Saya menjadi bersemangat menghadiri SHOWCASE saat mencari tahu tentangnya dan menemukan keterangan bahwa format acara ini terinspirasi oleh TED – sebuah diskusi global yang mengangkat ide-ide seputar teknologi, entertainment, dan desain – ketiga subyektif yang secara kolektif membentuk masa depan kita.
Saya pernah menyaksikan TEDx[1]
pada tahun 2012 dan saya menyukainya. Penyelenggara TEDx saat itu – BaKTI (Bursa
Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) yang juga menyelenggarakan Showcase[2]
kali ini maka makin bersemangatlah saya. Sudah berkali-kali saya menyaksikan
acara yang diselenggarakan oleh BaKTI dan semuanya luar biasa. Oleh karenanya,
saya menyimpulkan bahwa Showcase pasti tak kalah luar biasanya!
Maka saya menjadi salah satu peserta event bertajuk Imajining the Future pada tanggal 26 Agustus lalu di Gedung
Kesenian Sul Sel (Societeit de Harmonie). Saya berbaur dengan banyak orang yang
punya antusiasme yang sama dengan saya, menikmati sarapan berupa teh/kopi dan
kue-kue tradisional yang disuguhkan. Sembari sarapan, hadirin dihibur dengan performance disc jokey Rizkand.
Tak berapa lama, hadirin dipersilakan masuk ke ruang
pertunjukan. Wahyu
Lahang, penari asal
Pinrang yang sedang menempuh pendidikan S2 Sendratasik di UNM menjadi penampil
pertama. Jujur, saya tak bisa menangkap maksud tariannya. Saya menebak-nebak,
mungkin tariannya menunjukkan kekhawatiran akan masa depan? Namun demikian saya
bisa merasakan ekspresi yang ditampilkannya selama pertunjukan tarinya. Menurut
saya, ini luar biasa. Wahyu bisa memancarkan ekspresi tegang, cemas, dan sedih
dari tempatnya menari ke tempat duduk saya!
Tarian ekspresif dari Wahyu Lahang |
Sebuah Utopia
Namun Bukan Tak Mungkin Karena Kita Menghendakinya
Tak berpanjangan lagi, host Showcase – Rezky
Mulyadi memanggil pembicara Showcase pertama:
Violet Rish – Vice
Consul, Australian Consulate General Makassar menyampaikan presentasinya. Presentasi
yang dibawakan orang Australia yang sudah lama bekerja di Indonesia ini berjudul
A Utopia for My Daughter. Kekhawatiran dirinya dan sebagian
orang Australian tentang dunia masa depan membuka presentasi yang berlangsung
selama 15 menit ini. Menurut perempuan lulusan Peace and Conflict Studies dari
University of Sidney ini, banyak orang Australia yang tidak mau punya anak. Dia
pun sempat berpikir demikian. Namun disadarinya kemudian, kekhawatiran itu akan
berdampak negatif.
Menyadari kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan
terjadi di masa depan, orang-orang Australia sekarang sudah memahami pentingnya
penemuan dalam 3 bidang yang kelak akan menunjang kehidupan anak-anak mereka.
Ketiga hal tersebut adalah: rumah, transportasi dan energi, serta bidang
pekerjaan.
Violet Rish |
Violet yang juga menjadi Konsultan Kebijakan Ekonomi
untuk Oxfam ini memaparkan lebih jelas lagi mengenai ketiga hal tersebut yang
sudah mulai diterapkan di Australia. Menurutnya, hal-hal yang sudah akan lazim berlangsung
pada tahun 2034 ini akan menjadi solusi bagi putrinya kelak:
- Sekelompok orang secara bersama-sama membeli tanah, merancang, dan membangun apartemen untuk tempat tinggal mereka tanpa melalui developer. Dengan demikian, harga permukiman bisa menjadi jauh lebih murah dibandingkan membelinya melalui developer.
- Sekelompok masyarakat secara bersama-sama membeli dan memiliki mobil dan pembangkit energi terbarukan. Mobil dipakai secara bergantian dan listrik tak perlu selalu berharap dari pemerintah.
- Dalam bidang pekerjaan, ilmuwan menjadi profesi yang sangat dihargai. Banyak profesi yang tergantikan dengan robot. Namun demikian, robot dimanfaatkan untuk membuat manusia menjadi semakin produktif.
Rumput
Laut: Bukan Tumbuhan Biasa
Imran Lapong – biologist lulusan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Hasanuddin dan James Cook
University, Queensland Australia ini tampil sebagai pembicara kedua. Selama 15
menit memaparkan presentasinya yang berjudul Red Seaweed + Blue Economy = Indigo Indonesia, Imran berhasil membuat saya benar-benar
terkesima dan takjub dengan rumput laut.
Tumbuhan yang dalam bahasa Makassar di sebut agara’ ini dibudidayakan secara
internasional karena mengandung hidrokoloid (gel) yang digunakan untuk berbagai
kebutuhan mulai dari makanan, bir, lipstik, cat, dan kertas.
