Anak-anak ini diajar tampil untuk baca do'a. Sebuah program pendidikan usia dini di tempat sederhana |
Berikut kutipannya:
Jajak pendapat oleh
Berkley Center for Religion, Peace & World Affairs pada Universitas
Georgetown mendapati bahwa banyak
pemuda itu meninggalkan agama yang mereka anut sejak kecil, umumnya memilih
untuk tidak menganut agama tertentu. Sekitar seperempat malah tidak memeluk
agama apapun.
Masih
dalam artikel tersebut: Abigail Clauhs, mahasiswi jurusan agama pada
Universitas Boston pun mengamini hal ini sebagai gejala umum di kampusnya. Wuiiih seram ya.
Agama = Tidak Kacau
Saya
pribadi bersyukur, memiliki agama yang saya yakini tepat. Begitu banyak ombak
kehidupan yang bisa saya lalui meski dengan tertatih-tatih karena bekal agama
yang saya miliki. Beruntung saya tidak tercebur ke dalam ganasnya samudera
kehidupan dan disorak-sorai setan pun iblis – laknatullah.
Saya
pernah melalui guncangan yang amat dahsyat yang nyaris membuat kewarasan saya terganggu.
Alhamdulillah, guncangan itu mereda setelah saya duduk dan membaca lengkap
surah al-Baqarah dengan takzim hingga 3 jam lamanya. Saya pernah menyaksikan
keganasan ilmu hitam. Bersyukur Allah menolong dengan membuktikan betapa
ayat-ayat-Nya yang dibaca dengan penuh peresapan dan pengharapan bisa menolong di
saat sulit. Pun bertahan pada kekuatan keyakinan bisa menghantar pada ujung
ujian.
Saya
berulang kali menjalani persoalan hidup di luar logika, namun alhamdulillah
keyakinan yang berusaha saya genggam masih menjaga saya dalam ridha-Nya. Saya
pernah menyaksikan anak-anak sakit atau bermasalah dan ketika saya mendampingi
mereka sembari membacakan ayat-ayat suci-Nya, penyakit/masalah mereka perlahan
melenyap.
Ini
menambah keyakinan saya: masalah-masalah di luar logika saja bisa terjalani,
apalagi masalah yang logis?
Agama
saya adalah warisan dari orangtua. Seperti orang Indonesia kebanyakan, pada
zaman saya kecil, agama merupakan hal yang “sekadarnya”, berbeda dengan
sekarang di mana makin banyak orang yang memiliki pengetahuan agama yang bagus
dan ada banyak tempat untuk belajar ilmu agama. Dulu, di tahun 1980-an tak
demikian.
Seiring
berjalannya waktu, saya tiba pada pencarian jati diri dan peneguhan nilai-nilai
moral yang saya anut. Makin dalam pencarian saya, makin saya yakin bahwa agama
tradisional (meminjam istilah di artikel VOA itu) yang saya pegang bukan hanya
mengajarkan ritual fisik tetapi juga pedoman hidup. Bukan hanya mengajarkan
redaksi do’a memohon keselamatan dunia-akhirat, tetapi juga menyediakan
cara-caranya. Juga menyediakan resep-resep untuk bertahan di kondisi yang
paling krisis sekali pun.
Contoh-contoh
kehidupan orang saleh zaman dulu pun banyak. Mereka semua membuktikan
kedahsyatan berpegang kepada keyakinan. Sebut saja kisah nabi Ayyub (antara
lain ada dalam al-Qur’an an-Nisa: 163 dan al-Anbiya’: 83-84) yang diuji sakit
dalam waktu lama hingga dijauhi warga sekitar, dari semula kaya raya hingga tak
berharta dan kehilangan anak, hanya seorang istri yang masih ikhlas merawatnya.
Istrinya sampai harus menjual potongan rambutnya untuk mencari uang. Dengan
kekuatan kesabaran dan keyakinannya, Sang Maha Pencipta pun menyembuhkannya dan
mengembalikan hartanya[i].
