Sebelum mulai, saya tegaskan di sini bahwa isi tulisan saya ini sangat subyektif, khas saya, dan tidak bermaksud menyinggung siapa pun yang memiliki pilihan berbeda dengan saya. Setiap orang punya pilihan, dan inilah pilihan saya sejak melahirkan Affiq hingga saat ini. (Sebenarnya saat Affiq masih jadi anak tunggal, saya pernah berusaha melamar pekerjaan sampai akhirnya saya hamil Athifah, hal itu tidak saya lakukan lagi).
Oke ... mari kita mulai.
Pandangan sementara orang yang berkembang dewasa ini cenderung agak merendahkan (kadang-kadang malah terlalu merendahkan) orang-orang yang berpredikat ‘hanya ibu rumah tangga biasa’. Pengalaman saya membuktikan hal itu. Saya yang memilih ‘hanya menjadi ibu rumah tangga biasa’ sering dikomentari tidak enak. Demikian pula adik perempuan saya dan istri adik saya yang punya pilihan sama dengan saya.
Suatu ketika seorang sahabat saya bertemu dengan teman SMA kami di Jakarta, ia bertanya tentang kabar-kabar teman se-SMA, termasuk saya. Saat ia bertanya apa pekerjaan saya, sahabat saya menjawab ibu rumah tangga. Ia merespons, “Ah, masa sih orang secerdas Niar hanya jadi ibu rumah tangga?”. Pedas. Untung sahabat saya membela saya. Tapi walau pedas, syukurlah ... ternyata dia mengakui kalau saya ini cerdas ... he .. he ... he.
Tak jarang kerabat ‘menyayangkan’ saya yang seorang sarjana teknik, mengapa ‘hanya menjadi ibu rumah tangga’. “Sayang ya Tante”, kata seorang kerabat kepada ibu saya saat ia menanyakan apa pekerjaan dari anak-anak ibu dan ibu saya menjawab bahwa kedua anak perempuannya ‘hanyalah ibu rumah tangga biasa’. Biasalah ... pembicaraan di kalangan keluarga, atau teman-teman orangtua saya, kalau menanyakan tentang anak, pertanyaan pokoknya adalah tentang pekerjaan atau karir. Yah, apa mau dikata, itulah ukuran duniawi. Jarang yang bertanya tentang kualitas ruhani kerabat/anak-anak kenalan mereka.
Terkadang saya sedih melihat ibu yang kelihatannya masih menyimpan obsesi agar saya berkarir di luar rumah. Saya maklum, ibu dan bapak saya yang tidak pernah mencapai gelar sarjana sangat berharap anak-anaknya berhasil menjadi sarjana lalu bekerja. Sederhana sebenarnya, seperti harapan kebanyakan orangtua. Pernah beliau duduk, menerawang dan menggumamkan keberhasilan seorang kerabat, wanita karir yang sekarang sudah menjadi kepala kantor. Beliau seolah menyesali, mengapa anak-anak perempuannya ‘hanya menjadi ibu rumah tangga biasa’. Sayangnya ibu tidak menyadari, walaupun duniawiah kelihatan sukses, ada kekurangan sang kerabat dalam hal pendidikan anaknya, yang tidak etis bagi saya untuk diceritakan di sini. Lagi pula ... satu hal yang saya syukuri, saya tidak pernah memberatkan ibu dalam pengasuhan ketiga anak saya. Walaupun kami tinggal serumah, anak-anak saya urus sendiri sejak bayi, bersama suami. Malah beberapa hari setelah melahirkan Athifah, saya sudah membantu mengurus keperluan sahur/buka puasa di rumah (Athifah lahir 1 Ramadhan, sepulangnya kami ke rumah, saya langsung beraktivitas seperti biasa kecuali mencuc. Waktu itu ada 'asisten' yang membantu mencucikan pakaian selama sebulan. Setelah Athifah berusia sebulan, saya kembali mencuci sendiri karena 'asisten' kami mengundurkan diri) . Orang-orang lain memang punya anak yang bekerja, tetapi orangtuanya tak hentinya dilibatkan dalam mengurus anak-anak mereka. Alhamdulillah, saya dan adik saya tidak pernah merepotkan ibu kami. Sesekali saya dan suami keluar rumah untuk suatu keperluan, anak-anak lebih banyak dijaga oleh ayah saya. Itu pun setelah urusan makan dan mandi mereka selesai.
