Talk show Satellite Program Ubud
Writers & Readers Festival 2012 dan Pre Event Makassar International Writers Festival 2013 diadakan
pada 9 Oktober 2012 di Makassar. Satellite
Program ini menghadirkan Colin
Falconer (novelis asal Australia), Ali
Donnellan (festival manager pada
Ubud Writers & Readers Festival 2012, asal Australia), dan Muhary Wahyu Nurba (penyair asal
Makassar – partisipan pada Ubud Writers & Readers Festival 2012) di Rumah
Budaya Rumata’.
Setelah
mendengarkan penuturan dari Ali
Donnellan mengenai Ubud Writers & Readers Festival, Colin Falconer berkesempatan
sharing pengalamannya sebagai penulis
– profesi yang telah digelutinya selama 28 tahun.
Novelis
yang sudah melahirkan lebih dari 20 buku ini menceritakan kisah hidupnya, mulai
dari awal mula ia menjadi penulis.
Colin
kecil dahulu anak yang “aneh” (ini istilahnya sendiri lho yaa J). Saat jam pelajaran sekolah
berlangsung, ia malah melihat keluar jendela dan membebaskan khayalannya
melayang ke mana-mana. Atau ia memperhatikan gambar berlatar Maroko pada buku
cetaknya, alih-alih memperhatikan penyampaian gurunya.
Colin
suka bermimpi. Ya, “bermimpi” adalah salah satu tips ala Colin. Kemudian ia
menuliskan mimpinya itu secara runut di atas kertas. Sering kali malah di atas
amplop.
Colin
lahir dari keluarga miskin. Kedua orangtuanya banting tulang untuk menghidupi
keluarganya. Neneknya bahkan menjadi pembantu rumahtangga. “Nenek Saya tahu
cara memasak lobster yang baik tetapi tak pernah merasakan lobster itu seperti
apa,” ungkap Colin.
Karya Colin Falconer sumber: http://colinfalconer.wordpress.com |
Akhirnya
Colin bisa menyelesaikan sekolahnya. Di usia 18 tahun, novelis yang memiliki
blog pribadi http://colinfalconer.wordpress.com
ini bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Ibunya sangat senang, itulah dambaan
ibundanya – memiliki anak yang bekerja di kantor.
Suatu
hari Colin terlambat ke kantor. Dengan tergesa-gesa ia melewati jalan pintas
yang melalui pekuburan. Ia mengamati batu-batu nisan yang menuliskan usia yang
berbeda-beda dari para pemiliknya. Tiba-tiba saja ia seolah mendapatkan ilham.
Pemandangan itu membuatnya berpikir, “Ternyata kita hidup di dunia ini tidak
terlalu lama ya.”
Ia
berhenti. Berbalik arah. Lalu pulang ke rumah. Ketika ditanya oleh ibunya, ia
menjawab, “Saya berhenti bekerja.” Lalu ia merancang perjalanan ke Maroko,
hendak mendatangi tempat yang pernah dilihatnya di buku pelajaran sekolahnya.
Ibunya tak bisa berkata apa-apa lagi.
Sejak
saat itu Colin memutuskan menjadi penulis dan amat menikmatinya. Ada dua hal
yang sangat disukainya dalam menjalani profesi ini: ia bisa “memakai sepatu orang
lain” (menaruh diri dalam permasalahan orang lain) dan bisa menceritakan tentang
kehidupan dan arti kehidupan.
Novel-novel
yang ditulisnya terinspirasi dari budaya bangsa-bangsa lain. Meski lahir di
Inggris dan sekarang bermukim di Australia, tak ada novelnya yang menceritakan
tentang Inggris dan Australia. “Jika saja selama di Makassar
Saya mendapatkan sejarah Makassar.
Sepulang dari sini, akan lahir novel baru Saya,” kata Colin.
Penulis
dari Harem, Stigmata, Silk Road, When We Were Gods, Godless, Anastasia,
Freedom, Jerusalem, dan Corrigan’s Run ini menulis novel pertamanya selama 5 tahun.
Setelah itu, rata-rata penulisan novelnya memakan waktu 1 tahun.