Di
sekeliling kita pun masih banyak kisah orang-orang yang berhasil melalui
ranjau-ranjau dalam hidupnya. Saya menyaksikan seorang bapak yang benar-benar
menyandarkan hidupnya kepada Sang Pemilik Hidup. Sehari-harinya ia banyak
menolong orang yang sakit dan kesulitan, pendapatan tetapnya tak ada tetapi
kasih sayang Allah selalu berlimpah kepadanya. Ada saja jalan rezekinya. Bahkan
anak-anaknya bisa sarjana dan telah sukses meniti hidup masing-masing. Sungguh,
bila ditilik dengan akal sehat, seolah tak mungkin ia meraih semua yang ia
peroleh sekarang. Tetapi keyakinan dan keteguhannya dalam menjalankan keyakinan
yang tak pernah susut bahkan terus menggebu benar-benar menolongnya menghadapi
arus kehidupan dunia yang penuh godaan ini.
Anak-anak yang tamat program baca al-Qur'an diberikan pernghargaan. Sebuah motivasi yang berharga bagi kehidupan beragama mereka. |
Potensi Ancaman
Bagian
lain artikel tersebut mengungkapkan:
Ia menambahkan,
"Salah satu hal yang kami dapati dalam laporan ini adalah para pemuda di
negara ini – berusia 18 sampai 24 tahun - benar-benar ingin mengubah wajah
agama di negara ini."
"Ada banyak
pergeseran, dan orang cenderung untuk tidak berkomitmen pada seperangkat
doktrin atau dogma yang ketat, meskipun mereka mungkin masih percaya
Tuhan," ujarnya lagi.
Wajah agama di
Amerika telah lama tampak seperti itu. Tetapi, menurut Jones, kajian Georgetown
itu menunjukkan para pemuda itu menolak agama yang tradisional dan lebih
menyukai kehidupan spiritual yang tidak terlalu mengikat.
Lagi-lagi
saya bergidik. Anak-anak muda yang menyebut dirinya “millennials” itu ingin menetapkan “agama” mereka sendiri? Dengan
aturan-aturan mereka sendiri? Bukankah ini mengerikan, menetapkan aturan “yang
tidak terlalu mengikat” sekehendak hati di usia semuda itu? Apalagi di era
internet ini, di mana bisa dibilang tak ada lagi sekat wilayah bagi para
pengguna internet dari segala penjuru dunia, pemikiran seperti ini bisa saja
meracuni pikiran para pemuda di tempat lain yang secara geografis terpisah jauh
dari Amerika!
Saya
melihat ini sebagai potensi ancaman bagi generasi kita. Kita betul-betul harus
membentengi diri dan anak-anak kita dari pemikiran seperti ini. Ini tugas berat
bagi para orangtua!
Pentingnya Peran
Orangtua
Pada
awalnya, mengajar nilai-nilai moral yang biasanya bersumber dari ajaran agama
adalah tanggung jawab orangtua. Pada awalnya ia berupa doktrin yang dogmatik.
Begitu pula dalam pengalaman saya sendiri, pada awalnya ajaran agama memang
harus diterima seperti itu. Secara perlahan, pencarian yang benar akan membawa
kepada pemahaman yang benar mengenai agama itu sendiri – yang tidak hanya sekadar
ritual tetapi juga pedoman hidup. Dan tak lain, tugas orangtua untuk memasukkan
pemahaman itu kepada anaknya (ya Allah, berilah kemudahan bagi saya untuk hal
ini, saya butuh
kemudahan dari-Mu).
Pada awalnya, ajaran agama adalah doktrin dogmatis |
Mengenai
peran orangtua, mantan menteri pendidikan Amerika pernah mengemukakan kegelisahannya
menyaksikan kondisi keluarga di sana: “Kegagalan
pendidikan etika di sekolah-sekolah Amerika, di antaranya diakibatkan oleh
lingkungan dan kondisi keluarga yang tidak mendukung perkembangan anak. Di
tengah-tengah kita banyak keluarga dengan kedua orangtua yang sibuk bekerja.
Banyak pula keluarga yang dikuasai dan didominasi salah satu pihak, ayah atau
ibu ...”[ii]
Robert Coles[iii], penulis buku Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak, juga berpendapat bahwa peran orangtua sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak-anaknya.
