Bulan demi bulan berlalu, Ifa tumbuh menjadi bayi mungil yang cantik. Tak sedikit orang yang mengatakan ia mirip sekali dengan saya. Sampai bertahun-tahun berikutnya, masih ada juga orang yang mengatakan ia mirip dengan saya. Bahkan seorang sahabat saya mengatakan bahwa Ifa lebih mirip saya ketimbang Rifai. Sebenarnya saya heran juga karena menurut saya, wajah Ifa itu gabungan papa dan mamanya. Dan sebenarnya makin lama ia makin mirip dengan Rifai. Yah, garis wajah saya memang ada kemiripan dengan Mirna tapi terus terang, makin lama saya tidak melihat kemiripan antara Ifa dan saya. Mungkin, ada garis-garis wajah Ifa yang mirip mamanya yang juga mirip dengan saya. Namun saya tidak menutupi perasaan senang saya. Dan hal ini juga membuat saya jatuh cinta untuk yang kedua kalinya pada si mungil Ifa … Makin lama, makin banyak hal yang membuat saya semakin cinta padanya. Di antara hal-hal itu adalah kepolosannya. Kepolosan gadis mungil kelahiran 6 Juni 2002 yang membuat saya belajar banyak hal tentang ketulusan dan merasakan hal-hal indah dalam batin saya.
Saat Ifa masih berusia 2 tahun, suatu ketika Rifai harus bekerja hampir sehari penuh selama seminggu. Saat itu Ifa nyaris tidak bisa bertemu papanya meski sekamar. Papanya pergi kantor lepas subuh saat ia masih tidur, dan baru pulang ke rumah di malam hari di saat ia sudah terlelap. Di hari ke-6 ia bertingkah, seolah-olah menunda waktu tidurnya. Sampai akhirnya pada pukul 9 malam, ia menangis dan mengatakan bahwa ia rindu pada papanya. Rupanya gelagat rewelnya pada malam itu merupakan pernyataan bahwa ia ingin menunggu papanya supaya bisa bertemu. Rifai pasti menyadari betapa ia bapak yang beruntung. Anak berusia 2 tahun itu bisa mengekspresikan perasaan sedalam dan seberharga itu padanya. Tidak banyak bapak yang mendapatkan penghargaan serupa itu dari balitanya. Rifai – sedikit di antaranya.
Ada dua kali di saat usia Ifa 3,5 tahun, ia meminta Mirna menginterlokal saya (Sorowako berjarak ± 700 km arah timur laut Makassar). Katanya ia ingin bicara dengan saya. Sayangnya saat-saat itu saya tidak berada di rumah, karena sedang menghadiri suatu acara sehingga tidak bisa dihubungi meski via jaringan seluler. Ifa menangis, tetap ngotot hendak bicara dengan saya sehingga mamanya kewalahan. Saya tidak tahu apa yang membuatnya begitu ingin berbicara dengan saya. Yang saya tahu, saya merasa begitu terharu, ada gadis mungil yang kala itu memerlukan saya! Berkali-kali setelahnya, ia dengan tulus meminta bicara dengan saya di telepon saat mamanya rutin menelepon orangtua kami (saya dan keluarga kecil saya masih tinggal bersama orangtua kami) untuk menceritakan dengan bersemangat apa saja yang tengah dilakukannya. Saya dengan senang hati pasti akan menimpali dengan akrab topik yang diceritakannya.
Seperti Mirna memperlakukan Affiq – anak saya, saya pun memperlakukan Ifa selayaknya anak sendiri, dengan ketulusan dan kelembutan seorang ibu sehingga pada akhirnya beberapa kali Ifa mau ditinggal dengan saya di kala Mirna harus menyelesaikan urusan-urusannya saat mereka ke Makassar. Tidak mudah mendapatkan kepercayaan dari Ifa bahwa ia nyaman bersama saya. Awal-awalnya ia sama sekali tidak mau ditinggal oleh mamanya, mau ikut ke mana pun mamanya pergi. Namun akhirnya ia membuat saya merasa berharga merasakan ketulusan kepercayaannya pada saya. Hal lain yang membuat ia merasa nyaman adalah karena ia sudah merasa dekat dengan Affiq – putra semata wayang saya, yang berusia 4,5 tahun. Seringkali bila mama atau papanya membelikannya sesuatu, ia minta agar Affiq juga dibelikan. Affiq pun ‘ketularan’, walaupun Ifa sedang berada di Sorowako ia pun sering meminta Ifa dibelikan barang yang sama dengan miliknya. Kedua bocah ini memang saling berbagi dengan tulus. Bukan hanya itu, dalam banyak hal mereka juga saling mempengaruhi dan saling mengajari. Di antaranya, secara tidak langsung, Ifa yang sangat koleris mengajari Affiq cara survive dalam interaksi mereka. Dan sebaliknya, Ifa belajar untuk lebih mengalah dari Affiq. Affiq memang sangat plegmatis dalam interaksi awalnya dengan sesama balita namun pada akhirnya ia akan memutuskan untuk ‘survive’ jika merasa terdesak apalagi jika ia sampai kena pukul dalam interaksi itu.