Novelis
yang karya-karyanya dapat diperoleh secara online
(dalam bentuk e-book) ini mengatakan bahwa penolakan penerbit adalah hal yang
bagus. Bila ditolak, perbaiki lagi. Ditolak lagi, perbaiki lagi. Karya yang
sudah berkali-kali direvisi pasti akan menjadi semakin bagus – kira-kira begitu
yang dimaksudkannya.
Karya Colin Falconer Sumber: http://colinfalconer.wordpress.com |
Setiap
harinya, Colin menargetkan menulis 3000 kata. Awalnya ini merupakan hal yang
sulit tetapi dengan seiring waktu, ia menjadi terbiasa dan konsisten dengan
targetnya. Hingga sekarang, buku-bukunya sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa
berbeda di seluruh dunia, sayangnya baru 1 novelnya yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia: “Harem”.
“Ketika
melihat atau membaca tentang sesuatu dan Saya ingin mengatakan tentang sesuatu
itu,” adalah jawaban Colin kepada seseorang yang bertanya mengenai motivasi
menulisnya. Colin kemudian menceritakan pengalamannya ketika menjadi jurnalis
lepas pada sebuah media dan bertugas membuat liputan tentang harem di Istanbul.
Di
Istanbul ia mendapatkan kisah sultan yang memiliki 300 orang istri/selir. Suatu
waktu sang sultan membebaskan seorang perempuan dari perbudakan yang kemudian dinikahinya.
Bersamaan dengan itu ke-300 orang selir diceraikan olehnya. Mengapa sultan
melakukan itu, tak ada yang tahu.
Maka
imajinasi Colin berkembang mengenai apa kira-kira alasan sang sultan memilih
satu perempuan dan melepas 300 yang lainnya. Sepulang dari Istanbul, ia pun
mengerjakan novelnya yang berjudul Harem.
Demi
mengetahui Colin hanya menulis untuk membiayai hidupnya dan keluarganya, saya
tergelitik untuk bertanya apakah dia punya cara lain selain menulis untuk
menopang hidupnya? Saya penasaran, masak sih
hanya menulis? Dalam setahun hanya 1 novel pula yang dihasilkan. Bagaimana
bisa?
Saya
pernah mendengar, di Indonesia untuk dapat hidup seseorang yang memilih profesi
penulis harus melakukan hal-hal lain selain menulis yang ada hubungannya dengan
menulis, seperti mengisi pelatihan/seminar tentang menulis atau menjadi editor
misalnya. Atau dalam setahun menargetkan menulis beberapa buku, ya di atas 4 –
5 bukulah.
Benak
saya diliputi tanda tanya yang teramat besar. Bisa saja negara Colin lebih
bijak dalam memperlakukan penulis. Di Indonesia, penulis yang menghasilkan 4 –
5 buku dalam setahun saja tidak bisa “hidup” dari karyanya itu. Tetapi Colin
bisa.
Karya Colin Falconer Sumber: http://colinfalconer.wordpress.com |
Colin
menjawab pertanyaan saya. Ia memang hanya menulis. Dalam setahun ia menulis
1 novel dan satu buku anak-anak. Ia bisa hidup cukup layak, membesarkan 2 orang
putrinya, punya rumah, dan punya mobil.
Tapi
Colin juga mengakui hal ini: “Menjadi penulis itu seperti menjadi sopir taksi
di Jakarta. Setiap saat penuh resiko. Di saat-saat awal menjadi penulis Saya
sudah menikah dan sudah punya dua anak. Saat itu Saya berpikir apakah Saya bisa
hidup dalam satu tahun ke depan? Sampai
sekarang pun Saya masih berpikir seperti itu – apakah Saya bisa hidup satu
tahun berikutnya?”
Fakta
membuktikan, Colin bisa hidup “hanya” dari menulis. Sepertinya royalti di
negaranya memungkinkannya untuk itu. Di Indonesia – hidup hanya mengandalkan royalti
masih sulit. Royalti penulis buku berkisar 10% - 15%. Jika satu buku harga
jualnya Rp. 32.000 misalnya maka bagian penulisnya adalah Rp. 3.200 – Rp.
4.800.