Tak membosankan menyimak penuturan lelaki yang juga bergabung
dalam ACIAR Project – Improving Seaweed Production & Processing
Opportunities in Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Australia ini. Karena
sesekali dia melemparkan joke-joke segar.
Namun dia selalu kembali kepada topik yang sedang dibahasnya.
“Tujuh miliar dollar Amerika Serikat dihasilkan dari
bisnis rumput laut. Dari 27 ton produksi rumput laut dunia per tahun, sebanyak
11 juta ton per tahun dipoduksi Indonesia,” tukas Imran.
Imran Lapong |
Sulawesi Selatan menyumbang 30% produksi rumput laut nasional,
sekaligus menjadi produsen rumput laut tertinggi di Indonesia. Secara letak
geografis, Sulawesi Selatan berada di episentrum budi daya rumput laut dunia.
Namun sayangnya, industri pengolahannya belum ada di sini sementara itu, petani
rumput laut kita (yang jumlahnya mencapai 120 ribu orang) hanya dibayar sedikit
per satu kilo gram rumput laut yang dihasilkannya, yaitu berkisar pada nominal
Rp. 3.000 – Rp. 7.000. Padahal produktivitas rumput laut amat tinggi. Dari 10
kilo gram yang ditanam, dalam waktu 40 hari bisa menjadi 60 kilo gram, tanpa
perlu diberi makan. Seharusnya kenyataan ini bisa menjadikan petani rumput laut
kita kaya.
“Delapan puluh persen limbah dunia yang masuk ke laut
itu tidak ada treatment-nya. Justru
rumput lautlah yang menjadi pengurainya!” ungkap Imran lagi.
Rumput laut mendukung konsep blue economy (konsep pembangunan yang berlandaskan pada
keberlanjutan). Inilah sebaik-baiknya konsep pembangunan, yakni berlandaskan
pada sebuah ekosistem bekerja. Contoh sederhananya adalah dedaunan yang
berguguran di hutan akan diserap lagi menjadi nutrien bagi tanah. Nah, rumput
laut pun demikian karena mampu
menyerap limbah di laut, menjadikannya makanannya. Rumput laut menyerap
nutrien dari limbah (seperti nitrogen dan fosfor) yang masuk ke laut. Dengan
demikian, tumbuhan ini punya “jasa
lingkungan”.
Jasa lingkungan yang diberikan oleh rumput laut tak
hanya sebagai pengurai limbah yang masuk ke laut. Jasa lainnya adalah, rumput laut membantu membersihkan zat CO2 di udara – penyebab pemanasan global.
Seperti diketahui, CO2 juga memicu kerusakan terumbu karang. Sebanyak
90 ton CO2 per tahun diserap oleh rumput laut. Nitrogen juga
sebanyak itu (Imran Lapong). Jasa-jasa lingkungan yang disumbangkan oleh rumput
laut inilah yang dimaksud Imran sebagai “INDIGO INDONESIA”.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan untuk membantu para
petani rumput laut kita? Imran telah merumuskan langkah-langkah yang bisa kita
lakukan:
- Memvaluasi daya serap terhadap nutrien dari limbah laut dan CO2.
- Mengorganisir petani rumput laut dan mengedukasi masyarakat.
- Membangun business model.
- Mendistribusikan nilai.
Makassar, 12 September 2017
Bersambung
Silakan
disimak juga:
- TEDx – Menyebarkan Ide Untuk Kebaikan
- TEDx – Makassar Backpacker, Lokal but Global
- Mengulas Soal Kerancuan Media Kita
- Antara Sekolah Politik Perempuan dan Geng Motor iMuT
Walaupun Showcase pertama diadakan di Makassar namun acara ini juga dapat diselenggarakan di tempat lain oleh siapa saja yang memiliki misi yang sama: menyebarkan ide-ide luar biasa ke khalayak luas. Instagram/Twitter: @showcasemks
Facebook: ShowcaseBeInspired
[1] TEDx: program
di bawah TED yang memungkinkan terselenggaranya event TED secara independen
oleh panitia lokal di seluruh dunia (https://brainly.co.id/tugas/1128965)
[2] Pada
penyelenggaraan Showcase kali ini BaKTI bermitra utama dengan Australian
Consulate General serta mendapatkan dukungan dari Percetakan Bintang, Dewi
Wisata Tour and Travel, Hotel Remcy, Kopi Ujung, Mama Toko Roti, Kue, dan Es
Krim, dan Best Western Plus.
Share :
Kerennya tawwa. Pengennya mi nonton acara-acara begini di Makassar. Tapi sampai Makassar yang keingat kulinerannya terus. Wahahahahah
ReplyDeleteHihihi, ndak seru tong kalo ke Makassar ndak kulineran, toh? :D
DeleteNext time, mudah-mudahan ada acara keren pas Andy ke Makassar yaah
Rumput laut salah satu dari sekian banyak SDA yang patut kita lestarikan. Di perlukan edukasi berkelanjutan khususnya untuk wanita pesisir agar dalam mengembangkan rumput laut bisa lebih maksimal lagi
ReplyDelete