Robert
Coles banyak melakukan pertemuan dengan para orangtua di Amerika, termasuk
mereka yang memiliki anak usia remaja dan dewasa muda. Coles berkata, “Saya menceritakan tentang kesepian yang dirasakan oleh banyak orang
muda, walaupun seandainya mereka memiliki cukup banyak teman baik dan
kelihatannya berada di tengah-tengah kelimpahan. Ini merupakan kesepian yang
ada kaitannya dengan penilaian yang diterapkan pada diri sendiri: didorong dan
ditarik oleh serangkaian dorongan, hasrat, kecemasan, perasaan takut yang
sungguh tak mungkin dibagi kepada orang lain.”[iv]
Coles
banyak membagi kisah-kisah dalam buku ini yang makin memperkuat pentingnya
peran orangtua. Seorang muda yang sedang dilanda “kesepian” seperti yang
disebutkan di atas, mencari kenyamanan dari luar dirinya. Ada yang
mendapatkannya melalui narkotika ataupun dengan melakukan seks bebas. Adalah
tugas orangtua dalam membantu problema seperti ini. Pendekatan yang tepat
dibutuhkan sebab jika salah, alih-alih anak akan terbuka, mereka malah semakin
menjauh. Masalah sesungguhnya bukanlah dari luar diri sang anak melainkan dalam
dirinya sendiri. Ini membutuhkan penanganan yang tepat.
Di
bagian penutup bukunya, Coles menuturkan, “
... kaum remaja perlu mencari cara bagaimana menganggap tubuh mereka yang
memiliki kemampuan baru dan kehausan baru, dan juga berbagai minat dan pilihan
serta sikap yang terus-menerus ditimpakan kepada mereka, oleh sahabat, oleh
iklan, oleh bintang film, pembawa acara, penyanyi, pemusik, oleh pahlawan
olahraga. Bagaimana kita seharusnya, sebagai orangtua atau sebagai guru
(orangtua itu, sekali lagi, selalu menjadi guru juga) berusaha menjalankan
kewajiban sebaik mungkin untuk menyampaikan prinsip-prinsip dan keyakinan-keyakinan serta nilai-nilai kita
kepada generasi berikutnya.”
Nah,
prinsip, keyakinan, ataupun nilai ini menurut
saya ada – komplit di dalam ajaran agama. Orangtua dituntut memiliki
pengetahuan agama yang memadai karenanya. Untuk menjawab kebutuhan anak-anak
kita, untuk menjawab tantangan zaman. Sungguh, bukan tanggung jawab yang ringan
karena semakin besar usia anak, orangtua dituntut untuk menaikkan level pengetahuannya.
Jika
di saat remaja/dewasa mudanya anak-anak memutuskan untuk meninggalkan ajaran
agama. Tentunya menjadi jauh lebih berat lagi tanggung jawab orangtua karena
anak-anak ini sudah semakin pandai beradu argumen. Padahal perjalanan hidup mereka
belum juga separuh jalan. Masih begitu banyak aral-rintangan yang akan mereka
lalui di kemudian hari. Dan pondasi agama yang kokoh untuk melaluinya adalah
solusinya.
Ya Allah, tolong beri kami kekuatan dalam membimbing anak-anak
kami.
Makassar, 23 Juli 2012
[i]
Ust. M. Hamid, Mutiara Kisah 25 Nabi & Rasul dalam al-Qur’an, penerbit CV.
Karya Utama Surabaya.
[ii]
Halaman 24 buku “Mendidik Anak Zaman Kita”, karya Dr. Hassan Syamsi Basya,
penerbit Zaman, 2011. Dikutip dari majalah al-Bayân,
edisi IX, yang dinukil dari majalah Brain
Trust edisi Oktober 1987.
[iii]
Robert Coles adalah seorang psikiater anak, psikiater peneliti pada Harvard University
Health Services, dan profesor psikiatri serta ilmu-ilmu kemanusiaan medis pada
Harvard Medical School. Ia menyandang gelar James Agee Professor of Social
Ethics di Harvard. Telah menulis lebih dari 1000 artikel, tinjauan, dan esai
serta lebih dari 50 buku.
[iv]
Halaman 176 buku “Menumbuhkan Kecerdasan Moral pada Anak” karya Robert Coles,
terbitan Gramedia Pustaka Utama (2000).
Share :
Miriiiiis dengan adanya kenyataan seperti ini mbak. Apa jadinya negeri itu jika agama tidak lagi menjadi pegangan hidup. Tidak mesti Islam sebenarnya. agama lain pun memiliki aturan dan nilai-nilai kebaikan yang membuat manusia hidupr teraarh.
ReplyDeleteIya mbak. Sy pikir "agama tradisional" lain pun punya pakem-pakem sendiri untuk menjaga moral pemeluknya. Sayang sekali kalau sampai gerakan anak2 muda ini meluas.
