Pernikahan
antara dua orang berbeda suku sering kali menimbulkan konflik. Jika ada
pasangan yang bisa melalui tahun demi tahun pernikahannya tanpa konflik,
berarti mereka benar-benar matang saat memasuki dunia pernikahan.
Saya
sudah beberapa kali menyaksikan, pandangan miring pasangan atau keluarganya
terhadap pasangannya yang berbeda suku ketika ada masalah timbul. Maka yang
dikambinghitamkan adalah suku “lawan”-nya (bukan pasangan kan namanya kalau sedang berseteru?). Ditandai dengan lontaran
bernada sinis, “Oh, begitu rupanya ya kalo orang suku A!”
Aih aih
... sama sekali tak dewasa. Coba bayangkan kalau terjadi hal serupa itu di sisi
“lawan”, apa dirinya tak mempermalukan semua orang dalam sukunya?
Bagi
saya, mengamati dua suku berbeda sangat menarik lho. Saya, mengamatinya pada kedua orangtua saya. Ayah saya orang
Bugis asli. Sementara ibu saya orang Gorontalo asli. Bahasanya tentu saja jauh
berbeda. Padahal kalau dirunut-runut, konon orang Gorontalo itu berasal dari
Bugis.
“Moko pi mana?” (Kamu mau ke mana?)
“Mo ka’ pi makang.” (Saya mau pergi makan)
Nah
“makan” yang berubah menjadi “makang” itulah yang disebut okkots alias kelebihan vitamin G. Ada juga okkots yang kekurangan vitamin G, misalnya “kampung” berubah
menjadi “kampun”. Ada perubahan dalam pengucapan karena lidah yang
sehari-harinya berbahasa Makassar harus berbahasa Indonesia.
Ada
pula contoh “kagok” dalam berbahasa Indonesia seperti dalam kalimat ini: “Maaf,
saya tidak bisa ke rumahmu. Saya nda
liat rumahmu.” Frase “nda liat” bukan berarti “tak melihat”, maksudnya
adalah “tak tahu”. Ini karena dalam bahasa Bugis, pembahasaan yang tepat dalam
menyatakan “tak tahu alamat” adalah “tak melihat rumah”.
Lidah
orang Bugis dan Makassar sangat mirip dalam hal ini. Oya, buat yang belum tahu,
Bugis dan Makassar itu dua suku berbeda. Mereka bersaudara, memiliki kemiripan
tetapi bahasanya berbeda.
Lidah
orang Gorontalo pun sering kagok dalam berbahasa Indonesia. Misalnya saja dalam
percakapan:
“Nae apa ngoni ka mari?” (Naik apa kalian
ke sini?)
“Bajalan kamari kaki” (Berjalan kaki)
“Bajalan kamari kaki” kalau dipikir-pikir
dalam bahasa Indonesia jadinya lucu. Bisa jadi artinya "Berjalan ke sini kaki". Mengucapkan ini membuat kita membayangkan
ada kaki jalan-jalan tanpa anggota tubuh lain, hanya kaki.
Atau
saat ibu saya hendak mengambil kue di dalam toples dan kesulitan memasukkan
tangannya, ia mengatakan, “Tidak boleh
masuk tangan.” Yang digunakan adalah frase “tidak boleh” padahal tidak ada yang
melarang, maksud sebenarnya adalah “tidak bisa”.
Contoh
lain, lidah orang Gorontalo bisa menyebut huruf E menjadi O. Misalnya kalimat
“kentara di kening” diucapkan menjadi “kontara
di koning”.
Hei,
jangan ngakak membaca ini ya, tak
sopan. Saya menulis ini tidak bermaksud menertawai suku-suku ayah-ibu saya.
Saya justru sedang menuliskan kekayaan bangsa ini, saya sedang berbangga diri!
Kalau mau jujur, semua suku di negeri ini memiliki okkots dan kekagokannyanya masing-masing dalam berbahasa Indonesia.
Saya pun pernah mendengarnya pada suku lain. Dan sekali lagi, menurut saya ini
bukanlah cacat atau cela, tetapi merupakan kekayaan bangsa kita!
Makanya
saya heran kalau ada orang yang merasa malu menjadi orang Bugis karena okkots-nya sampai-sampai rela berlogat daerah
lain misalnya karena menganggapnya lebih keren. Ada pula orang yang merasa malu
karena merasa dialeknya kasar. Heran saya ...
aaa
Ayah
saya pernah bercerita sebuah kisah masa sekolahnya. Ia menemukan sebuah mistar.
Mengira mistar itu milik kawannya yang berasal dari Manado, ia bertanya kepada
sang kawan, “Ini kita’ punya belebas?”
Kawannya
menjawab, “Bukan. Ini kita pe belebas.”
“Bukan.
Ini kita’
punya.”
“Bukan.
Ini kita
pe belebas!”
“Bukan,
kita’
!”
“Bukan,
kita!”
