Tulisan ini dimuat di BaKTI News No. 133, Januari - Februari 2017
Menebak
tangis bayi pada orang tua baru adalah teka-teki. Apakah sang bayi menangis
karena lapar/haus, karena buang air, atau karena merasa tidak nyaman. Kalau
tidak nyaman pun perlu diidentifikasi lagi, apakah tidak nyaman karena sakit,
ingin buang air tetapi tidak bisa keluar, ataukah ada gigitan serangga.
Bagaimana kalau salah menebak? Pasti akan salah penanganan!
Begitu
pun para petugas lapangan sebagai yang dalam tugas-tugas sosialnya adalah
manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan. Betapa pun cerdas dan
baiknya dia, jika salah mengidentifikasi permasalahan yang ditemui maka
dipastikan terjadi salah penanganan. Bisa fatal akibatnya.
Maka
dari itu Yayasan BaKTI bersama UNICEF, dengan dukungan Pemerintah Kota Makassar
dan Kabupaten Gowa menyelenggarakan Pelatihan
Peningkatan Kapasitas Bagi Petugas Frontline PPKAI (Pusat Pelayanan
Kesejahteraan Anak Integratif) Kota
Makassar dan Kabupaten Gowa pada tanggal 18 – 21 Januari 2017 di Hotel Best
Western. Kedua wilayah ini merupakan bagian dari program percontohan untuk
Layanan Kesejahteraan Anak Integratif yang diterapkan di 5 kabupaten/kota di
Indonesia, bersama-sama dengan Tulungagung, Klaten, dan Solo.
Kegiatan
yang diikuti oleh 64 orang yang berasal dari berbagai institusi yang terlibat
dalam layanan keserjahteraan anak ini bertujuan membangun pemahaman dan
keterampilan petugas layanan terdepan (frontline)
yang terlibat langsung dalam layanan anak integratif sesuai tugas dan
fungsinya. Selain itu, melalui pelatihan ini diharapkan dapat membangun kerja
sama yang baik antara pekerja sosial, Tenaga Kerja Sosial, dan pengelola
layanan anak integratif dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Pekerja
sosial adalah “profesi” yang masih sangat dibutuhkan, mengingat masih besarnya
angka-angka yang menunjukkan betapa keadaan sebagian anak di Kota Makassar dan
Kabupaten Gowa masih sangat memprihatinkan walau Indonesia secara umum telah
mencapai kemajuan signifikan dalam mereformasi sistem peradilan anak dengan
melindungi anak lebih baik.
Amelia
Tristiana (Ibu Tria) – Child Protection
Specialist UNICEF memaparkan bahwa di Sulawesi Selatan, kasus diversi[1] telah meningkat dari 53
anak pada tahun 2014 menjadi 314 anak di tahun
2015. Pada periode trimester pertama di tahun 2016, rata-rata anak yang
melewati diversi adalah 26 anak per bulan. Kota Makassar sendiri mencatat 41%
kasus diversi Sulawesi Selatan dilayani melalui Kantor Bapas (Balai Pemasyarakatan[2]) yang berada di Kota
Makassar. Namun sangat disayangkan ketika anak kembali ke rumah, belum ada
mekanisme pemantauan dan pemberian layanan bagi anak-anak yang berhadapan
dengan hukum tersebut sehingga mereka rentan berhadapan dengan hukum kembali.
Hal-hal
lain yang secara tidak langsung menunjukkan kerentanan dan potensi masalah adalah
bahwa sejumlah besar anak tinggal di lembaga penitipan anak. Sebanyak 4.679
anak di Makassar tinggal di 102 lembaga penitipan anak (Dinas Sosial Kota
Makassar, 2015) dan 4001 anak di Gowa tinggal di 42 lembaga penitipan anak
(Kantor Dinas Sosial Gowa, 2014 ) meskipun mayoritas dari mereka masih memiliki
satu atau kedua orang tua mereka masih hidup.
Selain
itu, patut diwaspadai tingkat putus sekolah untuk anak usia 7 – 12 tahun adalah
3,03% di Makassar dan 1,78% di Kabupaten Gowa. Untuk anak usia 13 – 15 tahun
sebesar 4,63% di Makassar dan 14,26% di Kabupaten Gowa. Dan untuk usia 16 – 18 tahun
adalah 29,73% di Makassar dan 41,41% di Kabupaten Gowa. Meskipun ada peraturan
daerah di Kabupaten Gowa yang memberi kewajiban bagi orang tua untuk
menempatkan anak-anak di sekolah tetapi tampaknya kebijakan ini hanya berlaku
untuk anak-anak sekolah dasar. Semakin tinggi sekolah, semakin banyak anak
putus sekolah terutama di kabupaten Gowa.
Selain
Ameliana Tristiana, pelatihan ini didukung oleh 4 fasilitator lainnya, yaitu:
Akbar Halim, peneliti PUSKAPA UI (Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas
Indonesia), Adie Erwan Soetopo (Balai Diklat Kemensos Regional 5), Andi Nurlela
(Supervisor Sakti Peksos Sulawesi Selatan), dan Jumardi (Commit Foundation).