Saya berpendirian, hal yang sangat berat pertanggungjawabannya kelak di akhirat jika saya bekerja (sementara anak-anak tidak saya urus), tetapi tidak demikian halnya jika saya mengurus anak-anak sehingga tidak bekerja di luar rumah. Anak-anak saya adalah tanggung jawab saya, bukan tanggung jawab orangtua saya, dan tentu saja bukan tanggung jawab pembantu/pengasuh. Mengurus anak-anak bukan sekedar memberikan kebutuhan jasmani bagi mereka (sandang, pangan, dan papan) tetapi juga mengisi ruhani mereka. Lihat: (Pengembangan Diri Dunia-Akhirat ). Contoh kecil misalnya, siapa yang bisa menjamin anak saya yang usianya sudah 9,5 tahun shalat 5 waktu sementara saya tidak ada di rumah? Kalau hanya pembantu/pengasuh susah menjaminkan hal ini untuk saya. Kakek-neneknya saja kewalahan menghadapinya. Tetapi jika saya atau papanya ada, ia tahu kapan kewajibannya harus ia laksanakan, entah itu melalui ucapan halus, tatapan tajam, atau ancaman misalnya (sementara tatapan tajam dan ancaman – apalagi ucapan halus dari kakek-neneknya tidak mempan baginya ... apatah lagi jika dari pembantu/pengasuh).
Membentuk ikatan batin dengan mereka adalah kebutuhan bagi saya. Dan saya sangat menyadari, ikatan batin bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya hanya karena mereka lahir dari rahim saya tetapi itu adalah hal yang harus saya usahakan dengan sadar, harus saya rencanakan lalu saya bangun dan kemudian harus dipupuk. Bagi saya, itu butuh waktu, dan masa yang paling tepat adalah sejak mereka dalam kandungan, lahir, hingga membesarkannya. Ikatan batin yang kuat merupakan modal besar bagi saya agar dapat bersinergi dengan anak-anak agar kami sama-sama menjadi manusia berkualitas terbaik (secara ruhani) di dunia dan kelak di akhirat. (Lihat: Adakah Rindu Buat Ibu ?). Tanpa ikatan batin yang kuat, bisa saja anak-anak yang seharusnya menjadi cahaya mata dan hati berubah menjadi monster secara perilaku, karena tentu saja kontribusi ibu sangat besar dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak-anak, baik yang menurun secara genetika maupun melalui hal-hal yang dilakukan ibu dengan sengaja ataupun hal-hal yang tak pernah dilakukannya (Lihat: Membesarkan Sesosok Monster? Jangan Sampai!).
Setiap momen dapat menjadi momentum dahsyat dalam pembentukan ikatan batin antara saya dan anak-anak, saat menyusui hingga 5 tahun pertama usia mereka (Lihat: Tak Ada yang Lebih Baik dari ASI, Saat-Saat Nikmat dan Momentum Berharga Seorang Ibu (Salam Hari Ibu 221205) ), saat mereka bertanya tentang Allah atau apa saja (Lihat: Deretan Pertanyaan Affiq, Deretan Pertanyaan Athifah, Berapa Tuhan ?, dan Tentang Allah ), sungguh, saya ingin ada saat pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dalam benak mereka karena hal seperti itu juga merupakan momentum berharga, atau saat berkompromi dengan mereka. Kapan momentum dahsyat itu datang, saya tidak tahu pastinya, itu makanya saya ingin ada dekat mereka kala momentum itu datang. Selain itu, saya termasuk orang yang ‘egois’ karena saya menginginkan menjadi saksi bagi ‘saat-saat pertama’ mereka, entah itu saat pertama mengucapkan “Mama”, saat pertama merangkak, saat pertama berjalan, dan saat-saat pertama lainnya. Itu merupakan suatu nikmat bagi saya yang pasti susah saya dapatkan jika saya bekerja di luar rumah.
Salah satu momentum berharga adalah saat pelajaran sekolah anak saya yang sulung tidak mencapai target kurikulum. Ada banyak hal yang terjadi di sekolahnya, yang membuat kelasnya tertinggal hampir dalam semua mata pelajaran di banding kelas ‘sebelah’. Saya harus mampu mengetahuinya dan mengejar ketertinggalan kurikulumnya karena soal ulangan umum yang dia hadapi ‘tidak peduli’ apakah materi pelajaran sudah selesai diberikan oleh guru yang bersangkutan atau tidak (lihat: SEKOLAH OH SEKOLAH ...). Juga ada saat-saat anak-anak meminta diladeni oleh saya – hanya oleh saya, bukan oleh papanya, padahal papanya ada dekat mereka (misalnya di: Ancaman). Hal-hal seperti itu tentu sulit saya penuhi jika saya bekerja di luar rumah.
