Lain Dulu Lain Sekarang - Saya ingat masa kecil, sekitar akhir tahun 70-an sampai pertengahan tahun 80-an. Waktu itu banyak sanak saudara yang tinggal di rumah. Mereka berasal dari kampung papa saya (Soppeng, daerah tingkat dua yang letaknya hampir 200 km di sebelah utara Makassar) dan dari daerah asal mama saya (Gorontalo – dahulu bagian dari propinsi Sulawesi Utara). Mereka merantau ke Makassar (dahulu namanya masih Ujungpandang) untuk melanjutkan sekolah (SMU atau kuliah), dan ada juga yang ingin mencari pekerjaan. Maklum, Makassar adalah kota terbesar di Indonesia timur, sehingga menjadi pusat perhatian bagi masyarakat Indonesia bagian timur yang hendak melanjutkan pendidikan atau mencari nafkah.
Saat itu rumah orangtua saya tidak pernah sepi oleh sepupu-sepupu, tante-tante,dan om-om, begitu pula rumah keluarga yang lain, juga teman-teman saya. Umumnya, rumah mereka menjadi tempat tinggal bagi keluarga mereka yang merantau ke Makassar untuk tujuan-tujuan di atas.
Saya melihat kondisi sekarang sangat jauh berbeda. Rumah kami sepi dari keluarga. Rumah keluarga yang lain, dan juga rumah orangtua teman-teman saya pada sepi. Bahkan banyak yang anak-anaknya sudah mandiri, terpaksa tinggal seorang diri di rumahnya, atau hanya ditemani pembantu. Jarang sekali, bahkan tidak ada lagi sanak saudara yang tengah merantau, menumpang tinggal seperti dulu. Sekarang, SMA sudah bertambah banyak di seantero kota dan desa di daerah tingkat dua. Bahkan universitas atau sekolah tinggi sudah ada sampai di ibukota kabupaten. Yangmana, hal tersebut belum ada pada era 70 – 80-an. Sehingga banyak dari warga kabupaten memilih melanjutkan pendidikan – SMA dan pendidikan tinggi di wilayah lokal mereka.
Suatu pagi, saya mendiskusikan hal ini dengan suami saya. Saya berpendapat kami sudah harus siap untuk hidup sendiri di hari tua nanti, tanpa mengharapkan bantuan dari sanak saudara, bahkan dari Affiq – anak kami, sekalipun. Karena kelak ia akan punya kehidupan, rutinitas, dan kesibukan sendiri dan kami tidak mungkin membebaninya dengan harus mengurusi kami.
Tidak masalah sih kalau Affiq nanti dengan suka rela mau mengurusi kami. Namun sebagai orangtua, kami sudah harus belajar untuk memilah-milah, kapan bisa bicara/turut campur dan kapan harus diam. Tidak terjebak doktrin: “Yang paling banyak makan asam garam adalah yang lebih tahu”. (Padahal kedewasaan bukanlah ditinjau dari segi umur). Sehingga tidak selalu merasa berhak berpendapat tanpa melihat situasi dan kondisi. Artinya, kami harus bijak dan mendewasakan Affiq dengan ‘kebebasan berpendapat yang terarah’ sehingga kelak tidak ‘mengacaukan’ stabilitas rumah tangganya dengan kesoktahuan kami.
Suami saya menimpali topik yang saya gulirkan: “Wajar saja. Sekarang perantau lebih suka tinggal di kamar kos. Semakin lama, di Makassar semakin banyak saja rumah yang menyewakan kamar kos”. “Iya, sih”, kata saya, “Dengan memilih tinggal di kamar kos, mereka tidak perlu sungkan dengan ibu kos sampai perlu membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga di rumah utama karena mereka membayar sewa kamar per bulannya, termasuk listrik, air, telepon, bahkan sampai makanan. Tugas mereka hanyalah belajar atau bekerja. Dahulu, perantau yang menumpang tinggal di rumah keluarga biasanya harus membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tuan rumah. Karena tuan rumah biasanya tidak memiliki pembantu rumah tangga, dan karena mereka tidak perlu membayar sewa apapun di rumah itu, wajar saja jika mereka harus tahu diri dengan membantu meringankan pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah ada habisnya”. “Di Indonesia, menitipkan orangtua di panti jompo masih sangat tabu. Norma-norma yang berlaku juga mengajarkan setiap anak untuk ganti mengasuh orangtua mereka setelah mereka mandiri. Tapi mungkin orangtua muda yang sebaya kita, mesti mencoba mulai berpikir jikalau suatu saat nanti mereka harus hidup di panti jompo dengan sukarela”.
