Catatan terakhir dari acara Philanthropy Learning Forum on SDGs: SDGs Sebagai Tools Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Kemitraan di Gedung BaKTI pada tanggal 19 September lalu.
Amri Akbar, Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda kota Makassar memaparkan mengenai penerapan SDGs
dalam pembangunan kota Makassar. Mengapa Makassar harus melaksanakan SDGs? Di
antaranya adalah untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi berkesinambungan dan
untuk menjaga keberlanjutan kehidupan sosial. Dalam Perencanaan Pembangunan
Daerah, tidak perlu sampai membuat kegiatan baru. Cukup mengaitkannya saja dengan
SDGs. Semua kegiatan yang terkait dengan perencanaan dikaitkan dengan SDGs.
Amri Akbar (yang berdiri) |
Bagaimana
upaya pencapaian targetnya, Amri mengatakan bahwa pemerintah kota Makassar
untuk itu harus bersinergi dengan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Untuk itu dibutuhkan komitmen yang kuat.
BaKTI:
Meningkatkan Efektivitas Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia
Muhammad
Yusran Laitupa, Direktur Eksekutif Yayasan BaKTI pada presentasinya menceritakan
tentang apa yang telah dilakukan BaKTI selama ini. Peran BaKTI sehubungan
dengan SDGs, menggunakan 3 pendekatan:
mengelola jejaring pengetahuan, mengelola media pertukaran pengetahuan, dan
mengelola pertemuan pertukaran pengetahuan.
Pertemuan
pertukaran pengetahuan contohnya adalah Forum KTI (Kawasan Timur Indonesia). Forum
KTI beranggotakan pemerintah, LSM, swasta, media, dan kelompok masyarakat. Dua
tahun sekali Festival Forum KTI diselenggarakan. Forum ini adalah
forum tukar solusi yang menampilkan praktik cerdas di Indonesa (mengenai salah
satu bentuk praktik cerdas yang disebarluaskan oleh BaKTI adalah Petani Salassae Mewujudkan Kedaulatan
Pangan). Ada pula
Forum Kepala Bappeda sekawasan timur Indonesia. Para kepala Bappeda bertemu
setahun dua kali untuk membicarakan isu-isu pembagunan regional KTI.
Amri Akbar, Majid Sallatu, dan Yusran Laitupa |
Jejaring
pengetahuan di BaKTI contohnya adalah Jaringan Peneliti KTI yang mana Majid
Sallatu sebagai koordinatornya. Di dalamnya ada 1054 orang peneliti. BaKTI
memiliki pula jejaring yang lain,
yaitu Sahabat BaKTI yang bisa memanfaatkan fasilitas BaKTI. Sedangkan Media
Pertukaran Pengetahuan BaKTI berupa:
- Website Batukar Info.
- Majalah bulanan BakTI News yang bisa diperoleh secara gratis di kantor BaKTI.
- JiKTI Stock of Knowledge, berupa aplikasi yang bertujuan mengeksplorasi peluang dan potensi untuk secara inovatif mendukung fungsi-fungsi intermediary JiKTI.
Sementara
itu, kegiatan berbagi pengetahuan di BaKTI ada beberapa:
- Inspirasi BaKTI yang menghadirkan sosok-sosok inspiratif. Salah satu yang pernah saya hadiri adalah Diskusi Inspirasi BaKTI "Anak Muda Yang Menyulap Minyak Jelantah Menjadi Bahan Bakar Diesel Lewat Wirausaha Sosial" (bisa dibaca uasan saya di tulisan berjudul Kisah Sulap Minyak Jelantah Menjadi Bahan Bakar Biodiesel.
- Diskusi Praktik Cerdas, menampilkan para inisiator, inspirator, pelaku praktik baik untuk komunitasnya atau kalangannya sendiri untuk berbagi pengetahuan. Praktik Cerdas adalah sebuah upaya atau kegiatan yang berhasil dilakukan untuk menjawab suatu tantangan yang dihadapi oleh komunitas daerah tertentu. “Kurang lebih telah 13 tahun BaKTI bekerja, menyaksikan bnyak sekali insiarif yang baik sekali yang sudah berhasil dijalankan yang kalau direplikasi bisa dilakukan dengan lebih cepat dan lebih murah karena mereka (yang mereplikasikannya) tidak mulai dari nol. Sekarang sudah 31 yang didokumentasikan dan ratusan yang dikumpulkan. Praktik cerdas terbukti berdampak nyata, berkelanjutan, partisipatif, dan accountable,” Yusran menuturkan panjang lebar tentang Praktik Cerdas.
