“Eli ... ayo masuk!” seru bu Anwar.
“Ah, Mama – Papa, ini ‘kan malam minggu!” seru Eli, seorang gadis kelas 3 SMP.
Pak Anwar dan istrinya (bukan nama sebenarnya) mengulangi lagi kalimat-kalimat seru itu. Eli (juga bukan nama sebenarnya) bergeming. Terdengar intonasi suara pak Anwar yang semula bernada halus, mulai naik. Sepertinya ia mulai tak sabar. Pak dan bu Anwar pastilah sangat protektif kepada Eli di tengah berbagai dampak brutal pergaulan muda-mudi saat ini. Syukurlah, Eli akhirnya menurut.
Itu fragmen singkat kehidupan di depan rumah, pukul sepuluh malam.
Di rumah besar orangtua saya ini, saya dan keluarga kecil saya menempati kamar paling depan. Kamar kami di sudut rumah, dekat sekali dengan pagar dan simpang empat gang. Rumah ini memang terletak di dalam gang, tetapi tak pernah sepi oleh suara-suara/bebunyian dari luar. Dari dalam rumah, tentu saja ada berbagai keriuh-rendahan yang ditimbulkan ketiga anak saya. Dari luar rumah, juga macam-macam, entah itu oleh bingar kendaraan yang lalu-lalang, anak-anak kecil yang berteriak bermain, suara dari speaker masjid, para tetangga yang bercengkrama – bersenda gurau di bangku kecil di seberang sana baik di pagi, siang, sore, ataupun malam hari. Juga bermacam bunyi-bunyian dari gerobak-gerobak yang menjajakan beragam jajanan. Atau dari nyanyian begadang para lelaki ABG bahkan ocehan ngawur pemuda mabuk, atau cekakak-cekikik perempuan ABG dengan kawan-kawan lelaki mereka di penghujung malam.
Brrr ... yang terakhir itu selalu membuat saya bergidik mendengarnya. Ternyata ada juga perempuan belia yang dibiarkan orangtuanya berkelana di gelap malam menelusuri gang-gang di daerah ini? Daerah yang terkenal dengan perang antar-gang memakai panah beracun, yang memiliki pelacur-pelacur kampung, dan diwarnai noda sana-sini oleh pernikahan terpaksa? Atau mereka hanya ngekos di kota ini sementara orangtua mereka di kampung?
Memikirkan hal itu, saya tak berhenti bersyukur. Orangtua saya, terutama ibu – sangat keras mendidik saya terkait hal ini. Beliau sangat mengontrol waktu dan tempat bergaul saya. Sering kali saya dilarang menginap di rumah teman untuk belajar bersama. Bahkan pernah saya kesal karena hendak menonton film Indiana Jones yang merupakan film petualangan beramai-ramai di rumah seorang sahabat saja, beliau sudah curiga minta ampun. Mana boleh saya, seorang diri jalan ke sana ke mari dengan kawan lelaki? Kalau beramai-ramai perempuan dan lelaki sih masih diizinkan, asalkan tidak terlalu malam. Beliau juga selalu mewanti-wanti saya dan adik perempuan saya untuk tidak bertandang ke rumah kawan laki-laki seorang diri. Saya beruntung, pada akhirnya saya mampu menjaga diri saya untuk tidak menyeberangi batas yang belum waktunya saya lewati.
Ada juga sebenarnya kawan-kawan saya yang bergaul cukup bebas dengan lain jenis. Tetapi mereka bisa menjaga diri, tidak sampai melampaui batas. Kawan-kawan mereka pun bisa menjaga mereka dengan baik, layaknya saudara sendiri. Saya tak hendak menyalahkan mereka melalui tulisan saya. Saya hanya berbicara tentang saya, hanya ingin menggambarkan akhirnya saya sangat mengerti dengan sikap ibu saya di masa lalu setelah sekarang saya dititipi 3 orang buah hati oleh Yang Mahakuasa. Mengamati perkembangan zaman sekarang yang membuat saya merasa ngeri, semakin banyak kerusakan moral di dunia saat ini. Bukan hanya dunia nyata, bahkan juga akibat pergaulan di dunia maya. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan saya kemampuan dalam mendampingi dan mengawasi tumbuh-kembang anak-anak saya.
Itu hal pertama yang sangat saya syukuri.
Hal yang lain adalah, dulu ibu tidak pernah membiarkan saya terlelap pagi-pagi. Jikalau saya tidur setelah shalat subuh, beliau masuk kamar saya demi ‘membongkar’ saya dari peraduan kemudian memberikan sederet job description. Bagi beliau, tak pantas anak gadis tidur pagi-pagi. Awalnya, saya kesal namun lama-kelamaan saya merasa berdosa jika tidur pagi-pagi, kecuali kalau saat itu saya mengalami kelelahan yang luar biasa. Tetapi kalau hanya sekedar terkantuk-kantuk, saya memaksa diri untuk bangun. Syukurlah, karena keseringan ‘didoktrin’ oleh ibu, akhirnya masuk juga di alam bawah sadar saya bahwa suatu hal yang tabu jika ada anak gadis masih suka tidur pagi-pagi, apalagi sampai siang hari kala matahari meninggi di atas kepala.
Berkahnya adalah, setelah menikah dan suatu saat harus menginap di rumah mertua. Saya sangat sungkan jika di atas pukul 6 pagi masih terlelap. Mertua saya biasanya tak tidur lagi setelah shalat subuh, beliau akan sibuk dengan rutinitas harian. Sungguh segan saya bersantai-santai, hanya menunggu suguhan makanan dan teh dari beliau. Menantu macam apa saya jika berani melakukannya? Maka saya berusaha membantu beliau, sesuai kemampuan saya, di pagi hari, di siang, sore, dan malam hari sambil menemani beliau ngobrol (sekalian ‘pendekatan’ .. he .. he). Oya, karena dibiasakan mengerjakan pekerjaan rumah oleh ibu saya, saya merasa sungkan jika menginap di rumah orang, tidak melakukan apa-apa untuk membantu tuan rumah, apalagi jika tuan rumahnya tak memiliki asisten rumah tangga.
Setelah menikah pula baru saya mengerti, mengapa banyak orang tidak rela bermenantukan perempuan yang suka tidur pagi (apalagi) sampai siang. Mungkin karena sekarang saya sudah memiliki anak (2 orang lelaki dan seorang perempuan). Saya tentu tidak ingin istri anak-anak saya kelak tidak becus mengurus rumah tangga karena punya hobi tidur di kala cuaca terang. Atau saya bakal malu kalau anak perempuan saya yang tidak becus (hmm ... sebenarnya ini berlaku juga bagi anak lelaki ya, bukan hanya anak perempuan karena mereka nanti yang bertugas sebagai pencari nafkah utama). Astaghfirullah. Bukan tugas yang mudah bagi saya sebagai seorang ibu.
Terima kasih ibu, karena telah menempa saya selama gadis sehingga membuat saya menyadari hal-hal yang ternyata tak disadari oleh semua anak gadis. Ya Allah, tolonglah beri saya kekuatan dan kemampuan dalam membentuk anak-anak saya supaya menjadi generasi penerus yang berkarakter. Hingga tidak menyusahkan siapa pun, bahkan mampu melakukan banyak hal baik untuk banyak orang. Jadikan pula saya sebagai orang yang mampu berbuat, bukan hanya mampu menulis atau bicara.
Makassar, 6 September 2011
Share :
0 Response to "Tempaan Ibu yang Menggurat di Diriku"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^