Bukannya hendak mengajarnya menjadi anak durhaka, hanya saja ditilik dari hal-hal yang terjadi dari dulu hingga sekarang, kehidupan makin bersifat individualis, saat ini kebanyakan rumah hanya diisi oleh keluarga batih: ayah – ibu – anak mereka. Yang memiliki pembantu pun harus dipusingkan dengan urusan keluar-masuknya pembantu mereka. Jadi, jika kelak kami hidup di tengah rutinitas keluarga kecil itu, tanpa pembantu pula, ya ... mungkin saja ada alternatif lain? Membebankan hidup kepada pembantu (yang khusus mengurusi manula) atau pekerja sosial, sempat juga terpikir oleh saya. Tetapi setelah dipikir-pikir lagi, harus dipikirkan berkali-kali bagaimana jika seandainya sulit mendapatkan orang yang dapat dipercaya. Alih-alih, malah ditipu, dirampok, bahkan dibunuh ..... HIIIIIIIIIIIIIIIIII
Ya, orangtua saya dan saya hanya berbeda satu generasi dan keadaan sosial kami telah jauh berbeda. Kemajuan yang terjadi sekarang pun telah jauh berbeda dengan apa yang ada sewaktu saya masih kecil. Contoh-contoh lain, di masa kecil saya, hanya ada TVRI, sekarang stasiun TV swasta semakin banyak dan jam tayangnya pun sampai 24 jam, dengan berbagai jenis tayangan mulai dari berita, infotainmen (yang dahulu seolah ‘terbekap’ sampai yang sekarang sering kali kebablasan), talkshow, reality show, kuis, sinetron, film kartun, kompetisi bakat, dll – yangmana tayangan-tayangan ini menjanjikan pengetahuan, hiburan, bahkan pembodohan. Dahulu, hanya ada jaringan telepon kabel leased line yang disediakan PT. Telkom. Sekarang, dari anak SD, SMP, SMA, mahasiswa, pegawai biasa, sampai masyarakat kelas sosial atas memiliki HP dengan berbagai jenis teknologi (GSM, CDMA), fasilitas (MMS, kamera, browsing internet, e-mail, PDA, dll), dan berbagai jenis kartu yang disediakan oleh berbagai perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Nah, kira-kira tahun 2020 atau 2030 nanti, kemajuan apa saja yang dicapai bangsa ini ya ........... ?
Suami saya berkata: “Kalau di Amrik sono, wajar sekali jika para manula memilih hidup di panti jompo. Mereka memiliki tabungan masa tua yang bisa membiayai hidup mereka di panti jompo. Di sana mereka seperti tinggal di hotel. Segala keperluan mereka diurusi dan mereka memiliki banyak teman yang sepantaran yang bisa diajak berbagi cerita, dan hidup mereka lebih aman karena mereka diurus oleh orang-orang yang bisa dipercaya”. Ya, anak-anak mereka pasti pada sibuk, memiliki kehidupan sendiri, rutinitas sendiri, dan mereka tidak mau terlalu membebankan kehidupan mereka pada anak-anak mereka.
“Pa, Saya jadi kepingin punya panti jompo yang eksklusif, seperti hotel. Dan kesejahteraan pegawainya tercukupi lahir-batin sehingga mereka tidak perlu lagi berpikir macam-macam untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Mereka hanya perlu menjalankan tugas mereka dengan tulus dan ikhlas. Kalau perlu kita tinggal di rumah jompo saja nanti ....”, kata saya.
“Boleh juga”, sahut suami saya.
Makassar, 4 Juni 2005
Share :
0 Response to "Lain Dulu Lain Sekarang"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^