Pentingnya PPKAI Bekerja dalam Sistem yang Baik
Ketika
ada kasus, pekerja sosial hendaknya memahami alur penanganannya. Di wilayah
kita terdapat banyak lembaga. Setiap kasus dampaknya multi aspek yang butuh
dukungan multi aspek tapi tidak ada lembaga tunggal yang bisa memberikan
layanan. Layanan yang ada adalah layanan multi sumber. Layanan multi sumber ini
membutuhkan kolaborasi atau kesepakatan bersama. Dalam perjalanannya, manajemen
kasus adalah bentuk operasional untuk menyediakan layanan yang tepat. Dalam hal
ini, penting adanya supervisi. Ada supervisor,
seseorang yang memastikan orang-orang dalam lingkupnya mengerjakan tanggung
jawabnya dengan benar dan bisa membantu mereka menjalankan tugasnya dengan
baik, bukan sekadar mengkoordinasi. (notulensi)
Nah,
di sinilah pentingnya peran PPKAI. PPKAI adalah lembaga yang punya kemampuan
mengidentifikasi sehingga nanti para pekerja sosial yang berada di garis depan
punya daftar network yang dibuat
PPKAI. Adalah tugas PPKAI untuk membuat kolaborasi tingkat lembaganya. PPKAI
harus mengembangkan manajemen kerangka kasus yang terencana. Ada pemetaan,
asesmen. PPKAI akan menentukan kasus yang masuk berisiko tinggi, sedang, atau
rendah lalu membuat perencanaan penanganan kasusnya. PPKAI yang memilah apakah
layanan individu atau layanan kelompok yang akan diberikan. Misalnya ada 40
anak tidak punya akta kelahiran. PPKAI akan memfasilitasi pembahasan lintas
sektor.
Setelah
PPKAI menerima laporan, dianalisa dulu. Selanjutnya diputuskan apakah akan
langsung ditangani atau dirujuk. Keputusan tersebut dikembalikan pada mekanisme
yang disepakati di setiap wilayah. Lima wilayah yang memiliki layanan
kesejahteraan anak integratif punya mekanisme yang berbeda.
Terkait
pengelolaan data, contohnya adalah bagaimana pekerja lapangan bisa mencari
data, selanjutnya data itu termanfaatkan secara rapi oleh PPKAI. Data-data
makro tidak menyentuh sisi kemanusiaan. Hanya berupa data besar. Tapi kalau data
mikro yang dikasih, tidak akan ada kepala daerah yang tidak tersentuh. Data
mikro, lebih bisa menjelaskan kerentanan dan risiko dari masalah-masalah
masyarakat. Dalam pemeliharaan data, ada protokol tertentu yang mengaturnya.
Juga ada panduan detail tentang bagaimana mengelola catatan kasus yang baik.
Penting pula untuk diatur mengenai etika, prinsip, teknik menjaga kerahasiaan,
mengendalikan penggunaannya, dan sebagainya.
Bicara
tentang Sistem Perlindungan Anak, penting pula mengetahui komponen-komponennya,
yang berupa: norma, struktur, dan proses. Perubahan perilaku untuk solusi
menuju keadaan yang lebih baik bisa diwujudkan tetapi ada prosesnya. Saat ini
kita tidak bekerja berdasarkan isu lagi, melainkan bekerja berdasarkan sistem.
Pendekatan Pengembangan Sistem bertujuan mempromosikan suatu Sistem
Perlindungan Anak yang komprehensif, dengan menangani faktor risiko yang
diketahui guna meminimalisasikan kerentanan anak dan merespons semua bentuk
kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran
Visi
baru perlindungan anak memberi peran kepada lembaga/institusi yang berfokus
pada reintegrasi anak dengan keluarga. Di dalamnya ada pengakuan atas
keberagaman, norma, dan budaya serta kekuatan dalam keluarga yang melibatkan
relawan dan masyarakat lokal. Oleh sebab itu penting ada penguatan profesi
pekerja sosial dan posisinya di pemerintahan. Pekerja sosial memiliki
kewenangan untuk bekerja dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Sementara
itu pemerintah provinsi memiliki wewenang dan anggaran untuk menyediakan
layanan. Perluasan rentang layanan perlindungan anak ini mulai dari pencegahan
(intervensi primer, intervensi dini), intervensi sekunder, hingga dukungan
intensif terhadap anak dan keluarga (intervensi tersier).
Bersambung.
Baca juga tulisan-tulisan yang berhubungan dengan Layanan Kesejahteraan Anak:
[1]
Undang-undang ini berfokus pada diversi dan keadilan restoratif dan menyatakan
pemenjaraan anak adalah tindakan pilihan terakhir.
[2]
Balai Pemasyarakatan (Bapas) adalah salah satu unit pelaksana teknis di bidang
pembinaan luar lembaga pemasyarakatan. Balai ini bertugas memberikan bimbingan
kemasyarakatan dan pengentasan anak. Itu sebabnya, eksistensi Bapas sudah
diakomodir dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak (sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9409/peranan-bapas-dalam-peradilan-anak-perlu-ditingkatkan).
Share :
Tingkat anak anak putus sekolahnya lumayan tinggi ya uhti....
ReplyDeleteMasih banyak anak putus sekolah, Pak Edi.
DeleteBagus ya ada pelatihan kaya gini
ReplyDelete