Sumber gambar: http://dhanaptc.com |
Awal mulai akrab dengan internet adalah memanfaatkan fasilitas e-mail dan browsing berbagai informasi yang menarik hati dan benak. Dua tahun setelah lulus kuliah, saya menikah. Saat itu terasa benar manfaat internet bagi saya yang harus hidup merantau mengikuti suami yang bekerja di pulau lain.
Komunikasi saya dan teman-teman lama lancar berkat internet. Waktu itu telepon genggam masih merupakan barang yang sangat mewah, masih sedikit orang yang memilikinya sementara biaya pulsa interlokal telepon rumah sangat mahal. Milis (mailing list) dan e-mail adalah dua media yang sangat membantu komunikasi kami.
Saat saya terlibat dalam pembentukan sebuah kelompok bermain (pre school), internet sangat membantu saya untuk menemukan bahan-bahan ajar yang pas untuk murid-murid cilik di kelompok bermain itu. Bukan hanya mengenai mainan anak-anak dan metode mengajar, saya juga bisa mendapatkan segala macam teori/artikel tentang parenting. Ilmu itu tentunya juga sangat berguna bagi rumahtangga saya yang masih seumur jagung – sebagai bekal saat dikaruniai anak.
Selain itu, saya juga senang browsing informasi mengenai hubungan suami-istri, baik secara umum maupun yang sesuai dengan nila-nilai Islam. Informasi demikian sangat penting bagi saya karena banyak membantu saya untuk memahami dan menerapkan hakikat pernikahan yang sesungguhnya.
Setelah melahirkan anak pertama, saya dan suami kembali ke kota asal. Di sini kami tak punya akses internet sendiri namun itu tak bisa memisahkan internet dari kami. Sesekali saya ditemani suami pergi ke warnet untuk sekadar membuka e-mail, milis, browsing, atau untuk mengisi blog.
Kelahiran anak kedua lalu yang ketiga plus tiadanya asisten rumahtangga membuat saya semakin jarang ke warnet. Akun e-mail saya malah sampai hampir dibajak orang yang dengan teganya menghubungkannya dengan akun fesbuknya. Teganya lagi orang tersebut memakai nama fesbuk dengan nama depan yang sama dengan nama saya : ‘Mugni’, hanya saja dia laki-laki, saya perempuan. Syukurnya, suami dan adik saya yang sama-sama orang IT bisa memulihkan kembali kepemilikan saya terhadap akun e-mail itu.
Akhirnya selama berbulan-bulan saya tak pernah ke warnet. Saya terpaksa mengubur dalam-dalam kerinduan saya pada dunia maya karena dunia nyata sangat menyita waktu saya.
Akhir tahun 2010, suami saya membuatkan saya blog baru http://mugniarm.blogspot.com dan membantu memindahkan isi blog lama ke situ. Dengan modem pinjaman, saya mulai mengisi blog tersebut. Suami saya ini hidupnya tak bisa lepas dari internet. Ia membutuhkan internet untuk keperluan pekerjaannya dan untuk mengeksplorasi hobinya. Ia sangat suka mengumpulkan e-book dan mencari informasi tentang penemuan-penemuan di bidang antropologi.
Alhamdulillah, awal tahun 2011 kami memiliki akses internet sendiri. Semangat ngeblog saya berkobar. Saya juga menambah keikutsertaan pada beberapa milis untuk mengasah kemampuan menulis saya. Sebuah informasi lomba menulis saya pelajari baik-baik. Ternyata ada keharusan memiliki akun fesbuk dalam informasi itu. Saya kemudian mencoba membuka akun fesbuk.
Seorang kawan lama secara bergurau menertawakan saya. Ia berkata, “Niar, fesbuk sudah mau tutup, Kamu baru daftar.” Saya balas dengan santai, “Wah, itu kan hanya rumor.” Saya tak tersinggung dengan gurauan kawan saya tadi. Saya memang fesbuker kesiangan. Orang-orang lain sudah bertahun-tahun berinteraksi dalam media sosial ini, saya baru buka akun. Kawan-kawan lama saya sudah banyak yang mencari-cari saya di dunia maya melalui fesbuk tetapi mereka tak menemukan saya. Baru kali ini saya ‘menyembulkan diri’.
Akhirnya saya tercebur ke dalam dunia blogging dan menulis, bergabung dengan cukup banyak grup menulis dan komunitas blogger, dan berteman dengan banyak penulis dan blogger. Saya membedakan penulis dengan blogger di sini karena banyak penulis yang serius dengan dunia menulis dengan memperhatikan kaidah-kaidah sastra dan serius menulis untuk menerbitkan buku, baik antologi (kumpulan tulisan) maupun buku solo. Sementara blogger menulis dengan lebih santai, mereka lebih eksis ngeblog, berimprovisasi dengan tampilan blognya hingga serius mempelajari SEO, dan tidak begitu memikirkan menerbitkan buku.
Jadilah sehari-harinya saya ‘harus’ melongok internet. Alhamdulillah sudah terbit tiga buah buku antologi yang menyertakan tulisan saya. Ketiga buku itu dihasilkan dari lomba-lomba di fesbuk. Pengumumannya banyak yang diperoleh via fesbuk, biasanya ada syarat membuat note dan menge-tag sejumlah orang termasuk penyelenggara untuk menyebarluaskan info tersebut lalu naskah dikirim via e-mail. Selain itu masih ada beberapa calon buku antologi lagi yang menyertakan tulisan saya. Blog saya pun menjadi media promosi buku-buku saya. Selain itu saya memenangkan sebuah lomba yang hadiahnya: sebagian tulisan di blog saya akan dibukukan. Hari-hari saya semakin berwarna dan menyenangkan.
