Gambar kota Maros tahun 1700-an |
Expo
Kearsipan berlangsung selama beberapa hari pada bulan Juli lalu. Tanggal 17
Juli, saya mendatangi “Pasar Segar” – tempat expo tersebut diselenggarakan.
Sepi.
Acara seperti ini mungkin kurang diminati, kecuali oleh penyuka sejarah.
Ataukah promosinya kurang membahana? Entahlah.
Ajang
ini diselenggarakan oleh Badan Arsip Nasional (mohon maaf jika saya salah
menuliskan nama instansinya) dan Perpustakaan Daerah
Sulawesi Selatan (sekali lagi mohon maaf, saya tidak tahu apakah
Perpustakaan Daerah dan Badan Arsip itu ada dalam satu lingkup instansi yang
sama?).
kartografi VOC: Benteng Somba Opu dari Makassar |
Menarik.
Bagi saya, apa yang dipajang di sini membuat saya seolah mengunjungi masa
lampau melalui arsip yang dipamerkan. Sebagian besar arsip ini ditulis dalam
aksara daerah yang sekarang lazim disebut dengan aksara Lontarak[i].
Banyak
hal menarik terdapat di sini. Di antaranya:
Dokumen Pengembalian
Jenazah Syeh Yusuf dari Capetown (Afrika Selatan) ke Makassar
Syeh
Yusuf Al-Makasari Al-Bantani, meninggalkan Makassar menuju Mekkah untuk belajar
ilmu agama Islam. Sepulangnya dari tanah suci dengan mengantongi sejumlah
ijazah, ia tidak langsung pulang ke Makassar. Syeh Yusuf singgah dan menetap di
Banten. Di sana ia berjuang melawan Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda. Namun
setelah beberapa tahun ia kemudian tertangkap lalu diasingkan ke Srilangka
(1684). Pada tahun 1693 ia dibawa lagi ke Cape Town (Afrika Selatan) dan
ditempatkan di Zandvliet, sebuah daerah pertanian dekat muara sungai Eerste.
Enam
tahun Syeh Yusuf di Cape Town, ia wafat pada tahun 1699 dalam usia 73 tahun. Ia
dimakamkan di Faure, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Guna mengenang Sang
Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afrika Selatan dijadikan bangunan
peringatan yang diberi nama ‘Karamat Syaikh Yusuf’.
Mendengar
kabar wafatnya syeh Yusuf, kerabatnya di Gowa terutama raja Gowa – Sultan Abdul
Jalil pada tahun 1705, berkirim surat ke pemerintah VOC (Belanda) agar
mengembalikan jazad Syeh Yusuf ke Makassar. Akan tetapi pemerintah VOC yang
berkuasa ketika itu tidak mengabulkan permintaan tersebut dengan alasan tidak
memiliki cukup keuangan untuk pembiayaan pemulangannya. Tetapi sesungguhnya di
balik alasan tersebut tersirat rasa takut pihak pemerintah Belanda akan
bangkitnya semangat perlawanan dari masyarakat kerajaan Gowa terhadap Belanda.
Namun
demikian pihak kerajaan Gowa tidak habis akal. Seluruh keluarga dan kerabat
kerajaan Gowa bersama rakyatnya mengumpulkan dana untuk membiayai pemulangan
jenazah syeh Yusuf, termasuk istri Arung Palakka – I Mangkawani Daeng Talele
turut memberikan sumbangannya.
Berkat
dana tersebut maka pemerintah VOC tidak punya alasan lagi untuk tidak
mengembalikan jazad/kerangka syeh Yusuf ke Makassar. Suatu hari di bulan April
1705 jenazahnya tiba di Makassar, lalu keesokan harinya langsung dimakamkan di
Lakiung, Gowa.
Akte Penjualan Budak
Akte
ini mencatat penjualan pengambilan budak-budak yang dilakukan oleh orang
setempat bersama pemerintah VOC di daerah wilayah Bantaeng. Budak-budak
dikumpulkan lalu dinaikkan ke atas kapal. Pada tanggal 18 Agustus 1758,
budak-budak tersebut tiba di Batavia. Dari sana kemudian kapalnya menuju
Singapura dan tiba tanggal 25 April 1759. Di Singapura kemudian mereka
diperjualbelikan dan dibawa ke Afrika Selatan.
Surat Budak ke
Kampung Halaman
Uppase
adalah seorang budak Bugis yang berasal dari Bulo-Bulo, Sinjai. Ia berkirim
surat dari Afrika Selatan ke sanak keluarganya di kampung halamannya. Di dalam
suratnya ia bercerita tentang penderitaan yang ia alami. Penderitaan tersebut
diakibatkan oleh orang sekampungnya sendiri. Surat ini tidak pernah sampai ke
tujuannya karena disita oleh pihak pemerintah Belanda.