Hal yang menarik, saya pernah membaca buku yang ditulis oleh Anni Iwasaki (orang Indonesia yang menikah dengan pria Jepang) bahwa perempuan-perempuan di Jepang meskipun sekolahnya tinggi, mereka cenderung memilih menjadi ‘ibu rumah tangga biasa’ ketimbang bekerja di luar rumah. Hal ini dibenarkan oleh seorang sahabat saya yang pernah tinggal di negeri sakura itu. Ada pula hal menarik dari salah satu tulisan yang saya kutip di blog ini menyebutkan: “.... ada penelitian sosiolog-sosiolog Islam terkemuka di Amerika. Hasilnya cukup mencengangkan, kata mereka sebaiknya negara harus membayar perempuan-perempuan yang tinggi sekolahnya tetapi dia memutuskan untuk menjadi ibu dan mendidik anaknya di rumah. Karena kontribusinya pada negara jauh lebih baik daripada uang yang disumbangkan dari pendapatan perusahaannya yang dikontribusikan untuk negara ...”. (Lihat: Tentang Kesiapan Menjadi Orang Tua dan Kontribusi Ibu pada Negara ).
Setelah semua kalimat dengan huruf tebal di atas, dan semua tulisan yang telah saya buat terkait dengan ‘paham keibuan’ yang saya anut, bagaimana mungkin ada orang lain yang bisa mengambil alih peran saya? Bagaimana mungkin ada orang yang lain yang bisa lebih baik dari saya? Saya bukan manusia yang sempurna tetapi saya adalah sosok yang terbaik bagi anak-anak saya. Bukannya bermaksud mengecilkan orangtua kami. Mereka sudah berjasa membesarkan kami, masa harus direpotkan lagi dengan mengurus cucu-cucu? Lagi pula masa anak-anak berkembang nanti sudah sangat tidak dipahami oleh mereka. Tambahan lagi saya pernah menyaksikan seorang pengasuh anak/PRT yang menemani anak majikannya beli es krim, sang pengasuh membukakan pembungkus es krimnya, menjilat dahulu es krim itu baru diberikan kepada anak sang majikan untuk dikonsumsi. Iiiih ... Saya pernah mendengar pengasuh yang menceboki anak majikannya menggunakan kaki karena jijik, atau pengasuh yang malas memberikan makan kepada anak majikannya. Saya juga pernah mendengar cerita tentang kerabat yang selalu kedatangan tamu-tamu mungil – 3 kakak-beradik - anak tetangga sebelah yang bapak-ibunya bekerja, di mana tamu-tamu mungil ini selalu saja merepotkan kerabat saya ini karena mereka suka membongkar isi lemari tuan rumah kalau bertandang. Kasihan, ibunya tidak pernah tahu kalau anak-anaknya malu-maluin di rumah orang. Kerabat saya ini juga cerita, ia pernah melihat seorang pengasuh yang sebenarnya sedang ‘bertugas’ tetapi tidak menjalankan tugasnya, ia asyik bertelepon-ria via HP, berlama-lama, sementara balita anak majikannya berkeliaran ke sana ke mari tanpa pengawasan di keramaian. Saya yakin, majikannya tidak tahu kelakuan pengasuhnya itu. Hmm .. orang lain mungkin sanggup menjalankan peran (paham) keibuannya sambil bekerja di luar rumah tetapi tidak demikian halnya dengan saya. Sekali lagi, tulisan ini sangat subyektif, khas saya.
Akhir kata, saya memang ‘hanya ibu rumah tangga biasa’ so what gitu loh ?
Makassar 30 Maret 2011
Share :
Saya termasuk orang yang percaya bahwa jadi ibu rumah tangga itu merupakan pekerjaan yang sangat berat. Saya salut pd bu Niar atas pilihannya ini. Saya juga bangga bahwa saya punya teman seperti ibu. (amal khairan)
ReplyDeleteAlhamdulillah teman lama berkunjung. Mudah2an "kepercayaan" itu berkah buat keluarga ta' pak Amal :)
ReplyDeleteSaya menghargai profesi ibu rumah tangga. (Iya lah, ibu saya adalah Ibu RT yang luar biasa - cuma sekarang aja malah jadi bekerja setelah anak-anaknya dewasa). Tetapi kadang kawan-kawan yang ibu rumah tangga yang malah 'mengingatkan saya dengan halus' karena saya masih sendiri, Seakan ukuran kesuksesan saya hanyalah kalau saya 'berhasil' menikah dan melahirkan anak-anak. Jadi serba salah juga ya sebagai wanita. :) Ya, mungkin sebaiknya diterima saja, yang penting dalam hidup berbuat baik. :) Segala sesuatu akan indah pada waktunya toh, Bu Niar? :)
ReplyDeletebaguss..
ReplyDelete