Saya benar-benar jatuh cinta dengan dunia menulis dan blogging hingga saya berani berkata, “Jangan pisahkan Saya dengan dunia ini, itu akan membuat Saya mati merana.” Maka tidak berlebihan kiranya jika saya mengatakan internet adalah kebutuhan sekunder saya. Setelah sandang, pangan, dan papan, tak ada lagi yang lebih penting selain internet!
Bukan hanya saya dan suami yang membutuhkan internet. Sulung saya pun demikian. Bocah laki-laki sepuluh tahun ini mulai menyukai ngeblog. Tanpa kami ketahui ia sudah membuat sendiri blog pribadinya di http://fiqsalabim.blogspot.com. Ia mengisi blognya dengan tulisan-tulisan yang dibuatnya dengan Word dan gambar-gambar yang dibuatnya dengan Paint.
Sesekali saya membolehkannya mengakses internet untuk ngeblog, hanya saja biasanya itu tidak bertahan lama. Namanya juga anak-anak, hanya beberapa menit ngeblog ia lebih tertarik bermain game dan perhatiannya pun beralih. Untuk memotivasinya, saya memberikan link dari blog saya ke blognya. Yah, mudah-mudahan suatu saat nanti ia akan lebih menyeriusi blognya.
Kalau mengenai game komputer, siapa pun yang mengenalnya bisa saja menjadi gandrung. Tak terkecuali Affiq, anak kedua saya – perempuan usia lima tahun, juga senang memainkan game komputer. Komputer kami sekarang ini setiap hari pasti bekerja, dipakai oleh salah seorang di antara kami berempat atau keempat-empatnya memakainya secara bergantian. Bahkan anak ketiga saya yang baru berusia dua tahun mulai mencari-cari kesempatan mengetuk-ngetukkan jarinya di keyboard, sekedar untuk melihat perubahan tampilan di layar. Kalau saja komputer ini bisa berbicara, tentu ia sudah mengeluh. Tak hentinya keyboard-nya diketuk-ketuk jemari kami, pun tak henti-hentinya hardisk dan memorinya bekerja keras memenuhi tuntutan kami.
Anak-anak kami bisa dibilang anak-anak era digital. Begitu banyak tantangan menarik yang mereka ingin penuhi dari komputer dan internet. Studi si sulung saja memerlukan internet, tugas-tugas sekolah seringkali harus kami cari di internet bahannya lalu dibuat dalam file Word kemudian di-print.
Adalah sebuah beban di pundak kami kini untuk lebih mewaspadai keterlibatan mereka dengan komputer dan internet. Komputer dan internet bagai memiliki dua mata pedang, bisa mendatangkan manfaat dan bisa mendatangkan mudharat. Salah satu bentuk kewaspaan kami adalah dengan tidak mengizinkan si sulung memiliki akun fesbuk. Mungkin ia melihat saya atau papanya seperti bermain-main saja menggunakan fesbuk sehingga mengundang minatnya untuk memiliki akun sendiri. Ia sampai merengek-rengek berkali-kali kepada kami.
Alasan pertama kami tak mengizinkannya adalah, ia belum cukup umur untuk mengakses fesbuk. Walau banyak orangtua membuatkan anaknya akun fesbuk dengan mencuri umur, kami berharap tidak melakukan hal yang sama karena itu merupakan salah satu bentuk kecurangan. Selain itu, pada dasarnya ia tidak memiliki urgensi untuk mengakses fesbuk. Temannya hanya ada satu orang yang punya akun fesbuk, sudah begitu temannya itu mengisi wall-nya (atau mengizinkan orang lain memakai wall-nya) dengan kata-kata tak berguna lagi asal ceplos. Mau apa dia pakai fesbuk?
Sudah begitu fesbuk seperti halnya dunia internet, memiliki sisi-sisi kelam di mana mendekam komunitas orang bermoral rusak. Sudah menjadi rahasia umum, selain OL shop barang-barang halal, fesbuk juga menjadi tempat OL shop bagi ‘barang-barang haram’. Sesekali saat sedang mencari orang, saya menemukan akun/laman/grup yang mengacu ke bisnis haram itu.
Begitulah kisah saya, mengapa hingga internet menjadi kebutuhan sekunder saya. Urgensinya saat ini menjadi sedemikian besar bagi saya. Begitu pun bagi keluarga saya. Namun saya harus mewaspadai kemungkinan dampak buruknya bagi anak saya yang sudah mengetahui cara menggunakan internet. Semoga dampak buruk itu tak pernah hinggap di jemari dan benak anak-anak saya.
Makassar, 4 November 2011
Tulisan ini diikutkan Kompetisi Blog 'Living Digital' bibli.com
Share :
wah iya, internet memang sudah jadi kebutuhan sekunder bagi kita ^^
ReplyDeleteTapi memang butuh pengawasan yang sedikit ketat untuk pemakain internet bagi anak, walaupun sudah dipasang blokir content2 negatif, peran orang tua tetap penting untuk memberi masukan positif tentang internet.
Iya betul miss 'U ... rasanya gimana gitu ya kalo tdk nge-net seharian :). Iya ... begitulah jadi orangtua :)
ReplyDeleteinternet adalah jendela dunia
ReplyDeleteIya ya .. bukan hanya buku saja jendela dunia, internet juga :D
Delete