- News Cafe, diselenggarakan bagi para wartawan untuk berbagi. Semua dianggap nara sumber di sini. Dalam forum ini, mereka berbagi pengetahuan tentang satu isu.
- Bengkel Komunikasi, salah satu kegiatan BaKTI yang pernah dilakukan adalah belajar mengenai jurnalisme warga. Materinya tentang tulisan, atau materi fotografi. Salah satu Bengkel Komunikasi yang pernah digelar bertajuk Foto Bercerita untuk Perubahan.
Luna Vidya, seperti biasa, memandu acara dengan apik. |
Selain
itu, BaKTI juga mengelola beberapa program bekerja sama dengan mitra
pembangunan internasional, yaitu:
- MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) di Sulawesi Selatan, NTB, NTT, dan Maluku.
- Program Kerja Sama UNICEF – BaKTI untuk 5 provinsi di KTI pada tahun 2014 – 2015. Pada tahun 2016 disepakati serangkaian kegiatan Child Protection dan WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) yang difasilitasi BaKTi di Sulawesi Selatan.
- Proyek Kemakmuran Hijau – Aktivitas Pengetahuan Hijau Millenium Challenge Account – Indonesia (MCA – Indonesia).
- KIAT Guru – Kinerja dan Akuntabilitas Guru. Pernah diselenggarakan tahun 2014 dengan melibatkan pemerintah Australia dan World Bank. Pada tahun 2016, Yayasan BaKTI berperan dalam pengelolaan operasional dan pengawasan fidusia di tingkat nasional dan daerah untuk provinsi Kalimantan Barat dan NTT.
- LANDASAN Tahap II: Memperkuat Penyelenggaraan Pelayanan Dasar di Tanah Papua. Proyek ini dilaksanakan di bawah KOMPAK yang bermitra dengan BaKTI dan didukung penuh oleh Pemeritah Australia.
Sebagian peserta Philanthropy Learning Forum on SDGs. Sumber foto: fan page Facebook Filantropi Indonesia |
Yusran
mengatakan bahwa Praktik Cerdas bisa dilakukan siapa saja dan besar potensinya.
Semua orang bisa mendukung SDGs. Dengan menyebarluaskan Praktik Cerdas yang
bisa membantu hajat hidup orang banyak, kita sudah mendukung SDGs. “BaKTI tidak
bisa melakukan sendiri, menjangkau
Indonesia yang lebih luas. Kita perlu bekerja sama untuk meng-address isu pembangunan,” pungkas
Yusran.
Penanggulangan
Kesenjangan (Peran dan Dukungan Filantropi)
Abdul
Madjid Sallatu, MA, Koordinator Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) menjadi nara sumber terakhir yang
memaparkan materinya. Presentasi yang berjudul Penanggulangan Kesenjangan (Peran dan Dukungan Filantropi) ini dibuka dengan realita seputar ini.
“Penanggulangan sudah lama sekali tetapi tiak selesai-selesai,” ungkapnya.
Majid memperlihatkan gini ratio[1] yang
menunjukkan gambaran kesenjangan di Indonesia yang semakin lama semakin besar
(semakin senjang).
Madjid
mengutip kata-kata bijak dari Jiddu Khrisnamurti, seorang filusuf asal India:
“Jika kita benar-benar bisa memahami persoalan, jawaban akan datang sendiri karena jawaban tidak pernah terpisahkan dari persoalan”.
Maka, sebenarnya apakah
persoalan kita?
“Inilah
peranan akademisi untuk menyusun policy
brief. Kalau kita coba perhatikan, kesenjangan yang ada sudah lama terjadi.
‘Keberadaan’ segitiga sama kaki terjadi puluhan tahun,” lanjut Madjid lagi. Yang
dimaksud “keberadaan segitiga sama kaki” adalah pada setiap keberadaan kesenjangan pasti ada juga kemiskinan dan
ketertinggalan. Dan jika dibolak-balik ketiga substansi ini, akan sama saja
maknanya.