Deletekebetulan islam bukan agama mayoritas di US, keengganan kaum muda untuk beragama saya pikir mirip dengan fenomena yang dialami Jeffry Lang (Professor matematika di Kansas-US). Dia memutuskan tidak beragama karena diantaranya (menurut pengakuannya) agama yang dianut keluarganya secara turun temurun adalah (1) tidak logis alias banyak pertentangan (2) tuhan tidak berlaku adil dengan mebiarkan banyak orang jahat tetap hidup dan dunia makin berantakan (3) tidak membuat ayahnya menjadi ayah yang benar (4) membuat ibunya lebih menerima untuk ditindas oleh ayahnya sendiri. Jeffry akhirnya memilih atheis hingga suatu saat dia mendapat berkesempatan untuk membaca Al Quran dengan comentary dari Abdullah Yusuf Ali yang kemudian menuntunya untuk mengucapkan dua kalimah syahadat. Detil kisahnya dapat diikuti di youtube yang memuat wawancara dengan Jeffry Lang. Singkat cerita jika dakwah tidak jalan dan tidak dijalankan dengan baik dan benar, maka semakin banyak manusia yang lebih senang untuk memilih tidak beragama.
DeleteSubhanallah kak Facta. Membaca komentar kakak, saya semakin menyadari betapa besar tanggung jawab orangtua dalam hal ini. Menghadapi anak-anak cerdas yang selalu mempertanyakan - bahkan keyakinan dalam bingkai logika, sungguh bukan hal mudah.
DeleteMudah2an kita dituntun menjadi orangtua yang mampu menjawab keresahan anak2 seperti itu. Sy belum tahu kisah prof. Jeffry Lang itu, tapi jika yang menghadapi masalah itu adalah anak remaja/dewasa muda tentu menjawab keresahan mereka bukan hal sederhana. Ini sejalan dengan yang ditulis Robert Coles yang saya tulis di atas, bahwa anak2 usia itu merasakan "kesepian" bahkan jika mereka memiliki banyak teman baik dan berada di tengah2 kelimpahan.
Ya Allah ... betul2 diamanahi anak adalah "PPD DUnia-akhirat"
kalo orang tuanya sadar bahwa beragama itu penting mungkin krisis keimanan itu tidak semakin parah, namun trend yang ada cenderung mengabaikan bahwa telah ada krisis keimanan di dalam diri, keluarga dan masyarakat karena pengaruh tekanan keuangan dan propaganda bahwa kesuksesan seseorang identik dengan sejauhmana dia mampu mengumpulkan kekayaan dan meraih gemerlapnya kekuasaan (kedudukan) semata. Umum juga di indonesia para orang tua sering berkata: "Kami bersyukur bahwa anak kami telah "menjadi orang" ". Lha, apa sebelumnya anaknya cuman orang-orangan? Telah menjadi hal umum bahwa kata "menjadi orang" identik dengan kondisi bahwa si anak telah bekerja, berduit, kaya, berkedudukan dan berpangkat tinggi, tanpa mempedulikan apakah si anak masih beribadah sesuai tuntunan agama atau tidak.
DeletePPD Dunia-akhirat => Program Pengembangan Diri Dunia Akherat? Jadi ingat nasehat KH Ahmad Dahlan:"Aku ini sudah tua, berusia lanjut, kekuatanku pun sudah sangat terbatas. Tapi, aku tetap memaksakan diri memenuhi kewajibanku beramal, bekerja, dan berjuang untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perintah Tuhan. Aku sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa memperbaiki urusan yang terlanjur salah dan disalahgunakan atau diselewengkan adalah merupakan kewajiban setiap manusia, terutama kewajiban umat Islam."
DeleteSeperti saya yang masih sering disesali karena "hanya ibu rumahtangga biasa" hiks ...
DeleteIya kak, ini program pengembangan diri paket dunia-akhirat. Deg2an saya menatap masa depan dengan 3 anak yang harus dibimbing ... mudah2an diberi kekuatan oleh Sang Maha Pencipta .. aamiin
Bagus mbak, semoga kita bisa istiqomah menjaga anak-anak di jalan cahaya mengingat godaan duniawi beraneka rupa...
