HBH
(Halal Bi Halal) Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin pada
tahun ini berlangsung pada tanggal 28 – 29 Juni. Temanya Membumikan Silaturahmi
untuk Berpacu Meraih Bintang. Acara pagi tanggal 28 Juni di Lapangan Karebosi
tak bisa saya hadiri. Suami saya yang juga alumnus (Elektro angkatan 88) yang
sempat menghadirinya, bersama putra sulung kami yang sekarang duduk di kelas 2
SMA. Saya baru hadir pada siang hari tanggal 28, di gelanggang futsal.
Sesaat di Liga
Futsal
Pada
siang harinya, di Gedung Futsal milik PT. Telkom (di jalan A. P. Pettarani),
saya datang bersama suami. Kangen juga merasakan atmosfer maskulin ala anak
Teknik. Pertandingann futsal ini diadakan dalam dua liga. Saya datang juga
karena ingin melihat teman-teman seangkatan saya bertanding. Ini kali pertama
angkatan 92 ikut dalam liga futsal. Beberapa kawan sejurusan (Elektro) juga
turut bermain. Sayangnya, di babak semi final, tim futsal angkatan 92 harus menerima
kekalahan dari tim futsal angkatan 90.😀
Yah, tidak apa-apa, sih. Namanya juga “pengalaman pertama”, ya. Sudah lumayan bisa masuk babak semi final. Semoga saja pada tahun-tahun berikutnya bisa menang.
Yah, tidak apa-apa, sih. Namanya juga “pengalaman pertama”, ya. Sudah lumayan bisa masuk babak semi final. Semoga saja pada tahun-tahun berikutnya bisa menang.
Tim futsal 92 dan cheerleader-nya. Foto: Ocha Haruna. |
Laga futsal. Foto: Ocha Haruna |
Mengenai
hasil liga futsal, saya mendapatkan informasi, hasilnya sebagai berikut:
Zona
Bintang (super senior, angkatan 87 - 2000):
- Juara 1 angkatan 2000.
- Juara 2 angkatan 87.
- Juara 3 bersama angkatan 90 dan 97.
Zona
bumi (2001 – terakhir):
- Juara 1 angkatan 2006.
- Juara 2 angkatan 2001.
- Juara 3 bersama angkatan 2009 dan 2004
Selamat
ya, Brothers. 👍
Focus Groud Discussion: Waste to Energy
Acara
berikutnya yang saya memang niatkan hadiri adalah Focus Group Discussion. Karena tak bisa menghadiri acara puncak
pada malam harinya, saya usahakan datang menghadiri FGD pada tanggal 29 pagi –
siang di Fort Rotterdam. Pasnya lagi, pak suami juga berminat menghadiri FGD
yang saya minati, yang temanya Energi
Terbarukan (Waste to Energy).
FGD Waste to Energy |
Sampah
di negara kita rata-rata 60-65% organik. Sisanya anorganik. Kalau diolah dengan
baik akan menghasilkan energi. Kalau tidak akan menghasilkan emisi yang
menyebabkan pemanasan global. Misalnya gas metana yang dihasilkan sampah
organik, 21 – 25 kali lebih besar daripada karbondioksida (CO2). Hal
ini bisa menyebabkan perubahan energi. Efek perputaran iklim satu tempat yang
alamnya rusak menyebabkan perubahan di tempat lain. Perilaku masyarakat yang
suka membakar sampah, juga menghasilkan aneka gas yang mencemari lingkungan. Mulai
dari gas monoksida, CO2 , dioksin, dan lain-lain yang dampaknya
sangat berbahaya bagi kesehatan.
Namun
pengolahan sampah yang baik bisa meminimalisir dampak lingkungan, menghasilkan
aneka hal bermanfaat, sekaligus bisa menjadi sumber energi, seperti listrik. Meski
bisa dilakukan dalam skala kecil,
industri pengolahan sampahlah yang dipresentasikan oleh Pak Jacky. Tersebab
oleh keinginan besarnya agar masalah sampah di kota Makassar bisa terselesaikan
dengan baik. Mengingat “produksi” sampah di kota ini mencapai 1200-an ton per
harinya. Besar sekali potensi pengolahan sampah di kota berpenduduk 1,5 juta
jiwa ini.
