Letih
sekali saya di siang terik itu. Setelah berbagai rutinitas harian yang
melelahkan, saya memutuskan rebahan. Mencoba memejamkan mata sejenak, sekaligus
meluruskan punggung yang pegal. Pada anak-anak saya berpesan bahwa saya sedang
tak ingin diganggu.
Saat
kesadaran saya tinggal sepertiga.
“KRIIIIIIING”
Telepon
rumah berbunyi.
Dengan
kepala sedikit pening, sambil terseok-seok membawa kantuk saya memaksa kaki
melangkah supaya sang penelepon tak menunggu lama.
Rupanya
telepon untuk ibu.
Saya
pun berusaha rebahan kembali.
Saat
kesadaran turun dua pertiga.
“Assalamu
‘alaikum.”
Terdengar
salam seorang lelaki. Ia beramah-tamah dengan anak-anak.
Kemudian,
“Ada mama?” tanyanya.
Duh ...
pening dan ngantuk.
“Mama,
ada tamu,” kata Athifah.
“Siapa?”
tanya saya.
“Tidak
tahu.”
“Terbukakah
pintu?”
“Memang
tidak tertutup.”
Rupanya
ibu saya baru saja keluar dan pintu keluar sama sekali belum tertutup.
Saya
pun mengenakan jilbab dan melangkah terseok-seok ke luar kamar.
Pintu
besi masih tertutup, pintu kayu terbuka lebar.
sumber gambar: http://pemenangkehidupan.wordpress.com |
“Sudahlah,
bangun saja. Saya toh sudah harus
shalat ashar dan mengerjakan berbagai hal lagi,” saya membatin.
Dengan
jelas saya melihat seorang lelaki berwajah oriental sedang tersenyum ramah. Di
dekatnya ada seorang perempuan berkulit gelap berdiri. Dari penampilan mereka,
saya yakin mereka adalah sepasang tenaga sales.
Saya memaksa diri tersenyum.
Lelaki
itu menyodorkan sebuah kertas yang berisi gambar-gambar. Sepertinya ada
hubungannya dengan kesehatan. “Ibu, di sini ada yang sakit semisal asam urat,
kolesterol begitu? Kami ada alat terapi. Kalau berkenan, kami mau
mempraktekkannya. Kalau mau beli, nanti bisa beli di rumah sakit. Nanti akan
Kami kasih undangan seminar juga. Kalau boleh, Kami masuk dulu?” ungkapnya.
Saya
menjadi sangat pasif. Jujur, saya sudah sangat hafal apa yang dihendaki
orang-orang ini. Dan saya tak ingin waktu saya sore itu terganggu. Saya belum
shalat ashar dan berbagai pekerjaan rumah harus saya selesaikan. Belum lagi
rasa kantuk dan pening masih bertengger memenuhi kepala saya. Saya sedang
memikirkan kalimat penolakan.
Melihat
saya bengong saja kayak orang bego, lelaki itu berkata, “Barangkali ada yang
punya keluhan-keluhan di sini, Bu?” Orangtuanya barangkali?”
“Suami
saya,” jawab saya.
“Oh
suami ibu?”
“Iya
tapi lagi keluar dan sudah baikan.”
Suami
memang sedang keluar dan memang sempat memiliki keluhan penyakit.
“Orangtuanya?”
“Oh
iya, tapi lagi keluar.”
Saya
tak bohong. Ibu saya memang sedang keluar.
“Yang
tadi itu bapaknya?”
Haduh,
bego saya makin kelihatan. Rupanya tadi ia melihat ayah saya melintas di ruang
dalam.
“Oh
iya, itu bapak Saya.”
“Kalau
boleh, Kami masuk dan menunjukkan alat terapinya. Untuk sekarang belum dijual,”
lelaki itu masih berusaha.
Saya
mematung. Masih memikirkan hendak mengatakan apa.
Akhirnya,
mungkin capek menghadapi orang bego, lelaki itu menarik kembali kertas yang
dari tadi saya pelototi. Saya menjadi salah tingkah. “Oh, Saya kira kertasnya
buat Saya,” ujar saya.
“Tidak
Bu. Kalau Ibu mau dikasih undangan seminar baru boleh,” sahutnya. Senyum yang
sedari tadi mereka lebar, kini tinggal setengahnya. Kelihatan sekali ia memaksa
diri tersenyum. Nyata sekali ekspresi wajahnya sedikit berubah.
“Permisi,
Bu,” lelaki itu dan kawannya pamit. Masih berusaha ramah, mereka menegur bungsu
saya, “Hei adek.”
Saya
memandangi punggung mereka.
Jujur,
ada sedikit rasa bersalah tak memperkenankan mereka masuk. Tapi saya pun sedang
memiliki berbagai kepentingan. Saya tak ingin 30 – 45 menit saya di sore itu tersita untuk presentasi
alat kesehatan dan menghadapi usaha-usaha gigih mereka mempengaruhi saya dengan
kepala yang masih agak berdenyut dan kantuk juga rasa lelah yang masih saja nagkring di badan ini.
Saya
menutup pintu dan bergega shalat ashar dan menyelesaikan segala urusan
rumahtangga yang tak pernah ada habisnya.
Maafkan
telah menolak kunjungan kalian. Hak kalian berbenturan dengan hak saya.
Makassar, 10 Juli 2012
Silakan dibaca juga:
Share :
Hehehe di sini juga banyak sales-sales gitu...
ReplyDeleteNolak agak gak enak tapi kalau dia masuk, ntar lama ngomongnya toh kiita gak beli juga hehehe...
Iya Na, kasihan juga mereka kan sedang mencari sesuap nasi. Bagusnya 2 sales ini, selalu mencoba ramah, meski raut wajahnya rada berubah. Mudah2an mereka belajar mendatangi calon konsumen yang tepat di saat yang tepat. Contohnya di tulisan ini, mereka mendatangi calon konsumen yang tidak tepat di saat yang tidak tepat ^__^
Deletekalau saya juga akan menolak kunjungan bapak itu mbak, wong dirumah gak ada siapa2 masa menerima tamu laki2 ya :)
ReplyDeleteAku jg pernah kok menolak mereka... tuan rumah jg punya hak untuk gak berkenan menerima tamu kan...
ReplyDelete