ReplyDeleteSemoga menang ;)
(Dwi Aprilytanti)
Aamiin. Semmoga ya mbak Dwi. Terimakasih :)
DeleteIya k', benar agama adalah pedoman hidup. Karena dalam agama sudah ada tuntunan dan nilai-nilai kebajikan yang memberikan kita kebahagian hidup dunia dan akhirat
ReplyDeleteBenar Nu. Rasanya damai kalau berada dalam aturan2 agama ya, karena yang menetapkannya kan Sang Maha Pencipta :)
DeleteMembuat diri merenung, Sudahkah melakukan yang terbaik untuk buah hati
ReplyDeleteIya betul. Dan membuat makin menyadari bahwa tugas orangtua itu berat ...
DeleteSemoga kecenderungan ini tidak merambah ke Indonesia, atau dalam lingkup kecil ke kampung kita, atau lebih kecil ke keluarga kita ya, Mbak.
ReplyDeleteMari terus memperbaiki diri sekaligus mengajak keluarga kita.
Semoga ya mas Akhmad. Betapa mengerikannya bila sampai terjadi ...
DeleteBagus ulasannya, mba
ReplyDeleteaku malah belum baca berita yg itu :D
Alhamdulillah mbak. Terimakasih dah mampir. Berita baru banyak mbak :)
Deleteseram ya mbak kalau baca tentang itu
ReplyDeleteIya mbak Lidya, seram ....
DeleteJadi inget chat dengan seorang teman di Semarang tadi siang, katanya ada seorang kenalan beliau ( muslimah ) yang terang-terangan menyatakan atheis dan kini tinggal di Amerika. Astaghfirulloh! Nauzubillah summa nauzubillah! Semoga apa yang sudah ditetapkan dalam dada kita ( iman dan islam ) tiada terlepas hingga nyawa lepas dari badan. Amin...
ReplyDeleteDuh ya Allah, makin banyak orang Indonesia memilih atheis ya abi Sabila? Kemarin baca di mana gitu, di Sumatera Barat ada yang mengaku atheis lalu dipenjara.
DeleteMudah2an kita dan keluarga kita dijauhkan dari hal2 demikian ... na'udzu billaah ...
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHm .. menarik. Baru terpikir "kesamaan" dan "kedekatan" itu
Deletesorry ada ralat sedikit ttg posting saya sebelumnya; namun saya tetap ingat komentar seorang pendakwah kawakan Sheikh Ahmed Deedat, apa yang harus dikatakan oleh seorang muslim ketika bertemu dengan orang yang menolak Tuhan (ateis). Beliau menyarankan bahwa sebaiknya seorang muslim mengucapkan selamat pada si ateis karena dia sudah dekat untuk menjadi muslim, karena syarat pertama untuk menjadi muslim adalah mengucapkan kalimat syahadat yang kalimat pertamanya adalah La ilaha (Tidak ada tuhan) sehingga seharusnya si ateis tinggal meneruskan sisanya yakni ilallah (kecuali Allah), sehingga lengkaplah si ateis mengucapkan La ilaha ilallah (Tidak ada tuhan, kecuali Allah). Dengan demikian si ateis seyogyanya telah beragama dan menjadi oleh yang selamat. Walau saran ini nampak berupa sindiran atau gurauan namun menarik, bahwa dakwah seharusnya dilakukan dengan benar dan saat melakukan dakwah sebaiknya membicarakan hal hal yang memiliki kesamaan bukannya perbedaan (talking at the same grass roots).
Deletekalo menurut saya yang menarik adalah adanya fenomena di US yang menantang setiap orang beragama untuk menaruh perhatian dan aksi terhadap kecendurangn kaum muda untuk memproklamirkan dirinya untuk tidak beragama dan ateis. Tantangan ini tentunya tidak hanya di US namun sangat dimungkinkan terjadi di belahan bumi yang lain, sehingga untuk menjawabnya tentunya diperlukan pemikiran yang cerdas disertai sikap arif dan bijak berlandaskan keimanan yang kuat.