Yang
dimaksud dengan Waste to Energy yang
dibicarakan hari ini adalah Adalah proses menghasilkan energi berupa listrik
dan / atau panas dari pengolahan limbah utama. Sebagian besar proses WtE
menghasilkan listrik dan / atau panas secara langsung melalui pembakaran, atau
menghasilkan bahan bakar yang mudah terbakar, seperti metana, metanol, etanol,
atau bahan bakar sintetis.
“Teknologi
yang kami pegang di-endorse oleh US
Air Force,” tutur Pak Jacky. Bantar Gebang di Bekasi adalah contoh pengolahan
sampah terbesari di Indonesia (seluas 110 Ha). “Di Bali sudah dikembangkan
tetapi tidak berjalan.’Teknologi yang dipakai plasma arc gasification atau plasma
gasification process (PGP),” lanjut Pak Jacky lagi.
Pak
Jacky menjelaskan, jika sistem pengolahan sampah berlangsung dengan baik maka
baru masuk ke TPA saja, semua sampah sudah terpilah saat dimasukkan ke dalam
sistem pengolahan sampah. Langsung diproses berdasarkan jenisnya. ZERO WASTE TO LANDFILL, istilahnya. “Semua
sampah ‘dimakan’. Disortir. Dihasilkan energi. Waste is not problem. Akan dijadikan kosong!” pungkas Pak Jacky.
Mau lihat pengolahan sampah yang keren di negara maju? Ini dia!
Pak Jacky menceritakan mengenai negara-negara yang pengolahan sampahnya bagus, seperti Swedia dan Jerman. Di Jerman, ada detektor di selokan-selokannya untuk mendeteksi pembuangan sampah yang tidak semestinya. Saat terdeteksi, langsung dilaporkan, dan ditegur pelakunya. Swedia, sudah menjadi negara pengimpor sampah untuk dijadikan Waste to Energy yang menghasilkan energi panas dan listrik.
Bagaimana dengan Indonesia?
Terdiri
atas 416 kabupaten dan 98 kota, seharusnya Indonesia bisa memanfaatkan
implementasi WtE (Waste to Energy). Obligasi
pengelolaan sampah adalah kebijakan pemkot/pemkab (pemerintah kota/pemerintah
kabupaten) setempat. “Tapi sebagian besar tidak ada kemampuannya. Alasannya
klasik – tidak ada dana dan lain-lain. Padahal, berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2008, pemerintah
harus mengelola sampah. Ada penalti kalau tidak melaksanakan,” tutur Pak Jacky.
UU
Nomor 18 tahun 2008 itu didukung juga dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah, dan Permen ESDM No 44 tahun 2015 Tentang Pembelian
Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) Dari Pembangkit Listrik Berbasis Sampah
Kota. Namun keberadaan Permen ESDM Nomor
12 Tahun 2017 yang mengatur Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan (EBT)
untuk Penyediaan Tenaga Listrik kurang mendukung peraturan-peraturan terdahulu.
“Hanya
segelintir Pemda di Indonesia yang membayar untuk pengelolaan sampah – salah satunya
adalah Bantar Gebang. Tidak ada fleksibilitas dalam birokrasi pemerintah. Untuk
mengurus surat-surat saja sering kali dilempar dari satu bagian ke bagian lain.
Soalnya pengelolaan sampah butuh uang. Padahal ketika investor datang, pengelolaan sudah bagus, bisa dilaksanakan WtE.
Sayangnya tidak demikian realitanya,” ujar Pak Jacky.