Bingung?
Baiklah,
saya jelaskan.
Saat
ayah saya bertanya, “Ini kita’ punya belebas?” Itu artinya,
“Ini anda punya belebas?” Dalam
dialek Bugis/Makassar, kata ganti orang kedua yang sopan adalah “kita’
” à kita’ = anda.
Sementara
dalam dialek Manado (juga Gorontalo) kita itu
kata ganti orang pertama tunggal. Jadi, kita = saya.
Ayah
mengira kawannya mengatakan mistar itu milik ayah padahal bukan, ia hanya
menemukannya. Sementara kawannya mengira ayah saya mengakui mistar itu sebagai miliknya.
Kesalahpahaman pun terjadi.
Maka,
percakapan di atas bisa tak berujung atau berujung pada perseteruan jika tak
ada di antara mereka yang menyadari perbedaan dialek itu. J
aaa
Indonesia
kaya sekali, bukan? Kekayaan itu hal yang membanggakan, bukan?
Tak
eloklah merasa malu untuk hal-hal yang tak pantas membuat kita malu. Itu
keterlaluan dan berlebihan. Keunikan suku kita itu kekayaan, kekayaan itu tak
memalukan. Yang seharusnya menerbitkan rasa malu justru kalau meniru identitas
suku atau bahkan negara lain dan memakainya serta mengakuinya milik kita.
So,
mari pelihara rasa bangga menjadi bagian dari suku kita dalam negeri yang kaya
ini, dibarengi dengan penghargaan terhadap suku lain karena tak ada suku yang
lebih baik daripada suku lain. Keterlaluan piciknya kalau di zaman sekarang
masih ada orang yang merasa sukunya paling baik sedunia. Rasa bangga itu
sah-sah saja, asal tak kebablasan. Bukan begitu?
Makassar, 4 Juni 2012
Tulisan ini diikutkan lomba blog Paling Indonesia yang diselenggarakan oleh komunitas blogger Anging Mammiri bekerja sama dengan Telkomsel Area Sulampapua (Sulawesi - Maluku - Papua)
Silakan juga dibaca
yang lain ya ...
Share :
Nah, kalau mbak NIar...logatnya cenderung kemana neh? Gorontalo? Bugis? Atau combine?
ReplyDeleteKalau saya jowo...bahkan bahasa Indonesia saja aksen'nya jowo..hehehe #gakadayangnanyak!
Mirip mbak, saya bahasa Indonesia tapi logat/dialek Makassar :D
Deletesebetulnya kalo erbedaan itu bisa di manage dengan baik malah jadi asik ya.. Yg sering terjadi kan blm apa2 kita suka menolak perbedaan, jd akhirnya benturan terus.. :)
ReplyDeleteIya mbak. Dan terutama itu, faktor egoisme :)
DeleteWah lucu juga ya kalau berbeda bahasa. Tapi tulisan dan pengucapan sama. Tapi maksudnya berbeda, bisa berantem itu orang.
ReplyDeleteKayak "sampeyan" dalam bahasa jawa itu artinya kamu. Sedangkan "sampeyan" dalam bahasa sunda itu kaki.
Unik ya ... di mana-mana ada saja hal2 yang bisa bikin salah kaprah :)
DeleteHahaaa...lucuuuu membaca ini.
ReplyDeleteSungguh unik kisah orang-orang karena perbedaan bahasa dan logat.
Semoga menang ya mbak :)
Iya betul mbak :)
DeleteTerimakasih :)
Itu tawwa ustadz maulana walopun sdh jd populer, kadang msh kentara dialek mkssrx :D
ReplyDeleteblognya dila :
ayaristory.blogspot.com
Iya ... keren menurutku itu ustadz ^__^
DeleteMkasih yaaa
Tak eloklah merasa malu untuk hal-hal yang tak pantas membuat kita malu<--sepakat dgn kata2 ini karena itulah sudah karakter tiap2 suku ,,
ReplyDeleteBetul mas Kahfi. Terimakasih ^^
Deleteeh cepatta postingki ini lomba. beh saya baru mikir2. hebat ui.
ReplyDeletekak niar, mamaku dan bapaku juga beda suku hehehehe..tapi suku banjar dan bugis-makassar. jauuuhh jadinya okkotsnya banyak hehehe.. tapi seru dengar dua bahasa tiap harinya
Banyak roamingnya di' Hima? :)
Deleteindonesia memang kaya banget mbak, itu baru dua suku, gimana suku yang laiiin
ReplyDeletejujur sempet senyum² baca tulisan ini mbak, mau dong d ajarin bahasa dsana
:D
Yuks belajar ... mau privat ? :D
Deletedatangka lagiii...
