Saya mengenal Ningsih(bukan nama sebenarnya) dengan baik. Di usianya yang tak muda lagi, ia masih bergelut dengan pembangunan kepercayaan diri dan harga dirinya. Padahal orang-orang seusianya seharusnya sudah mapan dalam kepercayaan diri dan harga diri, bahkan aktualisasi diri mereka sedang di masa puncak.
Waktu
kecil sebenarnya prestasi Ningsih cukup bagus. Ia sering menyabet posisi juara
kelas. Paling apes ia dapat ranking 3,
itu pun hanya satu kali di kelas 1 SD. Selebihnya kalau bukan juara 1 ya juara
2.
Masih
terngiang dengan jelas setelah menerima rapor kenaikan kelas 1, saat dengan
bangganya ia memperlihatkan rapor bertuliskan “Ranking 3 naik ke kelas 2” kepada ibundanya, sang ibu malah
berkata, “Kenapa Cuma ranking tiga,
kenapa bukan ranking satu”. Keki
rasanya. Ia menjawab ujaran ibunya dengan berkata, “Ibu ini tak ada rasa
bersyukurnya!”
Namun
demikian ia selalu memelihara keinginan untuk membanggakan sang ibu dengan cara
belajar dengan giat.
Dibanding
adik perempuannya, fisik Ningsih lebih lemah. Diperkuat dengan pernyataan
ibundanya yang berulang kali kepada siapa pun, makin tertanamlah hal itu di
dalam jiwa Ningsih. Ibunya suka sekali mengumumkan kepada orang-orang, “Ningsih
ini tak sama dengan adiknya, dia lemah. Adiknya itu kuat.”
Sumber: http://dailymail.co.uk |
Alhasil,
tak ada satu pun bidang olahraga yang dikuasainya. Ia selalu di belakang dalam
lomba lari padahal lomba lari adalah bidang yang selalu diujikan di SD-nya. Ia
tak pernah bisa menyervis bola voli hingga melewati net. Ia pun nyaris tak
pernah memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Ia sangat yakin, fisiknya
memang lemah.
Untungnya
otaknya tak lemah, ia bisa masuk SMP favorit, juga SMA, dan jurusan favorit di
perguruan tinggi favorit.
Sehari-harinya
jarang hal yang bisa dilakukannya dengan benar. Sang ibu selalu saja memberikan
kritik yang menjatuhkan mental. Menyapu bagaimana pun bersihnya selalu saja
dibilang, “Masih kotor. Sapu lagi!” Dan aneka ucapan lain yang menciutkan
nyalinya sekaligus menebas rasa percaya diri dan harga dirinya.
Sepertinya
puluhan kesalahan bisa ia lakukan dalam sehari padahal sejatinya itu bukan
kesalahan. Ucapan-ucapan seperti: “Kenapa (tidak) begini, kenapa tidak begitu”
atau “Harusnya (tidak) begini, harusnya tidak begitu” menjadi makanan
sehari-harinya bahkan hingga saat ini. Bukan hanya saat berdua saja, di depan
orang lain pun ia sering dijatuhkan. Membuatnya memelihara rasa malu dan minder
secara berlebihan.
Ia
senantiasa melihat orang lain lebih baik daripada dirinya. Padahal sebenarnya
ia pun memiliki potensi. Tetapi potensi itu sulit ia kembangkan karena ibunya
selalu membanding-bandingkannya, bukan hanya dengan adiknya, ia dibandingkan juga
dengan orang lain. Ibunya punya standar sendiri yang menilai semua orang lebih
baik daripada dirinya.
Ningsih
menyadari, ia harus terus berusaha membangun rasa percaya diri dan harga diri.
Namun sesekali ia lelah. Karena setiap kedua hal itu berhasil terbangun, sang
ibu membabatnya lagi tanpa ampun.
Walaupun
masih menyimpan rasa sayang kepada sang ibu, Ningsih merasa bersalah dan
prihatin karena ia tak punya rasa rindu buat ibunya. Ke mana pun ia pergi,
berapa lama pun itu, tak pernah ia merindu perempuan yang melahirkannya itu. Yang
muncul malah perasaan merdeka, seolah terbebas dari penjajahan.