Suatu ketika di bulan Januari 2006, Rifai ditugaskan kantornya ke pulau Jawa. Mirna dan Ifa tinggal di Makassar selama 1 minggu. Suatu hari kami membawa kedua balita ini ke tempat bermain di sebuah mal, lalu makan siang di restoran fast food yang juga memiliki tempat bermain. Seperti biasa jika keluarga kecil Mirna sedang berada di rumah kami, beberapa hari itu saya menyuapi Ifa, bergantian dengan Affiq. Saat Mirna hendak menyuapinya kali ini, ia menggeleng sembari berkata, “Ifa mau disuap sama tante Niar saja”. Duh Nak, kalimat yang sangat sederhana itu membuat saya kembali merasakan penghargaan yang begitu tulus darimu. Penghargaan yang tidak mudah diserah-terimakan di dunia orang dewasa yang penuh kepentingan, intrik, dan egoisme ini.
Keesokan harinya, iseng-iseng saya katakan padanya, “Ifa anaknya tante Niar toh ? kan kemarin waktu makan ayam Ifa tidak mau disuap sama Mama. Yang suap Ifa kan tante Niar”. Saya mengamati wajahnya. Ia kelihatan sedang menyimak apa yang baru saya katakan padanya sembari berpikir. Tak lama kemudian ia mengangguk, seolah kalimat saya barusan masuk akal baginya. Kemudian saya bertanya, “Jadi, Ifa anak siapa?”. Ifa menjawab mantap, “Tante Niar!”. Beberapa hari berikutnya jika saya tanyakan padanya ‘Ifa anak siapa’, ia menjawab (masih dengan mantap): ‘Tante Niar’. He .. he ... senang juga mendengar ia mengatakan itu dengan tulus …
Tiba saatnya Rifai kembali dari perjalanan dinasnya. Di suatu ketika ia bersenda gurau dengan gadis mungil itu. Satu kalimat terlontar dari Rifai, “ ….. Ifa kan anaknya Papa ….”. Saya yang berada di dekat mereka tidak menyana Ifa membantah, “Bukan, Ifa anaknya tante Niar …. “. Wah, saat itu baru saya sadari kesalahan saya karena ternyata saya telah mengindoktrinasinya dengan logika yang ngaco …
Sederhana, tingkah laku Ifa seperti juga tingkah laku balita-balita lain di dunia ini. Sebenarnya bukan hal yang teramat istimewa. Namun ternyata dalam menyimak tingkah lakunya, banyak hal yang bisa disimak. Salah satunya adalah ketulusan yang tampak dari kepolosannya. Ketulusan yang mungkin muncul sebagai reaksi dari ‘perlakuan baik’ orang yang berinteraksi dengannya. Atau mungkin lebih dalam lagi, ketulusan yang muncul sebagai reaksi dari ketulusan yang bersumber dari ‘suara hati’ orang yang berinteraksi dengannya yang kemudian tertangkap oleh ‘radar suara hati’-nya. Dan seperti kita ketahui, ‘radar’ balita yang masih polos tersebut belum tercemari oleh hal-hal yang membelenggu suara hati banyak orang dewasa*.
Catatan:* Ary Ginanjar Agustian dalam buku Emotional-Spiritual Quotient-nya menyebutkan 7 hal yang bisa membelenggu suara hati seseorang: Prasangka negatif, yang menyebabkan orang lupa berprasangka positif; prinsip hidup yang terlalu bersifat duniawi; pengalaman pahit yang membentuk paradigma picik; kepentingan egoisme yang pada akhirnya menyebabkan salah menetukan prioritas; sudut pandang yang terlalu sempit sehingga dengan tidak bijak menafikan sudut pandang lain yang jauh lebih besar; pembanding yang terlalu mapan sehingga menafikan adanya pembanding-pembanding lain, membuat orang menilai sesuatu karena pikirannya sendiri, bukan karena apa adanya sesuatu itu; dan literatur yang terlalu subyektif dan tidak bersumber dari Sang MahaPencipta.
Hope to see she grows up.
Makassar, 21 Februari 2006
Share :
0 Response to "Kepolosan Ifa"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^