Rasa
penasaran membawa saya ke fort Rotterdam pada Jum’at malam, 15 Juni 2012. Di
jadwal acara Makassar
International Writers Festival tertera: Special
Program: Sibilangngang Parseng! Makassar Writers in Action. Apakah itu?
Lapangan
rumput tempat panggung pertunjukan nampak eksotik dengan nyala obor-obor. Para
penonton duduk di sepanjang pembatas lapangan rumput atau “merumput”. Ah,
bukan lapangan rumput sebenarnya, lebih tepatnya disebut taman karena tertata
rapi dengan aneka tanaman.
Rupanya
malam itu ada pertunjukan seni berupa pembacaan puisi oleh penyair-penyair asal
Sulawesi Selatan. Karena datang terlambat, saya hanya menyaksikan pak Mochtar
Pabottingi, Nurul Nisa, dan Sinta Febriani. Jujur, sebenarnya secara keilmuan
saya tak memahami sastra tetapi puisi mereka terasa indah. Pilihan kata-katanya
tak biasa. Mereka piawai membawa realita ke dalam puisi dengan menyertakan rasa. Pantas saja mereka yang dipilih sebagai penampil. Sastra itu memang
indah. Dan keindahan itu nyata terasa.
Pembacaan puisi |
Pertunjukan kolaborasi |
Book stall at night |
Setelah
itu ada kolaborasi yang apik antara dua pemusik dari Makassar dan dua penyanyi
dari Australia. Seorang perempuan berkerudung pemain biola dan seorang
laki-laki yang memainkan gitar juga vokalis bernama Ariel (maaf, saya
lupa nama sang violis itu), mereka mengiringi Yana dan Nina yang
awalnya saya pikir bule tulen yang fasih berbahasa Indonesia. Yana dan Nina rupanya blasteran: Australia –
Sulawesi Selatan.
Yang
paling mengesankan bagi saya adalah ketika seorang laki-laki tiba-tiba maju.
Yana dan Nina kelihatan terkejut, sepertinya itu tak ada dalam skenario acara
malam itu. Laki-laki itu melantunkan syair dalam bahasa Makassar, seperti sinrilik (seni bertutur dalam budaya
Makassar, biasa diiringi alat musik tradisional).
Tetapi kali ini tak ada instrumen musik tradisional yang mengiringinya. Semua mata terpana memandang lelaki itu yang mengumandangkan syairnya dengan lantang dan mantap. Tak ada suara kecuali suaranya. Rasanya keren sekali menyaksikan 3 bahasa dilantunkan di panggung itu: bahasa Indonesia, Inggris, dan Makassar.
Tetapi kali ini tak ada instrumen musik tradisional yang mengiringinya. Semua mata terpana memandang lelaki itu yang mengumandangkan syairnya dengan lantang dan mantap. Tak ada suara kecuali suaranya. Rasanya keren sekali menyaksikan 3 bahasa dilantunkan di panggung itu: bahasa Indonesia, Inggris, dan Makassar.
Kalau
dilihat dari kejauhan dalam kegelapan pula, sepertinya postur lelaki itu sangat
mirip dengan seseorang yang saya temui paginya. Apakah itu dia?
Para penonton kedengarannya sangat terhibur. Beberapa di antara mereka tak hanya bertepuk tangan dengan sangat keras, mereka bahkan bersorak-sorak gembira.
Rupanya
tiap malam ada pertunjukan di area ini. Mereka berempat sudah tampil malam sebelumnya
bahkan sudah berkolaborasi dengan Fadly – vokalis grup band PADI yang juga berasal
dari Makassar. Pertunjukan seperti ini berlangsung hingga malam penutupan pada
tanggal 17 Juni 2012.
Koridor yang lengang |
Pertunjukan seni |
Makassar, 18 Juni 2012
Silakan juga dibaca:
Share :
3 bahasa di lantunkan di suatu panggung pastinya sesuatu yang cukup unik ya mbak...jarang lho mbak ada pentas gabungan seperti itu.
ReplyDeleteIya mbak, pertunjukan yang mantap ...
Deleteih, kayak seru, coba bisa ikut :(
ReplyDeleteCuti maki' tahun depan, bulan Juni juga nanti acaranya :)
DeleteSastra memang indah. Apalagi dipadukan dalam pertunjukan seni. Meski nggak terlalu mengerti sastra dan puisi, ane menyukainya. Salah satu tulisan yang menarik bagiku, adalah tulisannya wiwi arianti. Mungkin kak mugniar juga mengenalnya. Bagus banget ya kata-katanya.
ReplyDeleteJadi pingin tahu karyanya Wiwi :)
Deletepembicaan puisinya tentu menggetarkan Mbak. Saya suka banget kalau denger puisi di bacakan..#tentunya puisiku blm layak dipanggungkan deh
ReplyDeleteMenggetarkan padahal saya gak mudheng lho :D
Deletejadi pengen lihat langsung mbak
ReplyDeleteKebayang ya mbak pertunjukannya? :D
Delete:) menarik mbak, acaranya :)
Delete