Kutika
Salah
satu naskah Bugis-Makassar yang dipergunakan sebagai pedoman untuk menentukan
hari baik dalam melakukan pekerjaan atau suatu usaha. Sistem penanggalan yang
digunakan berpatokan pada penanggalan Arab. Naskah ini menunjukkan kedekatan
orang Bugis-Makassar dengan kebudayaan Arab/Islam. Beberapa naskah Kutika juga
dilengkapi dengan ilustrasi gambar binatang dan tumbuhan.
Naga Siqoiq
Salah
satu naskah Bugis-Makassar yang berilustrasikan dua ekor ular naga yang saling
melilit. Naskah ini dijadikan masyarakat (kaum laki-laki) sebagai azimat yang
digunakan untuk memikat kaum perempuan. Naskan ini juga digunakan oleh para
pedagang untuk memikat calon pembelinya. Selain naskah ini bergambar ular naga
juga terdapat sepasang binatang lipan (balipeng),
kumbang (kacumarang), dan ular. Ular
naga dalam naskah ini menunjukkan pengaruh kebudayaan Cina Tiongkok dalam
kebudayaan Bugis-Makassar.
Mula Tau
Naskah
lontarak berbahasa Bugis yang ditulis di atas kertas minyak ini milik And
Mineng Opu Datenri Peppeng dari desa Senge kecamatan Belopa, kabupaten Luwu
abad ke-20. Isi naskah: setelah diadakan musyawarah di Bottilangi yang dihadiri
oleh keluarga besar Patotoe baik yang ada di Bottilangi maupun yang ada di
Perettiwi. Maka diturunkanlah Batara
Guru ke bumi menjadi cikal bakal manusia penguasa bumi. Batara Guru diturunkan
bersama dengan pengiringnya yang terdiri atas inang pengasuh, pembantu,
pelayan, oro kelling, dan peralatan
lainnya; kampak, genderang, dan alat-alat pencipta gunung, hutan, sungai, dan
lain sebagainya. Beberapa perempuan pembantunya dijadikan pendamping utama
(istri) yang melahirkan beberapa orang
anak yang kelak dapat menjadi pembantu, pensaehat, dan penghulu di dalam
melaksanakan segala sesuatunya di dalam kerajaannya. Sedang istri sederajatnya
adalah sepupu sekalinya (anak Guru Riselleng dari Toddatojja) yang bernama We
Nyiliktimo, permaisuri inilah yang melahirkan Batara Lattu (ayah Sawerigading).
Meong Paloe
Naskah
berbahasa Bugis dan Arab ini terdiri dari aksara Lontarak dan aksara Arab,
ditulis di atas kertas cap air pohon kelapa dan gajah, milik dari Safar,
disalin oleh La Dabe tahun 1957. Isi naskah: perjalanan Sangiangseri dengan
Meong Paloe dari satu kampung ke kampung Laniangseri untuk mencari manusia yang
berbudi pekerti mulia. Sangiangseri dan Meong Paloe pergi ke Boting Langi untuk
menemui Patotoe, Datu Sangiangseri dan rombongan kembali ke bumi dan menetap di
Barru.
...
Bersambung ke bagian 2 ...
Pasar Segar, tempat expo berlangsung |
Sepi ... |
Bagai bertandang ke masa lampau |
Foto-foto lawas |
Pemutaran film dokumenter |
Makassar, 22 Agustus 2012
Silakan juga dibaca:
[i]
Bugis dan Makassar adalah dua suku berbeda, mereka serupa tapi tak sama. Dahulu
masing-masing suku ini memiliki aksara masing-masing dengan istilah berbeda.
Tetapi sekarang disebut dengan “Lontarak” (menurut yang saya baca sekilas di
buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara – Sulawesi Selatan).
Share :
wisata sejarah jarang diminati ya mbak, padahal ini juga berguna
ReplyDeleteIya mbak, habis yang ini cuma majang arsip. Orang2 muda yang datang jarang yang foto2in arsip, mereka berfoto2 sendiri :D
DeleteSudah jadi rahasia umum lah Mbak Niar, sejarah di mata bangsa kita di kunci di masa lalu. Namun kita tetap bersyukur ya bahwa masih banyak juga yg peduli, seperti yang mengadakan pameran ini. Saya baru tahu kisah yang memulangkan jenazah Syech Yusuf ternyata masyarakat Gowa..Nama Syech Yusuf di Banten terkenal sangat...
ReplyDeleteSeingat saya baru kali ini ada pameran semacam ini (atau saya yang baru tahu ya adanya pameran ini? entahlah hehehe). Sy tertarik krn suka juga mencari "akar" saya mbak Evi. Iya, syeh Yusuf berasal dari Gowa - dekat kota Makassar. Di sini ia sangat dikagumi hingga sekarang.
