Ada banyak hal yang membuat saya baru bisa menuliskan kembali kegiatan pelatihan yang saya ikuti pada tanggal 21 – 22 April lalu di Hotel Aryaduta. Pelatihan yang berfokus pada pengetahuan penulisan isu perempuan dan anak ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.
Fatahillah dan Ignatius Haryanto. Sumber foto: Fajaronline.com |
Mengawali
pelatihan, Ignatius
Haryanto dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta dan Drs.
Fatahillah, M. Si. – Asisten Deputi Partisipasi Media KPPPA memberikan sambutan. Ignatius
berharap kegiatan ini dapat memberi tambahan pengetahuan atau mengingatkan
kembali tentang tema ini karena kadang-kadang kalau sudah tergerus dengan
kerjaan sehari-hari, seseorang bisa saja berubah. “Bagaimana pun juga media
penting. Partisipasi perempuan banyak. Mudah-mudahan Makassar adalah kota yang
siap memberikan penghargaan kepada perempuan dan anak,” tukas Haryanto.
Fatahillah
menjelaskan bahwa Deputi Partisipasi Masyarakat,
di mana di bawahnya ada dirinya
sebagai Asdep Partisipasi Media, adalah struktur/nomenklatur baru di KPPPA pada
tahun 2016. Bagian ini mengajak media bersinergi dalam hal mendorong percepatan
dalam pembangunan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Visinya
bagaimana Indonesia ramah kepada perempuan dan hak anak terllindungi. Dan apa
yang dicita-citakan pahlawan perempuan menjadi kenyataan.
Di
kota sudah banyak nyaman, perempuan kerja. Tapi di daerah di seluruh Indonesia
banyak ketertinggalannya. Seperti perempuan nelayan di pesisir. Sementara itu persepsi
gender banyak di mana-mana. Banyak
yang persepsikan harus sama (antara laki-laki dan perempuan). Padahal sebenarnya
ujungnya adalah, bagaimana hak azasi perempuan diberikan sama seperti hak azasi
laki-laki diberikan. Bukan dalam tataran haknya sama antara perempuan dan
laki-laki tetapi bagaimana fungsi peran perempuan dan laki-laki sama-sama bisa
dijalankan.
Fatahillah
menjelaskan mengenai prioritas program KPPPA, sejak dari tahun 2016, yakni 3 End: akhiri kekerasan terhadap
perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia, dan akhiri kesenjangan ekonomi
terhadap perempuan. Saat pelatihan ini berlangsung, Makassar sedang menjadi
tempat berlangsungnya Jelajah 3
Ends dari
KPPPA. Makassar ada kota keempat diselenggarakannya program ini. Sebelumnya
Jelajah 3 Ends dilaksanakan di kota Bandung.
Fatahillah
menceritakan mengenai bagaimana pemerintahan di level nasional membentuk gugus tugas terhadap pencegaan kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Di level
provinsi dan kabupaten pun sudah dibentuk P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak). P2TP2A sudah cukup dikenal dan menjadi tempat mengadu
masyarakat. P2TP2A ini link dengan UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) di
Polres masing-masing. Pemda diharapkan memaksimalkannya karena masih banyak daerah
yang belum mengoptimalkan P2TP2A-nya.
Di
level kabupaten dibuat model: Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM)
yang fasilitatornya dari masyarakat. Karena kekerasan kepada perempuan dan anak
tidak hanya urusan pemerintah saja. Yang bisa mendeteksinya adalah masyarakat
setempat. Untuk human trafficking
ada pula satgasnya.
Fatahillah
lalu menjelaskan mengenai persentase penduduk Indonesia yang perempuan sebesar 49,
sekian persen. Lalu ada anak sejumlah 82 jutaan orang (usia 0 – 18 tahun). Nah,
bagaimana agar anak Indonesia menjadi maksimal maka di level provinsi diselenggarakanlan Forum Anak provinsi. Di tingkat provinsi ada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak,
di kabupaten juga ada. Setiap tahun Forum Anak di daerah dikumpulkan untuk
memaksimalkan peran anak. “Seharusnya Forum Anak juga dilibatkan dalam Musrembang.
Bagaimana anak bersuara – ketika bicara soal pembangunan, seharusnya Pemda
memerhatikan kebutuhan anak,” tukas Asisten Deputi Partisipasi Media KPPPA ini.
Selanjutnya
Fatahillah menjelaskan mengenai hal-hal yang “ramah anak”, seperti trotoar.
Menurutnya, dilihatnya ada trotoar di Makassar sekarang lebih lebar. Ada
perkembangan. Puskesmas ramah anak harus dikembangkan. Nah, Bagaimana Puskesmas
yang ramah anak itu? Lalu mengenai bullying.
Di sekolah, tidak hanya yang konvensional tapi sekolah berasrama juga perlu
diwaspadai.
Ditekankannya
peran media yang strategis karena memberikan informasi kepada masyarakat.
Bagaimana media menginformasikan kekerasan kepada masyarakat harus
diperhatikan. “Mohon maaf, mengkritisi. Kebanyakan media hanya menyoroti pada
sisi korban. Pada kasus yang anak sebagai pelaku, ya ... memang dia melakukan
kesalahan tapi hak anak harus dipenuhi. Misalnya ketika mewawancarai tetangga,
mukanya (si tetangga) kelihatan. Tetap bisa ketahuan meski ditutupi identitas
sumber,” tandas lelaki yang mengaku lebih memprioritaskan keluarganya ketimbang gadget ketika berada di rumah ini.