Hamid Abidin, Amri Akbar, Majid Sallatu, dan Yusran Laitupa. |
“Apa
persoalan segitiga? Pendapatan! Rata-rata program pemerintah memang untuk
mendorong daya beli – program subsidi, bantuan langsung. Lebih sebagai katup
pengaman, tidak pernah menyentuh struktur pendapatan. Ini tantangan buat
akademisi,” Madjid melanjutkan penjelasannya mengenai program pemerintah yang
kurang efektif mengatasi masalah segitiga sama kaki.
Apa
dan bagaimana struktur pendapatan? Menurut Madjid, seharusnya kita memilih komoditas
yang akrab dengan masyarakat kecil dan bisa mencapai skala ekonomi pada hamparan
atau kelompok. Majid mengkhawatirkan adanya kejenuhan.
Seperti
yang kita ketahui, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang tahun-tahun lalu
terus meningkat dari sekira 6%, naik menjadi 7%, lalu menjadi 8,05% pada bulan
November 2016[2]. Pada
triwulan kedua 2017, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan melambat, “hanya”
sebesar 6,63%[3].
“Nampaknya
harus bikin pendekatan lain. Sulawesi Selatan terus menerus memicu (produksi) komoditas
unggulan,” tutur Madjid yang kemudian mengatakan bahwa produksi komoditas
unggulan[4]
kita sudah mencapai titik jenuhnya.
Suka
atau tidak suka untuk kepentingan orang kecil, sudah seharusnya pendekatannya
berbasis HAMPARAN dan KELOMPOK, sebagai realita di mana segitiga sama kaki
berada. Masyarakat yang tingkat pendapatannya terendah adalah sebesar 40%
terbawah (di akar rumput) yang tersebar di wilayah pedesaan dan kelurahan di
setiap kabupaten/kota. Maka perlu dipikirkan bagaimana menyentuh 40% ini
sebagai “kegiatan kelompok produktif yang berskala ekonomi” karena komoditas
unggulan tidak secara langsung menyentuh mereka. Namun Madjid juga mengingatkan
bahwa yang paling berat adalah melakukan social
preparation (persiapan sosial). Meskipun demikian, memang harus diawali
dengan social preparation ini karena
sangat menentukan keberhasilannya.
Sumber: fan page Facebook Filantropi Indonesia |
Selanjutnya
Madjid memaparkan mengenai esensi persiapan sosial. Menurutnya, persoalan
segitiga adalah persoalan sosial lokal berbasis partisipatoris (participatory local social development).
Untuk itu, penyandang segitiga penting
memahami kerja sama dan kolaborasi. Juga penting memahami hamparan dan
kelompok untuk mencapai skala ekonomi. Sasaran akhir kelompok adalah kapasitas swatata (self organizing capacity). Tantangannya adalah: butuh kesungguhan dan kesabaran, dukungan dari
luar jajaran pemerintahan dibutuhkan.
Sebagai
peneliti, Abdul Madjid Sallatu menunjukkan perlunya PENDEKATAN
WILAYAH/KEWILAYAHAN. Komoditas dan kegiatan produktif masyarakat yang dekat
dengan 40% akar rumput (segitiga) dan
bisa meningkatkan pendapatan daerah adalah pisang, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar, ayam buras/ayam kampung,
dan penangkapan ikan laut. Keenam komoditas ini paling banyak memenuhi kriteria, telah
dikaji pencapaian skala ekonominya.
Jika
diterapkan, setiap kepala keluarga bisa terlibat dengan lebih dari satu komoditas
atau kegiatan produktif:
- Pisang, berproduksi setelah setahun namun kontinu berproduksi selama maksimal 5 tahun.
- Kacang tanah, berproduksi setiap musim tanam, selanjutnya bisa mandiri untuk musim tanam berikutnya.
- Kacang hijau, berproduksi setiap musim tanam, selanjutnya bisa mandiri untuk musim tanam berikutnya.
- Ubi jalar, berproduksi setiap musim, selanjutnya bisa mandiri untuk musim tanam berikutnya.
