Seperti
anak-anak lain, sejak kecil saya menggemari buku-buku cerita anak. Saat duduk
di bangku SMA saya kecanduan sama buku-buku karya Agatha Christie. Sepertinya
puluhan buku saya lalap selama dua atau tiga tahun. Sampai-sampai saya rela
turun naik pete’-pete’ (sebutan untuk
angkot di Makassar) setiap satu atau dua pekan untuk meminjam dan mengembalikan
buku-buku koleksi Agatha Christie di sebuah perpustakaan pemerintah.
Ini
berlangsung sampai saya benar-benar eneg dan akhirnya enggan mengenal Agatha
Christie lagi. Sementara saya sudah lama eneg
sama cerita-cerita khas remaja ketika itu yang kalau bukan ending-nya menceritakan sepasang kekasih yang jadian ya sebaliknya
– putus. Walau sesekali saya membaca cerita-cerita islami yang perlahan mulai
menjamur tapi pada kenyataannya saya tak begitu suka dengan fiksi.
Saat
kuliah, saya cukup aktif di lembaga kemahasiswaan. Beberapa kali mengisi materi
pelatihan dan ikut-ikut diskusi mahasiswa yang serius (membahas realita sosial,
ekonomi, politik, dan perkembangan pengkaderan mahasiswa) membuat saya mulai
tertarik dengan buku non fiksi. Secara perlahan saya juga berusaha “mengkader”
diri saya sendiri untuk berkembang lebih baik hingga menikah, pun sampai saat
ini melalui bacaan-bacaan yang bukan fiksi.
Sumber: http://howtowriteaformalletter.com |
Satu
setengah tahun ini saya sangat tertarik mengasah minat menulis saya.
Sebelum-sebelumnya saya hanyalah seorang ibu kebanyakan yang sehari-harinya
bergelut dengan aktivitas rumahtangga dan tidak begitu tertarik dengan kegiatan
luar rumah semisal arisan, main di mall atau
nenangga. Menulis membuat warna hidup
saya menjadi lebih cerah.
Minat
menulis saya – seperti yang dibaca mbak Riawani dari tandatangan saya memang
seputar non fiksi (hebat euy mbak
Riawani bisa membaca itu hanya dari tandatangan saya ^__^). Tapi saya pun bukan
esais walau sesekali belajar menulis esai. Meminta saya menulis (bahkan
membaca) fiksi merupakan beban yang amat berat bagi saya. Entah kenapa. Seperti
orang yang dipaksa makan bubur ayam padahal alergi dengan bubur apalagi dengan kaldu
ayam! Tapi saya masih bisa membedakan tulisan fiksi yang bagus dan tidak. Tak
suka bukan berarti tak bagus, iya kan?
Eh,
tapi saya tertarik sama karya fiksi yang punya “unsur non fiksi” yang teramat kuat
di dalamnya seperti tetralogi Laskar Pelangi (karena berdasarkan kisah nyata
yang berkisah tentang kekuatan pendidikan yang sederhana dari sebuah kampung
kecil yang mampu memotivasi murid-muridnya sehingga menjadi orang-orang hebat),
Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih (karena penulisnya memiliki ilmu
syari’ah yang amat kuat dan mampu meleburkannya ke dalam novel-novel itu dengan
amat memukau saya), dan The Da Vinci Code (karena penulisnya memiliki latar
ilmu Sejarah yang amat kuat disertai kemampuan menggambarkan detil yang juga
amat kuat sehingga saya seolah-olah terbawa “begitu saja” di tempat-tempat yang
digambarkannya, juga karena ada kontroversi menarik di dalam novel ini).
Mbak
Dian Nafi pernah mengajak saling tukar novel (aduh maaf mbak, waktu itu saya
tak bisa membuka inbox, hanya bisa membaca pesannya, tapi saya membalasnya di
kolom komentar). Walah ... maaf mbak,
saya belum menghasilkan sebuah novel pun. Buku solo saya adalah sebuah
keberuntungan. Buku itu merupakan hadiah dari Leutika Prio setelah memenangkan
event Book Your Blog yang diselenggarakannya. Sebuah keberuntungan, blog yang
baru aktif saya isi di permulaan tahun 2011 yang menyimpan tulisan-tulisan lama
saya di arsip penghujung 2010, dilirik oleh Leutika Prio. Ketika itu saya kalau
mau menulis ya menulis saja. Tak dinyana saat ada event itu, tulisan saya sudah
terkumpul sekitar tiga ratusan di blog itu, membuat saya percaya diri ikut
bersaing dengan orang-orang yang sudah lama malang-melintang di jagad blog.
Bagi saya, blog adalah dokumentasi dari pengalaman dan renungan saya.
Mudah-mudahan semangat menulis itu tetap terjaga, hingga kelak anak-cucu saya
bisa memperoleh manfaat dari warisan saya di dunia maya ini.
Makassar, 17 Juli 2012
Silakan juga dibaca
yang lain:
Share :
pingin bisa nulis juga kaya mbak mugniarm nih
ReplyDeleteWaah mbak Lidya merendah deh ^__^
DeleteSaya suka baca fiksi, terutama yang ceritanya memberi motivasi, seperti Edensor, Negeri 5 Menara, dan sejenisnya. Tapi, saya males kalo disuruh nulis fiksi. Nulis nonfiksi pun gak bagus. Bisanya nulis curhat :D
ReplyDeleteTulisan2 di blog Millati keren lho. Itu kan sudah menulis yang bagus :)
DeleteNgeblog itu melatih kemampuan menulis kita koq :)
saya teringat ketika waktu kuliah, waktu itu buku yang saya sukai yaitu buku-buku petualangan Old Satherhand. tulisan fiksi didasari oleh imajinasi yang keuat dan perasaan pengarang,disitulah kekuatan dan kemenarikannya.
ReplyDeleteKalau kita mendapatkan satu kekuatan dalam tulisan, kita akan terus menyukainya ya mbak :)
DeleteAku suka fiksi tapi susah untuk bikinnya hehe,
ReplyDeleteaku sih nulisnya masih level ngeblog biasa aja hehe nggak kayak Mbak Niar...
Wew merendah nih Una, saya sudah liat fiksi kamu, bagus koq :)
Deletehehehe... saya malah penikmat fiksi mbak....
ReplyDeleteSalam kenal Bunda Fiqthiya...
Salam kenal mbak. Terimakasih sudah berkunjung :)
Delete