Deletehmmm ... aku gak tau mbak ... Aku juga org Makassar dan pecinta sejarah :)
ReplyDeleteSdh lewat ka ?? pingin ^^
Sudah selesai lebih sebulan yl. Sy yang terlambat posting ttg ini, maaf ya. Mudah2an tahun depan ada lagi ^__^
Deletehmm jadi tau nih sejarahnya Syekh Yusuf, ditunggu lanjutannya mba, btw Syekh Yusuf sekarang dimakamin di Ko'bang ya?
ReplyDeleteIya di Ko'bang ...
Deletewah sehobi dong
ReplyDeleteaku juga suka banget liat liat kumpulan foto jadul
biasanya berburu di website museum belanda
Saya mungkin tak seintens mas Rawins ...
DeleteSuka melihat sambil membayangkan "kira2 masa lalu itu seperti apa ya"
aku juga pilih pilih cuma cari foto jadul dari tempat yang sekarang aku kenal. engga tau kenapa kayaknya asik aja ngebanding-bandinginnya. kalo nemu yang arsitekturnya belum berubah, rasanya kok seneng amat tuh
DeleteWah, sayang sekali..kalau saya tahu infonya insyallah pasti datang. Sepertinya kurang promosinya kurang
ReplyDeleteWaduh, seharusnya saya kabari mbak ya .. maaf mbak, gak kepikiran ...
Deletewisata2 sejarah semacam ini seringkali sepi, menurut saya, kadang karena cara mengemasnya juga sih ... entahlah :)
ReplyDeleteMungkin cara mengemasnya. Tapi yang jelas, peminatnya memang kurang :D
Deletedikemas ala modern malah bikin pengunjung berubah orientasi. seperti borobudur sekarang begitu komplit kaya pasar malam. ngajak anak kesana, jadi ga mau diajakin ke candi. maunya naik komidi putar apa mandi bola.
Deletejadi kayaknya yang harus dikemas ulang tuh mindset kita bu...
Hmm malah begitu ya mas Rawins?
DeleteMungkin juga karena pelajaran Sejarah di sekolah membosankan ya? Hanya menghafal, menghafal, dan menghafal. Anak saya di SD mulai ada pelajaran Sejarah di kelas 5. Dia malas sekali belajarnya karena dalam sekitar 10 halaman saja, disajikan sejarah mulai dari masuknya Belanda, penjajahan Belanda, tokoh2 pejuang, perjuangan mereka, penjajahan Jepang, tokoh2 pejuangnya, kemerdekaan, kebangkitan nasional .. dll ... dan disuruh menghafal pula. Mumet kan?
bisa dimengerti. sejarah itu kan susah. karena gampang dirubah-rubah sesuai kepentingan politik. pelajarannya pun kebanyakan teori yang susah untuk dipraktekan seperti pelajaran ipa atau matematika. entah kalo pembelajarannya dilakukan interaktif di museum atau di situs arkeologi, mungkin bisa lebih menarik. namun masalahnya, biayanya gimana..?
Deletewah bunda rajinnya sampe penjbarannya ehhee...
ReplyDeleteaku pasti bingung deh.
oia bun, aku lebaran dirumh saja hehe, ga kemana2 nih.
Sekalian buat dokumentasi juga kan Annur :)
DeleteKeterangan ttg naskah2 ini dari pameran itu juga koq, tinggal difoto saja dan diketik kembali ...
mempelajari sejarah itu penting juga, tapi namanya anak muda jarang yang suka dengan sejarah...
ReplyDeletemungkin perlu di pertajam di sekolah ya mbak jadinya sedikit memaksa murid memperhatikan sejarah daerahnya masing masing setelah itu sejarah daerah luar...
Sepertinya justru penyajiannya di sekolah-sekolah itu yang bikin orang malas belajar sejarah mas ...
DeleteSeandainya ada yang bisa membuat penyajiannya lebih menarik ...
Saya suka mbaca sejarah-sejarah masa lalu Mbak, tapi kalau ndengerin pelajaran sejarah di kelas suka ngantuk dulu..
ReplyDeleteEh Mbak, mau nanya neh..yang bagian : Syeh Yusuf singgah dan menetap di Banten. Di sana ia berjuang melawan Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda.....[apa ini gak salah ketik ya?]
Waah gak mungkin salah ketik lah mbak Rie. Wong saya copas dari keterangan di expo itu koq :D
DeleteBeliau memang pernah menetap di Banten dan cukup ngetop juga di sana. Itu ada juga di komen mbak Evi di atas :)
waaahhhhhhhhhhhhhh
ReplyDeleteWaaaaahhhhhhhhhh :D
Deletewaaaaaaaaaaahh
ReplyDeleteWaaaaah juga
Delete