Pernahkah
Anda berada dalam situasi merasa seperti kelebihan beban karena banyaknya
informasi yang tidak diduga terekam oleh indera sehingga Anda tidak tahu hendak
mengatakan apa? Sampai perlu waktu sekian lama untuk mengendapkannya dan
memikirkannya hingga akhirnya memutuskan untuk menuliskannya? Menulis dianggap
perlu, untuk membantu mengurai benang kusut yang terasa di benak dan perasaan
untuk kemudian melihat dengan lebih jelas. Pernahkah?
Saya
pernah. Beberapa kali, malah. Seperti yang terjadi baru-baru ini hingga saya
menuliskan tulisan MIWF
2017: Tentang Ruang Bersama yang Membincang Keberagaman. Juga ketika saya
menuliskan MIWF
2016: Colliq Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature. Ketika
waktu mengendapkan terasa cukup, tiba-tiba saja keinginan menulis begitu kuat
lalu jadilah tulisan-tulisan itu.
Kalau
Anda pernah mengalaminya, apa yang menjadi alasan paling kuat untuk diam dulu?
Kalau saya, karena topiknya begitu berat bagi saya dan berseliweran aneka hal terkait itu di dalam diri saya. Benar-benar speechless! Berbicara seketika tidak
akan membantu apa-apa. Semua informasi yang tercerap begitu cepat, abstrak, dan
kusut. Butuh waktu mengurainya. Jika memaksa diri berbicara saat itu maka
kata-kata yang keluar tidak akan sama dengan apa yang kemudian dituliskan. Bisa
jadi hasil berbicara yang dipaksakan malah buruk atau tak pantas. Jadi, sikap
terbaik adalah diam dan kata-kata terbaik adalah saat dituliskan (meski belum
tentu terbaik menurut orang lain).
Dengan
membiarkannya mengendap dulu, ada ruang dan waktu untuk mengolahnya. Hasil
olahannya, ya tentunya tetap perspektif saya betapa pun saya mencoba obyektif.
Lalu saya meletakkannya di rumah pribadi (blog ini) untuk jadi penanda atau
pengingat bagi saya, sekaligus untuk berpendapat. Saya pun berharap buat
anak-cucu kelak, bisa dijadikan pelajaran (yang saya harap) berharga. Atau suatu
ketika nanti, bisa saja akan ada kegunaannya lagi buat saya untuk hal lain yang
tidak terduga. Untuk orang lain, minimal untuk diketahui saja bahwa ada yang
seperti ini. Demikian kalau kasusnya tak bisa terkatakan seketika.
Oya,
biasanya kalau topik pembicaraan ringan atau tidak begitu berat, saya mengusahakan
berbicara di forum (misalnya ketika mengikuti pelatihan yang saya tuliskan di Menuju
Jurnalisme Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan). Biasanya setelah itu,
saya menuliskannya. Ada juga tulisan yang lahir karena pendapat tidak bisa
terkatakan karena tak mendapat kesempatan atau tidak ditanggapi detail oleh
nara sumber. Atau bisa juga karena ditanggapi salah oleh nara sumber sementara
saya tak bisa mengklarifikasi, seperti di tulisan: Curhat
Tak Kesampaian di Diskusi Publik Media dan Isu Kekerasan pada Perempuan dan
Anak.
Lalu
setelah itu, bagaimana? Sesuai saran seseorang yang saya anggap guru, saya akan
mencoba terus “menginterogasi” tulisan-tulisan saya. Kata beliau: “penulis yang
reflektif adalah penulis yang tak pernah lelah menginterogasi apa saja yang
telah dituliskannya”.
Well, saya mencoba melakukan yang terbaik (lagi-lagi
menurut saya) karena ada dorongan kuat untuk menulis dari dalam diri. Bukan
dorongan untuk merusak, hanya untuk melakukan yang terbaik.
Adakah
yang pernah mengalami hal yang sama?
Makassar, 6 Juni 2017
Share :
0 Response to "Bukan Sekadar Enggan Berbicara"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^