Ibu
tersenyum melihat mimik wajah Koko, kemudian melanjutkan penjelasannya.
“Nah,
sebetulnya puasa itu tidak hanya menahan lapar dan haus saja. Puasa juga
berarti menahan nafsu.”
“Menahan
nafsu itu apa, Bu?” tanya Bebe.
“Nafsu
adalah keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan untuk melakukan sesuatu. Pada
saat berpuasa, kita harus menahan nafsu yang mendorong kita untuk makan,
minum, marah, bertengkar, membicarakan kekurangan atau keburukan
orang lain, melakukan hal-hal yang merugikan atau menyakiti orang lain, serta
melakukan hal-hal yang tidak berguna bagi diri kita sendiri maupun orang lain.”[i]
Itu
sepenggal dialog dalam buku cerita “Mengenal Puasa” milik anak saya. Ah, ideal
sekali. Memang seperti itu seharusnya puasa kan?
Buku
setebal 34 halaman ini mengajak anak untuk mengenal puasa dan menjalankannya.
Bercerita tentang percakapan sebuah keluarga kecil yang memiliki dua orang
anak. Kedua orangtua secara bergantian menurunkan ilmu tentang puasa kepada
anak-anak mereka.
☼☼☼
Seorang
bapak yang saya kenal baik mengatakan, “Zaman sekarang, banyak orang yang
berpuasa bagai ‘balas dendam’. Kalau buka puasa dan sahur, maunya makan dan
minum yang istimewa. Pengeluaran justru jadi lebih besar dibandingkan bulan-bulan
lainnya. Habis puasa, berat badan justru naik, kantong pun kempes, penyakit
berdatangan. Padahal kalau mau dijalankan dengan sebaik-baiknya, puasa itu
sangat bagus. Bukankah Islam mengajarkan kita untuk makan-minum yang halal dan thayyibah. Halal dan baik.
Makanan, walaupun halal tapi berlebihan dan menimbulkan penyakit, tidaklah
baik! Katanya puasa mengajarkan kita
untuk berempati kepada orang yang kurang mampu. Tapi dengan pola seperti ini,
apa iya kita ikut merasakan penderitaan mereka?”
Perkataan
bapak itu membuat saya merenung.
Okelah,
harga barang biasanya naik menjelang lebaran. Tapi kalau dimisal-misal, harga
barang tetap. Dan kalau mau jujur, apa iya pengeluaran pada bulan-bulan selain
Ramadhan sama dengan pengeluaran pada bulan Ramadhan?
Saat
puasa, seringkali kita terbayang-bayang makanan dan minuman yang enak-enak.
Yang jarang disajikan di bulan-bulan lain. Buka puasa dan sahur menginginkan
menu yang spesial karena sudah berlapar-lapar, berhaus-haus, dan berletih-letih
seharian.
Belum
lagi pengeluaran menjelang lebaran. Bagi banyak orang, penting menyiapkan budget untuk aneka makanan, minuman,
pakaian baru, alat shalat baru, gorden baru, pun kursi tamu baru.
Apakah
ini memperturutkan hawa nafsu atau tidak?
Apakah
seperti ini puasa yang diajarkan Rasulullah SAW?
Satu
lagi perkataan bapak itu yang membuat saya merenung. “Saya suka menegur istri
saya ketika ia mengiming-imingi anak-anak kami dengan makanan berbuka dan sahur
yang enak-enak. Saya katakan padanya supaya tak mengajar anak berpuasa dengan
iming-iming seperti itu. Ajar anak-anak untuk berpuasa karena takut pada
Allah!”
Betul
juga, ini yang sering terlupa. Saking maunya anak-anak belajar berpuasa, trik
yang dilakukan adalah menjamu mereka dengan menu spesial. Memanjakan lambung
mereka!
Padahal
dalam al-Qur’an, mengenai “makanan halal”
sering disandingkan dengan kata “thayyibah”
yang berarti baik, seperti dalam ketiga ayat berikut:
Makanlah yang halal lagi baik
dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah,
jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.
(Q.S.
An Nahl (16): 114)
Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik
dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang
kamu beriman kepada-Nya.
(Q.S.
Al-Maa’idah (5): 88).
Maka
makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik,
dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
(Q.
S. Al Anfal (8): 69)
Ini
berarti walaupun halal, makanan itu belum
tentu baik bagi kita.
Tentu
tidak baik segala yang berlebihan, termasuk makanan.
Tentu
tidak baik segala yang mendatangkan penyakit, termasuk makanan.
Semua
kita tentu tahu bahwa banyak penyakit datang melalui makanan. Sebut saja
kolesterol, asam urat, diabetes, penyakit ginjal, atau penyakit lever. Kita
sering tak mampu menakar bahwa tubuh kita sudah jenuh dengan karbohidrat,
lemak, ataupun protein yang terkandung dalam berbagai makanan.
Sebuah
acara kesehatan di TVRI yang dipandu oleh artis yang berprofesi sebagai dokter:
Lula Kamal menampilkan seorang ahli dalam bidang kesehatan. Ketika itu Lula
Kamal bertanya, “Usia berapa kita harus mulai hati-hati memilah makanan,
mempertimbangkan untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsi gula dan lemak
misalnya?”
Saya
sempat mengira sang ahli akan menjawab “Usia 30” atau “Usia 40”. Ternyata
dugaan saya salah, sang ahli itu menjawab, “Sedini mungkin.” Lula Kamal sampai
mengulangi lagi pertanyaannya yang tetap dijawab dengan mantap oleh sang ahli:
“Sedini mungkin.”
Berarti,
anak-anak saja harus sejak dini dibiasakan mengkonsumsi makanan yang halal lagi
baik. Apalagi kita.
Makassar, 9 Juli 2012
*Sentilan
buat diri saya sendiri. Semoga berguna bagi yang membacanya.
Tulisan ini dibuat untuk open house di blog Media Robbani milik mas Insan Robbani dan sudah ditayangkan 3 hari yang lalu.
Selamat menunaikan ibadah puasa, mohon maaf lahir dan batin ^__^
[i]
Thersiah L. Lubis-Dahlan, “Mengenal
Puasa”, CV. Penerbit Diponegoro, 2001
Share :
Ikut tersentil juga setelah membacanya mbak Niar. terutama pada bagian award makanan enak-enak untuk anak yang mau berbuka. Memang anak saya masih tiga tahun, belum mengerti arti berpuasa, tapi ini akan saya jadikan pelajaran jika kelak anak saya mulai saya ajarkan untuk berpuasa.
ReplyDeleteTFS mbak Niar :)
Alhamdulillah. Terimakasih juga mbak Ecky sudah ikut tersentil dengan saya.
DeleteSalam buat si kecil :)