- Penangkapan ikan laut, berproduksi harian/mingguan, selama 9 – 10 bulan dalam setahun.
- Ayam buras, berproduksi setelah setahun, dan selanjutnya bisa mandiri.
Pada
catatan akhir, Madjid menekankan pentingnya
mengagendakan aksi ini sebagai sebuah start-up.
Catatan lainnya adalah:
- Sumber daya (lahan) yang digunakan baru sebagian dari potensi.
- Total biaya/investasi awal tidak besar, produksi akan bergulir/berulang.
- Masyarakat luas, terutama petani/nelayan/peternak kecil selalu mau melihat hasil/contoh nyata.
- Butuh kesungguhan dan konsistensi pada pemangku kebijakan.
- Terbuka bagi peran berbagai pihak. Di sinilah peran dan kontribusi filantropi.
“Kegalauan bangsa ini sekarang karena semua ramai-ramai meninggalkan sektor pertanian, tidak ada lagi yang mau tinggal di sektor pertanian,” pungkas Majid menutup presentasinya.
Benang merah telah terurai hari ini.
Akankah ada itikad baik dan inisiasi untuk mewujudkannya?
Makassar, 5 Oktober 2017
Selesai (tulisan
ketiga dari tiga tulisan)
Jangan lupa
baca tulisan ini:
- Philanthropy Learning Forum on SDGs: Kaitan Antara Filantropi dan SDGs
- Philanthropy Learning Forum on SDGs: Serba-Serbi Penerapan SDGs pada Filantropi
- Baca juga tulisan-tulisan lain saya mengenai berbagai kegiatan menarik nan informatif yang diselenggarakan oleh BaKTI di blog ini pada label “BaKTI” (klik kata "BaKTI" tersebut untuk melihat).
Tentang
Filantropi Indonesia bisa dibaca di:
- Fan page Facebook: Filantropi Indonesia
- Website: http://filantropi.or.id/
Tentang
BaKTI bisa dibaca di:
- Website: http://www.bakti.or.id, http://www.batukarinfo.com
- Fan page Facebook: Yayasanbakti
- Twitter: @InfoBaKTI
- E-mail: info@bakti.or.id
[1] Koefisien
Gini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Apabila koefisien Gini bernilai 0
berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan
sempurna (http://finansial.bisnis.com/read/20130821/9/157881/kamus-ekonomi-apa-arti-rasio-gini)
[2] Lihat di
http://makassar.tribunnews.com/2016/11/25/pertumbuhan-ekonomi-sulsel-805-persen-jokowi-terima-kasih-pak-gub
[3] Lihat di
http://news.rakyatku.com/read/59861/2017/08/07/bps-triwulan-ii-2017-pertumbuhan-ekonomi-sulsel-melambat
[4]
Komoditas unggulan Sulawesi Selatan: beras, kakao, jagung, sapi, dan rumput
laut.
Share :
Memang benar banget mbak kata pak majid,. di era milenial sekarang kids jaman now lebih memilih untuk bekerja di kantoran dari pada pertanian. Padahal makanan yang kita konsumsi merupakan buah kerja sektor pertanian
ReplyDeleteNah itu, masa depan kita gimana tuh ya kalo banyak anak sekarang sudah tidak mau menggarap sektor pertanian.
Deletemantap ulasannya , memberikan informasi yg akurat
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tira :)
DeleteSemoga masih ada anak muda yang mau bekerja di sektor pertanian yaaaa. Skrng lulusan pertanian banyak yg milih jd pegawai kantoran hehe.
ReplyDeleteBtw tapi mungkin kalau pertaniannya beda maksudnya seperti yg kapan hari saya liat di tv jd ada anak muda bertani hidroponik, hasilnya bagus. Mungkin yg memerlukan inovasi2 gtu, anak2 muda mau ya mbak. Moga pertanian di negeri ini tetap awet deh #berdoa
Mungkin kebutuhan peralatan pertanian perlu dimodernisasi, seperti Amerika misalnya. Mereka lebih menggunakan mobil bajak daripada nyangkul sawah sehektar. Itu saja sih dari saya, kalau ada salah mohon dikoreksi hehe
ReplyDelete