Ningsih
sadar sebagai anak, ia wajib berbakti pada ibundanya bagaimana pun beliau
memperlakukannya. Sebab masing-masing orang akan mempertanggungjawabkan
perilakunya di dunia ini kelak kepada Sang Maha Pencipta. Termasuk ia dan
ibundanya.
รตรตรต
Tidak ada yang bisa menjamin seseorang akan memiliki persahabatan yang baik, kehidupan cinta kasih yang memuaskan, karier yang sukses, dan kehidupan keluarga yang bahagia. Akan tetapi dibesarkan dalam keluarga yang orangtuanya mencintai, memberi pengarahan, dan rasa hormat secara dramatis meningkatkan kemungkinan semua ini terjadi. Ini bukan masalah yang perlu diperdebatkan. Ini fakta yang telah terbukti kebenarannya.
Saya yakin anda mengenal orang yang dibesarkan oleh orangtua yang kasar, tanpa cinta kasih, atau acuh tak acuh, tetapi tetap saja menjadi orangtua yang hangat, sensitif, dan penuh cinta kasih. Saya hanya bisa mengatakan bahwa mereka adalah pengecualian yang beruntung dari aturan yang sudah baku. Jangan percayakan masa depan emosional anak anda pada nasib.
Tidak ada pekerjaan yang lebih penting dalam masyarakat daripada membesarkan anak, dan tidak ada yang lebih besar pengaruhnya terhadap cara anak berkembang daripada orangtuanya.
(Laurence Steinberg, Ph. D. – profesor psikologi dari Temple University)
Makassar, 18 Juni 2012
Artikel ini untuk menanggapi
artikel BlogCamp berjudul Ucapan Orangtua Yang MelemahkanSemangat Anak tanggal 18 Juni
2012
Silakan
juga dibaca:
Share :
salam sukses pak.. :)
ReplyDeletehmm.. saya belum menjadi orang tua soalnya.. :D
Terimakasih ... mmm btw, I'm a mother, not a "PAK" :D
Deleteoh maaf bu...
Deletexixixix..
*kepalanya nunduk sambil cekikikan.. :D
Hei ... cekikikan sementara tuan rumahnya ada?
DeleteTdk sopan .... hehehe
sama-sama belajar dalammendidik anak ya mbak, semoga sukses dengan jamborenya
ReplyDeleteIya mbak, seharusnya kita selalu belajar :)
DeleteSukses juga buat mbak Lidya
wah pembelajaran yang baik dari artikel diatas, sepertinya harus ada perimbangan dal mendidik anak ya mbak
ReplyDeleteada saatnya anak dikritik, tapi ada saatnya anak di beri apresiasi.
bagus sekali, bisa belajar dari sini..
Semoga sukses ya mbak Niar..
Salam hangat dari Surabaya. (ikut2an Pakdhe)
Iya mas Insan. Saya pun masih selalu harus belajar.
DeleteSalam hangat pakdhe itu cocok buat diterapkan, kan sama2 dari Surabaya :D
wajar kalau ningsih tidak rindu dengan ibunya, rasa sayang pun tercipta karena hubungan antara ibu dan anak selebihnya mungkin ia merasa hampa.. mudah2an suatu saat nanti si ibu menyadari bahwa ia telah menanamkan 'penyakit' dalam diri ningsih, dan penyakit itu bisa disembuhkan oleh sang ibu sendiri, walaupun traumanya akan berbekas
ReplyDeleteYup. NF sangat memahaminya. Aamiin.
DeleteSalah satu dari sekian banyak anak yang merasakannya adalah "aku sendiri"
ReplyDeleteHm, mudah2an jadi pembelajaran ke depannya saat sudah punya momongan ya Rahmah :)
DeletePerkataan orangtua adalah doa. Saya ingat nenekku kalo marah "Mogo2 bojomu sugeh" hehehehe... marahnya masih berisikan doa.