ReplyDeletekak niar untung qta bilang, ternyata selama ini profilku terkunci >,<"
makasih ya ^^v
Halo Dhila .... iye ... dulu pernah mi saya bilang juga toh kalo nda bisa akses hehehe
Deletesaya jadi inget waktu masih tinggal di pekan baru mbak, jadi kata orang pekanbaru "kerupuk itu harus di masukkin ke toples agar tak masuk angin"....awalnya saya heran, kerupuk kok bisa masuk angin, bukankah masuk angin itu biasanya menyerang manusia saja. ternyata maksud dari masuk angin nya orang pekanbaru nggak sama dengan masuk angin nya orang jawa seperti saya mbak...hehe...
ReplyDeletetapi, itulah kekayaan bangsa kita ya mbak, masing2 daeraha punya keunikan sendiri2 ya.
Yang bikin saya sempat bingung dulu waktu masih di Pekanbaru istilah "Gosok" mbak, rupanya itu maksudnya "menyeterika", ternyata di lingkungan saya yang juga banyak orang Jawanya, istilah itu sering dipakai. Sementara saya membayangkan gosok itu ya pakai sikat.
DeleteTrus istilah "Honda", rupanya itu umum untuk semua jenis motor, bukan hanya merek itu saja ^__^
Tapi justru itulah kayanya Indonesia ya mbak
jadi pingin dengar mbak Niar ngomong deh :) aku & suami juga dari suku yg berbeda mbak. waktu itu aku pernah dengar adik iparku bilang kesel, aku pikir kesel sama dengan sebel atau marah ternyata artinya capek :)
ReplyDeleteJadi ingat sepupu saya mbak. Om saya menikah dgn org Jawa Timur, sy bingung juga awalnya koq "pegal" dia bilang "Kesel" :D
DeleteAku jadi membayangkan Bugis - Makassar itu kayak Way Kanan (Lampung) dengan Kombering (Sumatera Selatan) ya, beda suku tapi mirip bahasa dan logatnya :)
ReplyDeleteKalo Bugis dan Makassar, kemiripan bahasanya hanya sedikit sekali mbak. Orang Bugis dan Makassar, tak tahu bahasa suku yang lainnya kalo tidak betul2 belajar. Salah satu kemiripan ya dalam kekagokannya itu.
Deletebahasa memang unik
ReplyDeletekalo kurang bagus menyikapinya bisa jadi berantem
seperti teman baru disini orang bandung sama orang banjarmasin gara gara kata bujur
bujur dalam bahasa banjar artinya betul
kalo dalam bahasa sunda artinya pantat...
Iya ya kalo artinya sejauh itu bisa berantem :D
Deletejadi nda liat itu tak tahu ya... hmmm...., asyik bila mengetahui hal2 kayak gini ya....
ReplyDeleteTidak selallu juga begitu artinya mas :) hanya dalam konteks mencari alamat saja
Deleteunik ya kak niar, owh ternyata beda ya bugis sama makassar, nice info baru tau dari postingan kak niar ini.
ReplyDeleteIya Tia, beda ... masih ada suku2 lain seperti Toraja dan Mandar. Mandar malah sudah provinsi sendiri: Sul Bar :)
DeleteHemmm... singkat aja ya mbak komen saya "Bhinneka Tunggal Ika"
ReplyDeleteSaya bangga jadi orang Indonesia. Semoga menang ya mbak kontesnya :)
Setuju. Makasih yaa
DeleteSaya bangga jadi orang surabaya. :D
ReplyDeleteHarus begitu Sop :)
DeleteSaya ketawa2 bacanya mba. Saya dan suami jg beda suku, tp untung aja sy prnh tinggal di jawa jadi ngga roaming bgt.
ReplyDeleteSemoga menang mba :)
Iya ya kalo yang prnh tinggal di Jawa trus dpt org Jawa, malah jadi jago boso Jowo ya :)
DeleteSy juga pny teman, orang SUmatera, suaminya org Jawa tp fasihnya bhs Jawa. Awalnya saya kira dia orang Jawa ternyata bukan :)
hilang mi logatku bu :D
ReplyDeletekarna di sini temanku kebanyakan org jakarta, jawa dan kalimatan, sekalinya ngomong sama teman2 di mks di telpon kadang lidahku terpelintir sendiri, pake "nggak" tp logat mks, pake "tidak ji" tp logat ala jakarta (?)
pas selesai obrolan, langsung galau... manami logatku yg dulu? aneh ki kurasa yg sekarang (_ _")
Waduh ... aneh memang kalo begitu :D
Deleteooh baru tahu apa itu kagok. kalo saya pake dialek makassar tp keturunan jawa.
ReplyDeleteWkwkwkkwkwkwk... tulisanx menarik kak...
ReplyDeleteItulah indonesia, sangat kaya... dan saya bangga menjadi orang Indonesia
ULASAN YANG menarik nih.... kreatif. :D
ReplyDeletesesama peserta mampir dong ke
http://bahtiar52.mypressonline.com/2012/06/26/suara-dari-perut-cendrawasih-jangan-pandang-kami-seperti-itu/