DeleteBenar kak. Fenomena yang menarik karena mengerikan. Pengaruh yang bisa saja menjalar ke mana saja. Dan keluarga sebagai organisasi terkecil dalam negara ini harus betul2 kuat karenanya. Terimakasih sharingnya kak ... sangat bermanfaat
Deletetulisan bagus, kak .. as always :)
Deletemaaf saya komennya disini soalnya sangat menarik membaca komentar pak MhD FACTA tentang cara menanggapi orang ateis di atas hehehe
Benar kak, fenomena yang menarik sekaligus mengerikan karena bisa saja merembet ke mana2. Bagi saya yang paling "menarik" adalah saat saya sadar betapa berat tugas orangtua menghadapi hal yang seperti ini. Harus benar2 bersiap diri dan akhirnya harus benar2 kuat.
DeleteTerimakasih sharingnya kak, sangat bermanfaat. Terimakasih telah berbagi hal2 yang saya belum tahu
Yap Icha .. banyak yang baru saya tahu ...
DeleteKeyakinan = Sumber kekuatan
ReplyDeleteGimana kabarnya Mbak? Sehat-sehat saja kan? Lama saya nggak nongkrong di sini. Sekali nongkrong langsung dapat bacaan yang menyegarkan hati. Makasih ya Mbak :)
Alhamdulillah sehat mas. Makasih sudah menyempatkan bertandang ke mari. Maaf saya belum bisa ke tempat mas Hakim .. mudah2an besok bisa :)
Deletebagaimana dengan saya yang masih single.. ?
ReplyDelete*lho berarti saya kaum muda.. :D
Nah ... dirimu sudah punya kesadaran dek ... modal awal :) Ntar sebelum nikah, cari ilmu banyak2 dulu ya biar benar2 bisa menjadi imam keluarga ^__^
Deleteaduh ngeri bgt... postingan ini bikin sy merenung sekaligus berharap semoga ini tdk terjadi pd buah hati kita ya... ayo ah semakin semangat lagi menjaga buah hati kita..
ReplyDeleteBetul mbak, sangat mengerikan. Semoga kita dilindungi dari hal semacam ini ya ^__^
DeleteSemakin kesini memang semakin membuat hati dag dig dug dunia ini... apalagi perihal keyakinan..
ReplyDeleteSemoga kita tetap selalu punya "keyakinan" bahwa agama adalah koridor kita..
Dunia semakin tua, keyakinan seseorang semakin diuji. Semoga kita memegang keyakinan kita dengan teguh.
DeleteSaya tidak tidak beragama, hanya penganut keyakinan /kepercayaan yang sudah turun temurun di lakoni olah nenek moyang kami. Yang mengajarkan kami tentang welas asih, tata krama dan dekat dengan alam.
ReplyDeletesaya adalah seseorang dari lereng puncak bromo,apa pendapat tuan tuan dan nyonya terhormat tentang saya ?
Agama saya mengajarkan untuk saling menghormati keyakinan orang lain. Keyakinan yang baik yang dipegang dengan dengan baik oleh penganutnya, yang diajarkan secara turun-temurun bahkan hingga ratusan tahun mestinya mengajarkan kebijakan yang akan menjaga penganutnya untuk juga berlaku bijak dan menjaga hidupnya supaya baik2 saja.
DeleteDi AS itu kasusnya, anak2 muda mau membuat aturan mereka sendiri yang jelas saja masih tanda tanya. Terimakasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar Anda.
Oya di daerah kami ada penganut keyakinan seperti Anda, di daerah Arawa (kabupaten Sidrap, Sul Sel). Kakek dari ayah mertua saya menganut itu tapi ayah mertua saya sudah memilih Islam. Dan hidup mereka baik2 saja, berdampingan dengan yang lainnya, tidak ada masalah. Toh keyakinan mereka pastinya juga mengandung kebijakan yang sudah ratusan tahun dipegang.
DeleteSemoga kita membentengi diri kita menuju jalan yang benar =)
ReplyDeleteAamiin :)
DeleteBetul Mugniar, agama yang diyakini dengan tepat serta dilaksanakan hanya karena Allah akan membawa banyak ketenangan serta bisa memberi jalan keluar pada banyak masalah dalam kehidupan kita...
ReplyDeleteSaya sependapat :)
Iya mbak Irma. Sebagai pedoman hidup :)
DeleteMbak niar, emang kok dari orang tua mengajarkan spiritual yang baik dan benar untuk anak2nya supaya kedepannya memiliki pegangan hidup yang lebih baik lagi :D
ReplyDeleteKeren beneran ini tulisannya :D
Iya Niar. Betul :)Terimakasih ya sudah mampir :)
Deletetetap dirikan agama islam :D
ReplyDelete