Suatu sore menjelang maghrib, Affiq anak saya yang baru berusia 4 tahun marah pada saya karena saya mematikan komputer tanpa sepengetahuannya saat ia sedang berendam di baskom di tempat cuci pakaian. Memang ia sangat senang bermain komputer. Setiap hari, komputer kami on bisa sampai 10 jam. Ia memainkan apa saja, mulai dari game untuk anak usia balita, sampai mengacak-acak setting komputer seperti tampilan desktop, screen saver, mengubah-ubah user name, windows explorer sampai membuat file-file presentasi dan gambar dengan menggunakan MS Power Point.
Tetapi ia tidak selama 10 jam di depan komputer. Sesekali ia meninggalkan komputer untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti berendam di baskom, bermain air di kamar mandi, mengutak-atik perabotan, mengisengi saya, papanya, neneknya, atau kakeknya, atau melakukan eksperimen dan eksplorasi baru terhadap aneka mainan/perabotan rumah, dll.
Tetapi ia tidak selama 10 jam di depan komputer. Sesekali ia meninggalkan komputer untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti berendam di baskom, bermain air di kamar mandi, mengutak-atik perabotan, mengisengi saya, papanya, neneknya, atau kakeknya, atau melakukan eksperimen dan eksplorasi baru terhadap aneka mainan/perabotan rumah, dll.
Seperti yang terjadi pada hari itu, ia sedang asyik berendam, saya pun diam-diam mematikan desknote (komputer portabel) dan melepas kabel power-nya. Usai mandi, ia langsung mengecek komputer, saat melihat komputer mati, ia mencoba menghidupkan kembali tetapi gagal karena tidak mudah memasang kabel tersebut power-nya. Ia lalu mengomel-ngomel dan dengan atraktif pergi ke ruang tamu, manjat di kursi untuk mematikan lampu-lampu yang sudah dinyalakan sebagai tanda protes.
Saya yang sedang sibuk di dapur sesekali pergi mengintip tindak-tanduknya. Karena merasa aman-aman saja, saya kemudian tenggelam dalam kesibukan memasak kolak pisang. Tidak ternyana, Affiq tiba-tiba muncul di dapur dan memperlihatkan kepada saya robekan-robekan kertas yang berasal dari buku yang sedang saya baca. Betapa marahnya saya karena buku itu adalah buku kesayangan teman yang sedang saya pinjam, dan teman saya itu membelinya di luar negeri.
Setengah menyeret, saya membawa Affiq ke ruang televisi lalu memarahinya sampai ia meringkuk di lantai, ketakutan. Kedua kakinya saya pukul dengan tangan saya, juga kedua tangannya saling saya pukulkan. Ia makin terisak, sakit hati oleh perlakuan saya. Walaupun marah, saya merasa bersalah juga telah memarahinya sedemikian sampai memukulnya. Tetapi ia harus tahu apa yang dilakukannya salah, dan ia harus tahu saya marah. Sebenarnya salah saya juga karena meletakkan buku yang sedang saya baca itu di atas kursi. Saya ‘seteledor’ itu karena Affiq tidak pernah merobek buku. Di kamar kami, buku-buku berserakan di mana-mana dan tidak ada yang tersimpan di tempat tinggi. Semuanya bisa dijangkau oleh Affiq. Tetapi ia tidak pernah merobeknya. Baru kali ini. Mungkin ini karena kemarahannya pada saya, karena telah mematikan komputer tadi.
