Pagi hari itu, sepulang dari mengantar Athifah, saya bertegur sapa dengan tetangga depan rumah – ibu Hj. Timang. Haji Timang (dalam dialek Makassar/Bugis, gelar ‘haji’ baik bagi perempuan maupun laki-laki disebut sebelum namanya dengan ‘haji’, bukan ‘hajah’, biasa juga disebut ‘aji’). Mulanya saya hendak bertegur sapa sekedarnya saja mengingat saya masih harus masak. Tetapi seorang ibu yang sedang mengobrol dengannya memanggil saya, “Dipanggil ki’ “ (maksudnya, saya dipanggil oleh H. Timang).
Saya pun bergabung dengan mereka lalu mengalirlah pembicaraan seputar Amir – anak semata wayang Hj. Timang. Hj. Timang bercerita bahwa sehari sebelumnya, suami saya mengajak Amir menghadiri sebuah acara – semacam pelatihan yang diadakan di sebuah hotel yang terletak di jalan Jendral Sudirman. Mengetahui Amir telah mengucap, “Insya Allah,” kepada suami saya, Hj. Timang mendesak Amir untuk memenuhi janjinya.
Rupanya Amir tak tahu jalan. Pemuda yang baru tamat SMA yang tergolong anak rumahan ini akhirnya mengaku kepada ibunya setelah didesak oleh Hj. Timang yang menyuruhnya mencukur rambutnya dahulu sebelum pergi. Mengetahui hal itu, Hj. Timang tak tinggal diam, ia hendak bertanya di mana tepatnya letak hotel itu kepada suami saya namun urung karena dilarang anaknya.
Ia juga hendak membayarkan Amir becak supaya Amir bisa tiba di tujuan tetapi sang anak menolak. Ia bahkan menawarkan hendak mengantarkan Amir (dengan becak) supaya sang anak menepati janjinya kepada suami saya. Amir tetap menolak. Hj. Timang akhirnya menyerah. Ia berkata kepada saya, “Amir pemalu sekali. Ia memang tidak tahu jalan-jalan di kota ini karena sangat jarang keluar rumah. Kalau Saya membelikannya baju baru, tak mau dipakainya, ia tetap memakai baju tuanya. Begitu pun HP, ia tak mau memakai HP. Ia sangat suka bermain dengan anak-anak. Ia bahkan sangat menyukai anak-anak seperti itu,” ucap Hj. Timang seraya menunjuk Afyad – bungsu saya berusia dua tahun yang berada dalam gendongan saya.
Haji Timang terus bercerita tentang Amir. Dari kata-katanya tersirat kekalutannya akan masa depan Amir yang kurang bergaul itu. Bisa dipahami, kalau seseorang terlalu pasif, bagaimana ia bisa maju? Hingga sekarang pun ijazah SMA belum juga diurusnya, padahal sekolahnya sangat dekat, hanya di lorong (gang) sebelah. Kalau tiba-tiba ada lowongan pekerjaan yang mencari tamatan SMA, bagaimana ia bisa segera bersaing dengan mereka yang sudah punya ijazah di tangan?
Saya berkata, “Wah, kalau anak terlalu bergaul susah. Kalau kurang bergaul juga susah ya?” Ibu yang berdiri di sebelah saya menimpali, “Iya. Kalau anak terlalu bergaul tosseng, nakal ki,” maksudnya ‘anak yang terlalu bergaul bisa jadi nakal’. Hj. Timang berucap, “Iya. Saya syukuri Amir yang tak macam-macam. Tapi kalau sikapnya begini, bagaimana? Kalau Saya banyak bertanya, ia marah. Katanya ‘Sembarangnya mo Mama’. Masak saya dikatakan omong sembarang? Padahal kan bagaimana Saya bisa tahu apa maunya kalau ia tak bicara? Tentu saya harus menanyakannya. Tapi kalau ditanya, ia marah.”
Pembicaraan kami putus saat ada orang yang hendak membeli sesuatu di warung Hj. Timang. Saya pun pamit pulang untuk melanjutkan pekerjaan di dapur. Hari ini ada wacana baru dalam benak saya, bahwa baik anak yang kurang pergaulan maupun yang ‘kelebihan’ pergaulan bakal sama-sama menyusahkan. Ini salah satu tugas orangtua, bagaimana membuat anaknya ‘cukup’ bergaul. Jangan sampai hal itu baru disadari saat usia anak sudah delapan belas tahun, di saat ia sudah mulai mantap dan nyaman dengan karakter ‘kurang bergaul’-nya atau ‘kelebihan bergaul’-nya.
Berkaitan dengan hal ini, ingatan saya melayang pada tulisan dalam sebuah buku:
Tujuan pendidikan seharusnya mempersiapkan individu agar cakap hidup pada zamannya, mampu menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah. Proses pendidikan harus dapat membentuk manusia untuh berwawasan holistik, yang seluruh potensinya berkembang secara optimal (whole person). Manusia seperti ini adalah pembelajar sejati yang selalu sadar bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas (the person within a whole). Dia selalu ingin memberikan kontribusi positif (added value atau beramal saleh) kepada lingkungannya, baik itu sosial, ekonomi, budaya, maupun alam[i].
Pendidikan holistik dimaksudkan agar orang berkembang secara menyeluruh, baik dari aspek kognitif, motorik, emosional, maupun spiritual. Dampak yang akan muncul apabila anak tidak mendapatkan pendidikan holistik adalah anak ‘pintar’ (secara intelektual/akademik, sebagai produk sistem pendidikan kita) tapi kecerdasan emosinya tidak ada (sementara kecerdasan emosi lebih menentukan keberhasilan seseorang dalam bermasyarakat). Tetapi itu kalau anak jadi pintar, lha kalau anaknya tidak pintar-pintar juga, nilainya jeblok semua plus kecerdasan emosinya tidak ada, bagaimana?
Ini PR maha besar buat saya yang memiliki tiga orang anak. Belum terlambat tentunya mengarahakan anak-anak sejak sekarang. Mudah-mudahan Allah membantu dan meridhai. Apa yang akan saya katakan kepada Allah di mahkamah-Nya kelak jika saya berpulang dalam keadaan anak-anak saya ‘tak pintar secara akademik’ plus ‘tak cerdas emosi’ pula?
Makassar, 16 Oktober 2011
[i] DR. Ratna Megawangi, “Character Parenting Space – Menjadi Orangtua Cerdas untuk Membangun Karakter Anak”, Mizan Media Utama, 2007.
Share :
aneh juga si Amir itu, kalau dilingkungan saya gak ada yg begituan bu tapi kalau kebanyakan bergaul banyak nih,, hehee
ReplyDeleteoke deh bu mudah2an anak2 ibu tumbuh yang dapat bahagiakan dunia, amin..!