Menyiapkan bahan-bahan lalu memasaknya, masak nasi, dan masak air adalah pekerjaan berikutnya. Setelah itu kembali mencuci piring kotor. Saat siang menjelang, rasanya baru saja selesai cuci piring dan menyiapkan makan ketiga anakku, aku sudah harus melakukannya lagi. Setelah itu cuci piring kotor lagi. Begitu pun saat malam hari, rasanya baru saja meladeni mereka dan cuci piring kotor, lagi-lagi pekerjaan itu harus kulakukan.
Di sela-sela itu aku harus memperhatikan si bungsu Afyad, mengajaknya bermain, mengawasi kelincahannya. Meladeni keceriwisan Athifah yang senang menggugat, mengkritik, dan mempertanyakan apa saja, menanamkan nilai-nilai moral, mengajaknya berdo’a, shalat, dan membantunya mengenal huruf. Sulungku harus dipantau shalatnya, mengajinya, dan belajarnya. Aku pun memantau apakah gurunya dalam waktu yang berjalan sudah memenuhi tuntutan kurikulum setiap pelajarannya atau belum (karena beberapa kali ia mendapat guru baru yang minim pengalaman mengajar sehingga harus dipastikan apakah semua pelajaran sudah dipahaminya). Inilah hal-hal remeh yang oleh sebagian orang dianggap ‘tak bermutu’. Tapi tidak menurutku.
Aku memahami karakter Affiq yang keras, kritis, dan punya semangat bereksperimen serta berkompetisi yang tinggi tetapi menyukai jika dibelai. Aku memahami karakter Athifah yang ceriwis, kitis, lembut, dan sensitif, juga Afyad yang sabar. Aku sangat bertanggung jawab akan jadi manusia bagaimana mereka kelak, apakah berakhlak mulia atau begundal. Aku tak sempurna, tapi akulah yang paling tepat mendampingi mereka. Aku tak menguasai semua ilmu tetapi aku yang paling tahu bagaimana memperlakukan mereka dalam segala hal.
Kesemua hal itu sangat berharga bagiku. Pada setiap saat itu ada momentum berharga bagi rajutan tali batin kami. Aku tak mau mereka menjadi orang yang tak punya rasa rindu kepadaku karena tak merasa ‘terhubung’ denganku sebagai ibu mereka. Aku tak ingin kehilangan satu pun momentum berharga itu. Bagiku, ikatan batin yang kuat merupakan modal terciptanya sinergisme dunia-akhirat yang kuimpikan. Di mana kami berlima akan menjadi manusia berkualitas terpuji secara ruhani dan maknawi. Sehingga kelak aku bisa menyongsong maut dengan tersenyum manis karena meninggalkan mereka berbekal moral-spiritual yang memadai dalam menjawab tantangan zaman terberat sekalipun.
Itulah kisahku kawan, seorang sarjana teknik yang memilih menjadi ibu rumah tangga tanpa karir sektor publik, dan menjalani hari-hari tanpa asisten rumah tangga. Tapi aku bahagia, karena visi sinergisme dunia-akhirat akan mengantarku kepada kebahagiaan hakiki kelak.
Share :
saya sering lelah dan bosan mbak mengurusi yang itu lagi itu lagi. saat ini adzan subuh sudah berkumandang. saya baca tulisan ini dan tersenyum. saya tidak sendirian. :-)
ReplyDeleteTulisan-tulisan 'tidak bermutu' seperti ini harus sering saya baca dan resapi saat jiwa saya lelah mengurus rumah.
thanks for sharing mbak Niar!
Toss Mbak Diah. Saya dan Mbak Diah tak sendirian. Kita pasti sering merasa lelah tapi di balik semuanya, kita tahu kalau apa yang kita lakukan untuk sesuatu yang lebih berharga kelak. Insya Allah.
Delete