Perlahan-lahan suara saya melunak, saya jelaskan mengapa saya marah lalu saya memintanya meminta maaf pada saya, dengan mencium pipi dan tangan saya. Tangisnya mereda tetapi ia tidak mau melakukan apa yang saya pinta. Saya mulai naik darah lagi. Bertepatan dengan itu Papanya pulang, saya ceritakan apa yang terjadi dan kembali memerahi Affiq. Isakannya yang semula mereda, kembali menguat. Saya pun kembali dihampiri rasa sesal. Saya kembali melunakkan suara dan memeluknya. Affiq mulai berhenti menangis tetapi ia melarang saya shalat maghrib. Kali ini saya mulai ‘normal’ kembali. Saya hadapi ia dengan tenang. Saya biarkan ia menangis sementara saya shalat. Setelah itu baru saya memeluknya dan menciuminya. Kali ini Affiq mencium tangan dan pipi saya, kontan rasa haru menyesaki dada saya. Saya katakan bahwa saya akan menelepon teman saya, dan Affiq harus meminta maaf karena telah merobek bukunya. Affiq mengiyakan. Lalu saat saya menelepon teman, ia dengan antusias minta dibolehkan bicara kemudian kata-kata manis ini meluncur dari bibir mungilnya: “Tante, Affiq minta maaf, bukunya robek”.
Malam harinya, saat Affiq sudah tidur. Saya shalat Isya dan kemudian mengisak-tangis, memohon ampun pada Allah karena hari ini telah kurang sabar menghadapi amanah-NYA. Lalu saya menciumi Affiq sambil menangis. Maaf, Nak, Mama mau Affiq tahu bahwa Mama marah karena perbuatan merobek buku itu tidak baik. Tapi Mama tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengekspresikannya. Entah cara Mama tadi benar atau tidak. Jujur, Mama merasa cara itu kurang tepat. Tapi Mama akan berusaha lebih baik lagi, lebih sabar lagi. Do’akan Mama ya .....
Tiba-tiba di telinga saya terngiang kembali ‘Undang-Undang’ yang berlaku semasa saya mahasiswi baru yang tengah menjalani Orientasi Mahasiswa Baru di kampus 12 tahun lalu: “Pasal 1, senior tidak pernah bersalah. Pasal 2, jika senior bersalah kembali ke pasal 1”. Oh my God, saya nyaris secara penuh menjalankan ‘undang-undang’ ini dalam bentuk lain: “Pasal 1, orangtua tidak pernah bersalah. Pasal 2, jika orangtua bersalah, kembali ke pasal 1”. Saat menyadarinya, hati saya teriris sendiri, miris.
*******************************
Setelah saya bisa berpikir jernih, saya mulai menyadari bahwa ternyata tipis sekali batas antara rasa superior dan ‘supremasi (kekuasaan tertinggi) yang sah’ sebagai orangtua di dalam rumah tangga. Saat emosi memuncak, superioritas itu sebenarnya menyelubungi arogansi yang sangat besar kemungkinannya ditunggangi setan yang kemudian membenarkan kemarahan itu: “Ayo marah ... kamu kan orangtua, kamu berhak untuk semarah apapun. Kamu bisa memukulnya .... ia-kan anakmu. Tidak ada yang akan menyalahkanmu hanya karena kamu memarahi dan memukulnya karena itu urusan domestikmu”.
Saya tidak tahu sudah berapa banyak luka yang saya torehkan di hatinya. Ia baru berusia 4 tahun, apa yang ia lakukan semuanya masih harus dibimbing dengan sabar. Ia tumbuh dengan kritis dan selalu merefleksikan perbuatan dan perkataan orang-orang di sekitarnya, karenanya bukan semata-mata salahnya kalau ia melakukan hal-hal yang dipandang nakal oleh orang dewasa.
Entah, sudah berapa banyak rasa sesal yang membebani saya karena kekurangkompetenan saya sebagai orangtua. Dengan dalih superioritas dalam bingkai supremasi yang sah sebagai orangtua saya sering menyakiti putra semata wayang saya, padahal saya sendiri yang kurang bijak. Ternyata bukan hanya ia yang harus belajar banyak tetapi saya juga, saya harus terus belajar untuk menjadi bijak ....
Makassar, 10 Maret 2006
Share :
0 Response to "Arogansi Itu Terselubung Superioritas"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^