisme warga: pada verifikasi. Dulu untuk mengetahui sesuatu,
wartawan ada di tengah, warga ada di samping. Sekarang warga yang berada di tengah,
wartawan di samping-samping.
Media
online di Makassar ada 100 lebih
tetapi cuma 1 atau 2 yang terdaftar. Ini menandakan lemahnya kualitas.
Rencananya Dewan Pers akan memberi verifikasi, logo kepada media online dan akan dibatasi. Ke depannya nanti,
nara sumber berhak menolak wawancara dari wartawan atau media yang tidak punya
kompetensi.
Yudha
Terkait
pemberitaan, kita berlindung pada kata “rating”
dan pembaca/pemirsa. Istri dan gaya hidup kalau perlu disorot habis-habisan padahal
tidak ada hubungannya dengan berita. Jadi tameng tersendiri, justifikasi. Terkait
penulisan panduan: penting pengetahuan
dasar mengenai isu, gerakan, istilah, apapun yang terkait perspektif gender
harus dipahami. Dengan demikian akan memengaruhi penulisan. Pada anak, baik
dia pelaku ataupun korban, dia tetap korban. Lihatlah fakta-fakta lapangan.
Jurnalis
hendaknya bisa mengungkap hal-hal yang tidak terungkap. Misalnya:
- Teliti apakah meja siswa di sebuah sekolah terlindung di bagian depannya atau tidak.
- Adakah WC perempuan di mal yang baru dibuka.
- Pada suatu razia oleh Satpol PP – apakah ada Satpol PP perempuan yang ikut merazia atau tidak. Sebab kalau tidak, rawan terjadi pelanggaran HAM.
- Fasilitas publik apakah aksesnya bisa dimanfaatkan perempuan, laki-laki dan anak-anak.
- Cek pula misalnya apakah tidak memungkinkan terjadinya pelecehan seksual ketika laki-laki dan perempuan bergelantungan di pete-pete smart.
- Atau, apakah manfaat dari area publik bisa dirasakan berimbang antara laki-laki, perempuan, dan anak.
- Nah, diharapkan jurnalis punya sensitivitas gender dan hal-hal seperti itu bisa diekspos yang nantinya akan mampu mendorong regulasi.
Wawan:
Ada
pertarungan kontestasi (istilah “kontestasi”
ini sebenarnya tidak ada dalam bahasa Indonesia, kira-kira Pak Wawan mau bilang
“kompetisi” atau hal lain, yah?) nilai-nilai di dunia ini. Wartawan pun menjadi
pengusung nilai-nilai.
Demikian
catatan saya dari diskusi akhir tahun mengenai isu perempuan dan anak dalam
peliputan dan penulisan. Harapan saya, buku panduan untuk para jurnalis bisa
segera hadir untuk menimalisir, bahkan kalau bisa – segera menghentikan
ketimpangan yang terjadi dalam pemenuhan hak-hak perempuan dan anak dalam
peliputan media. Blogger pun perlu tahu mengenai hal ini supaya kelak kita bisa
sama-sama mengusung hal-hal baik demi kesejahteraan bersama.
Saya ingin
menutup tulisan ini dengan satu kalimat kunci dari Pak Yudha:
Isu perempuan dan anak adalah isu mainstreaming, isu semua orang, dan seharusnya menjadi perhatian semua orang.
Makassar, 7 Januari 2017
Baca juga:
- Sudut Pandang Hukum yang Bisa Digunakan dalam Menulis Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak
- Menuju Layanan Kesejahteraan Anak yang Holistik dan Komprehensif
- Jalan Alternatif Agar Perempuan Lebih Lantang Bersuara
- Perempuan Menulis, untuk Perempuan
- AJI Menyoal Anak dan Perempuan di Media
Tulisan ini juga dimuat di BaKTI News No. 133 Januari - Februari 2017
Catatan kaki:
[1]
MAMPU adalah program BaKTIyang concern pada
peningkatan kapasitas perempuan dan yang terkait isu perempuan. BaKTI
adalah Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia, sebuah NGO yang menaruh
perhatian besar pada pengembangan kawasan timur Indonesia.
[2]
Merujuk pada Pasal 1 angka 7 UU 11/2012, pengertian diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana. Lalu, Pasal 5 ayat (3) menegaskan “dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak wajib diupayakan diversi. Sumber:
http://www.bantuanhukum.or.id/web/aparat-hukum-belum-paham-arti-diversi/
Share :
Hai mba Niar, apa kabar? lama nggak mampir. hehehe.
ReplyDeleteSemoga langkah-langkah ini bisa lanjut ya mba. Rada pesimis dengan etika pewarta yang sudah tidak memikirkan korban dan saksi serta pihak-pihak yang harus dilindungi. Media juga harusnya berbagai fakta, tidak beropini sendiri-sendiri.
Halo Mbak Arin. Sudah lama, ya kita tidak ngobrol di dumay :D
DeleteIya, Mbak. Mudah-mudahan langkah yang sedang dikerjakan AJI Makassar, berkerja sama dengan BaKTI ini bisa diterapkan dengan baik di Makassar dan menjadi contoh buat jurnalis-jurnalis di daerah lain.
Terima kasih ya sudah mampir :)
Jadi banyak ngerti nih tentang hukum.
ReplyDeleteTapi mbak tulisan mbak yang ini, Pada anak, baik dia pelaku ataupun korban, dia tetap korban. Kalau anak pelaku dia ttp korban?
Ooh, begini Mbak.
DeleteContohnya dalam kasus anak SMA yang bersama-sama bapaknya memukul gurunya itu. Si anak ini kan usianya masih di bawah umur. Waktu itu dia bertindak memukul karena ayahnya yang memukul guru ybs. Apa yang dilakukannya kan karena contoh dari ayahnya. Kalau ayahnya masuk penjara jadinya wajar karena dia sudah dewasa dan tidak gila.
Yang kasihan anak ini. Seingat saya dia dikeluarkan dari sekolah. Terus masuk penjara pula. Keluar dari penjara nanti bukannya namanya membaik malah rusak. Sekolah mana yang mau terima dia? Belum lagi identitasnya sudah diketahui sekota Makassar. Nah, ke mana dia akan bersembunyi dari pandagan negatif orang2? Sementara dia masih dalam kategori anak-anak yang sebenarnya jalan hidupnya masih panjang dan kemungkinan menjadi lebih baik jauh lebih besar ketimbang orang tuanya. Ini yang dimaksud bahwa dia jadi korban juga. Korban pandangan/stigma masyarakat.
Artikelnya bagus banget kak, Makasih :)
ReplyDelete