ReplyDeleteSemoga menang GA nya mbak :)
Maksudnya, mendo'akan supaya istrinya kaya, begitu? :D Nenek yang bijak ya. Aamiin, semoga terkabul :)
DeletePerkataan ortu selalu membekas.
ReplyDeleteBetul ...
DeleteIya terkadang ucapan orang tua menjadi sugesti buat kita... entah itu sugesti yg baik atau buruk dan itu mempengaruhi psikologi seorang anak
ReplyDeleteIya ya Nu. Karena mauu tidak mau, terima tidak terima. Orangtua itu "segalanya" bagi anak ...
Deletemenarik tulisannya...salam kenal slalu yaa...:)
ReplyDeleteSalam kenal juga. Terimakasih sudah berkunjung :)
Deletesemoga kita para ibu mau untuk belajar dan terus belajar agar bisa menjadi orang tua yang baik buat anak-anak kita ya mbak...
ReplyDeleteAamiin mbak. Iya, semoga kita selalu belajar ...
DeleteAcch Ningsih memang malang, tapi Ibunya jauh lebih malang.
ReplyDeleteSebuah perenungan yang cantik, gudlak di Jambore Pakde :)
Sepakat mbak. Lebih malang ibunya karena tak menyadarinya.
DeleteTerimakasih yaa
Entah apa yg ada dlm pikiran ibunya ningsih ketika selalu berkata kata yg selalu memojokkan anaknya... Karena sampai sekarang sy masih yakin kalo semua orangtua pasti menginginkan yg terbaik buat anaknya...
ReplyDeleteIbunya menginginkan yang terbaik, tak jelas sebenarnya bagi siapa. Tapi dengan caranya sendiri
Deletembaaaak....
ReplyDeletebuat kontes ya....?
sukses ya mbaaaa....
seperti biasa tulisan mbak Niar TOP BGT
Iya, buat kontes pakdhe. Terimakasih, yaa sukses juga buat mbak Diana :)
Deletesemoga kita dijauhkan dari sikap-sikap yang demikian ya Niar...
ReplyDeleteHarusnya para orang tua menyadari bahwa setiap anak adalah istimewa, sehingga pemahaman ini akan membimbingnya untuk menggunakan cara yang tepat dalam mengasihi, membesarkan dan mengarahkan si anak.
Jahat bener tuh ibunya Ningsih! :D
sukses ya untuk jamborenya...
Yap. Seringkali sebagai ibu, kita terjebak dalam pola pikir kita kak Al. Mungkin itu penyebabnya :)
DeleteHarusnya Ibunya di ikuti kelas pembelajaran membentuk anak dgn kepribadian berkarakter hehehe
ReplyDeleteBagus tuh jalo ada. Tapi kelas untuk ibunya dulu yang harusnya diikuti :D
Deletesukses ya mbak buat kontesnya
ReplyDeleteTerimakasih mbak Ely :)
Deletemaksud seorang ibu seringkali baik.. Hanya saja banyak ibu2 yg blm tau caranya.. Akhirnya malah menghilangkan kepersayaan diri seorang anak.. Dari crt2 spt ini sebagai seorang ibu kita juga belajar semoga tdk berbuat spt itu :)
ReplyDeleteIya mbak, saya pribadi juga harus banyak belajar aplagi anak2 semakin besar ...
Deletesuatu sikap dari seorang ibu yang sangat disayangkan...sungguh kerinduan itu telah pupus oleh sikap sang ibu sendiri
ReplyDeleteBetul pak. Sangat disayangkan tapi sudah terjadi.
DeleteMeskipun nggak mengenal ningsih secara langsung, setidaknya ane tahu yang dirasakan. Paling nggak enak kalau dibanding-bandingkan.
ReplyDeleteYap. DIbanding2kan sama saudara sendiri saja tak enak apalagi dengan orang lain ya :)
DeleteIdih, jahat sekali ibunya. Gak habis pikir kok ada ya ibu kayak gitu.
ReplyDeleteMbak, bisa dibuat novel tuh mbak
Ada mbak. Ini kan kisah nyata :)
DeleteOya, bisa buat novel??