Menurut
Pak Jacky, banyak investor yang mau bekerja sama jika sistem pengolahan sampah
(yang merupakan kewajiban pemerintah) sudah siap. Harus ada pembatas dari ruang
terbuka di TPA supaya tidak mencemari udara. “Sayangnya, penanggulangan terhadap
terjadinya pencemaran lingkungan tidak ada. Sampah dibuang begitu saja. Dengan
demikian, tidak tecipta iklim yang bagus untuk mendukung industri WtE. Kalau full support dari pemerintah, 17 bulan
sudah bisa siap sistemnya (cepat, ya). Kita perlu swasta untuk berinvestasi
karena pemerintah tak sanggup,” lanjut Pak Jacky lagi.
Inilah tantangannya:
- Peraturan nasional tidak mendukung pengembangan EBT, khususnya pengelolaan sampah kota.
- Peraturan Feed in Tariff (FIT) tidak mendukung pengembangan investasi pembangunan WtE.
- IKATEK Unhas jika sudah siap dengan “PT”-nya bisa berkontribusi. “Kepada kawan-kawan yang duduk di pemerintahan: cobalah punya hati untuk memasukkah pengelolaan sampah dalam programnya! Ini peluang berkolaborasi. Kalau tak bisa mewujudkan sistem yang lengkap, landfill-nya saja. Investor sebenarnya berjejer, sayangnya peraturan saling bertabrakan,” pungkas Pak Jacky. Oya, landfill adalah sebuah area yang menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah dengan metode dan perlakuan tertentu.
Persiapan acara puncak di malam 29 Juni. Sayangnya, saya tidak bisa hadir 😔 |
Humanisme
pada FGD Teknik
Bagi
saya, yang paling menarik dari penyampaian Pak Jacky pada siang itu adalah
kenyataan yang diperolehnya pada sebagian besar kota di Indonesia yang diriset.
Yaitu, di mana ada penyumbatan ada sampah-sampah diapers (popok sekali pakai) dan pembalut kewanitaan di dalamnya.
Ada pula ditemuinya 3 tempat sampah berjejer tapi sampahnya malah dibuang di
sekeliling tempat sampah. Dalam tempat sampahnya malah kosong.
FGD hampir selesai ketika saya menyadari, saya satu-satunya perempuan dalam ruangan itu. Ah, ini materi maskulinkah? Bagi saya materi ini menarik, bukan bahasan teknisnya tapi wawasan yang saya dapatkan dari FGD ini. Saya kira, bukan khusus untuk lelaki. Perempuan juga perlu tahu.
Konsultan,
Senior Field Researcher & Coordinator, Environment & Natural Resources di
The World Bank yang dulunya angkatan 83 di Teknik Mesin UNHAS ini menitip pesan mengenai perlunya kepedulian
edukasi kepada keluarga sebagai induk awal penghasil sampah. Jangan
buang sampah di saluran air. Pada tanggal 4 Februari 2017 lalu seekor ikan paus
ditemukan terdampar di pantai Pulau Sotra, Norwegia. Para peneliti dari
University of Bergen yang menanganinya menyimpulkan kondisi paus ini terlalu
parah. Akhirnya mereka menyuntik matinya karena kesakitan akibat mengalami
gangguan usus. Terdapat limbah plastik
bekas di dalam perut ikan paus tersebut. Mamalia itu ditengarai salah kira
kantong-kantong plastik itu sebagai cumi-cumi yang biasa dijadikan santapannya.
Hm,
saya pun memimpikan kota ini bebas sampah, juga bebas polusi lingkungan. Kota
ini sudah terlalu padat dengan kendaraan bermotornya. WtE akan menjadi solusi
yang sangat menguntungkan warga kota. Kapan, ya bisa terlaksana?
Makassar, 10 Juli 2017
Catatan:
Sayangnya, hanya FGD yang dipandu Kak Habibie Razak ini
saja yang saya hadiri karena kami sudah harus pulang sebelum FGD sesi
berikutnya (Tentang ROAD MAP Teknik Perminyakan UNHAS) sebab ada agenda lain
yang perlu dihadiri.
Share :
Saya cuma bisa hadir di acara malam yang di rotterdam karena waktu hari rabu masih diperjalanan dari Sengkang. Materi pengolahan sampahnya menarik
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, ya Inar.
Delete