Tahun
ini Deputi Partisipasi Media KPPPA ingin mereview Pedoman Perilaku Penyiaran
yang merupakan produk KPII dan belum
spesifik membahas isu gender. Sharing informasi seperti ini yang responsive gender sangat dibutuhkan. Bagi
penulis media yang produknya langsung menyentuh masyarakat sangat penting
diberikan pelatihan seperti ini. Agar masyarakat melek media dengan melakukan
literasi media yang sudah menembus ruang dan waktu. Fatahillah
mengakhiri sambutannya dengan membuka Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender
untuk Jurnalis dan Blogger. Bismillah,
siap-siap menambah wawasan baru.
Makassar, 9 Mei 2017
Senang sekali bisa menghadiri kegiatan
ini. Kepedulian terhadap penulisan isu yang sensitif terhadap perempuan dan
anak memang perlu disebarluaskan karena dapat menjadi media edukasi untuk
masyarakat mengingat salah satu fungsi media adalah mengedukasi masyarakat.
Selain itu, melalui kegiatan ini, setidaknya saya jadi tahu bahwa pemerintah
benar-benar serius dalam hal ini. Keseriusan pemerintah mengindikasikan masih
adanya ketidakpedulian terhadap penulisan isu perempuan dan anak. Sekarang
bukan hanya LSM, hal ini juga menjadi perhatian pemerintah.
Bersambung ke
bagian selanjutnya.
Share :
"...kekerasan kepada permepuan dan anak tidak hanya urusan pemerintah saja. Yang bisa mendeteksinya adalah masyarakat setempat"
ReplyDeleteIni benar sekali
Dan biasanya kalau tetangga atau Pak/Bu RT setempat mengingatkan. Mereka pasti berdalih ... Ini urusan internal di dalam keluarga kami. Kalian tidak usah ikut-ikut. Saya sering membaca kejadian seperti ini.
Semoga kekerasan pada perempuan dan anak (dan juga pada siapa saja) dikurangi dengan signifikan
Salam saya Niar
Iya, Om. Kalimat seperti itu bikin orang jadi sungkan untuk mendekat. Tapi mungkin juga karena ketidakmengertian orang, yah. Kalau mengerti bahwa mereka punya hak, mestinya lebih mudah.
DeleteSemoga dgn banyaknya kegiatan seperti ini, kekerasan pada anak dan perempuan semakin berkurang
ReplyDeleteAamiin Mbak. Semoga
DeleteKalau ingan posisiku yang pernah jadi korban bully. Sedih. :(
ReplyDeleteTurut prihatin, Mbak. :(
DeleteAku mendukung 100% :)
ReplyDeleteToss :)
DeleteApa krn budaya kita itu msh bnyk yg ga enakan.. Makanya kalo ada tetangga ribut ampe mukulin anak ato istri, mostly cuma bisa diem, ga enak dianggab menerobos privacy tetangga dll :(.. Pdhl harusnya dr awal kita hrs berani laporin yg bgitu..
ReplyDeleteIya ya Mbak. Sepertinya karena begitu.
DeleteSelain gak enakan, ya karena merasa memang bukan wilayahnya. Membenarkan kalau itu memang ranah domestik padahal sudah kekerasan, lho :(
Kalo may ikut seminar gitu, dartarnya kemana ya... Jadi tertarik ikut2 seminar blogger gitu hehe
ReplyDeleteSAya dapat info yang ini dari teman di AJI (Aliansi Jurnalis Independen), MBak. Saya beberapa kali ikut pelatihannya dan sering ikut kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan AJI di kota saya :)
DeleteBener banget mba. Banyak perempuan mengalami kasus KDRT oleh suaminya atau pukulan kepada anak. Tetapi tidak berani melaporkannya kepada LSM atau polisi. Terima kasih wawasannya
ReplyDeleteKasihan ya Mbak :(
DeleteSelama ini masih banyak masyarakat yang "cuek" terhadap tetangga sekitar. Jangan kekerasan pada anak mba. Ini kita mau ngedata aja buat posyandu dan kepentingan mereka juga cueknya bukan main.
ReplyDeletepadahal dengan mengetahui jumlah KK dan berapa rumah yang ditempati kan kita jadi tau tetangga kita siapa aja dan juga bisa meminimalisir juga bila ada tindakan kekerasan yang terjadi dilingkungan sekitar dan bisa fast respone.
Beda kali kalau kegiatan yang ada uangnya, ya Mbak :(
DeleteMateri pemahaman kode etik dan P3SPS 2012 untuk perlindungan anak dan perempuan belum dipahami sevcara menyeluruh oleh media. Tak salah juga narasumber mengatakan seperti kutipan di bawah ini :
ReplyDelete“Mohon maaf, mengkritisi. Kebanyakan media hanya menyoroti pada sisi korban. Pada kasus yang anak sebagai pelaku, ya ... memang dia melakukan kesalahan tapi hak anak harus dipenuhi. Misalnya ketika mewawancarai tetangga, mukanya (si tetangga) kelihatan. Tetap bisa ketahuan meski ditutupi identitas sumber,”
Hmm, apakah tidak diberikan saat masuk ke media ybs, ya Mbak? Maksudnya, kurang media yang memberikan pelatihan kepada jurnalisnya?
DeleteBagus Mbak...saya sedang mencari bahan untuk permasalahan fasilitas atau ruang publik yg ramah anak dan perempuan, jadi punya gambaran. Terimakasih banyak.
ReplyDeleteWaah saya ada beberapa tulisan lain di blog ini, lho Mbak. Monggo silakan ditelusuri :)
Delete