Salut
buat Colin! Semoga sharing Anda selama
di Indonesia
– termasuk di Makassar menginspirasi banyak orang. Semoga pula tulisan saya tentang pengalaman Anda ini
menginspirasi orang-orang di negara ini. Sungguh sharing yang amat menarik dan bermanfaat Colin. Senang mendengarnya
langsung dari Anda.
Makassar, 18 Oktober 2012
Silakan dibaca juga:
Share :
apapun asalkan ulet dan konsisten pasti ada hasilnya. biar royalti kecil, kalo emang keren kadang diangkat ke film juga. mayan kan duitnya
ReplyDeleteKayak Dee penulisnya Supernova itu ya ... Novel Perahu Kertasnya kan baru2 ini difilmkan ...
Deletehadeuh kalo soal itu aku gak tau
Deletega pernah ngikutin
hehe
Habisnya Mas Rawins di utan melulu sih, jarang kembali ke peradaban hihi...
DeleteMenarhetkan menulis 3000 kata setiap hari sepertinya dapat mengasah ketajaman naluri menulis, dan kisah Colin Falconer ini sangat inspiratif.
Bila karya kita sudah dinilai baik oleh banyak pihak, maka karya kitapun bisa diangkat ke dalam film misalnya seperti karya dari Dewi 'dee' Lestari dan Andrea Hirata misalnya. Dan untuk mencapai itu tentunya perlu proses yang panjang dan dedikasi yang tinggi dalam menulis.
Hahaha .. kirain mas Rawin mengikuti berita film Perahu Kertas.
DeleteIya mas Rudy, seperti itu kalau mau jadi penulis. Harus menulis setiap hari, pakai target lebih baik ^__^
tetep semangat untuk mbak mugniar, semoga bisa menjadi novelis yg handal dan juga karyanya bisa terkenal di indonesia bahkan dunia ^^
ReplyDeleteAamiin.
Delete*Kapan yaa*
Orang yg sdh bisa menjadi penulis aktif dan produktif spt Ali Donnellan, tentu level kemampuan membacanya [buku dan non buku] da kemudian menuangkan ide-idenya sdh sangat sedemikian mengalir dengan kuat.
ReplyDeleteKalau di Indonesia yg pure berprofesi menulis spt Ali Donnellan siapa ya?
#Terapi diri 3000 kata setiap ditulis, sgt efektif utk mengasah pena...pengen niru ah.
Hm ... Colin yang penulis, mbak Rie. Kalo Ali itu manajer festival di Ubud :D
DeleteDi Indonesia yang boleh dibilang pure penulis itu ada yang namanya pak Jonru Ginting dan pak Khrisna Pabichara mbak Rie.
Dalam setahun, menghasilkan 1 novel. Sudah kebayang betapa seriusnya Falconer dalam menggarap novelnya :)
ReplyDeleteIya kaka Akin. Di Indonesia, orang harus berjuang menyelesaikan jauh lebih banyak daripada itu untuk bisa hidup :)
Deletemudah-mudahan mbak juga bisa seperti colin folconer ya produtif dalam menulis novel
ReplyDeleteAamiin. Terimakasih do'anya mbak Lid :)
DeleteInformasi yg sgt menarik nih Niar...inspiratif sekali. Beruntungnnya bisa ikutan lgsg seminar ini ya Niar... thx for share..
ReplyDeleteIya kak Al ... alhamdulillah ... Sama2. Terimakasih sudah membaca :)
Deletehehe, kapan yah aku jadi novelis. Palingan novelis dgn uang sendiri hehe maksdnya publishing. Pengennya bisa diterima di pnerbit tanpa perlu mengeluarkan uang hehe... cemumuth.
ReplyDeletewah infonya luar biasaya yah mb,. Setidaknya mereka memberikan gamabran jelas utk kita yg akan siap2 menjadi novelis.
Sekarang banyak penerbit yang tidak menyeleksi penulis. Yang penting bisa membayar Annur :)
DeleteYaa ... kita2 Colin ini bisa ditiru :)
postingan yg inspiratif mbak, sennag sekali bisa menghadiri seminar itu ya mbak, jadi pembaca blognya mbak kebagian juga ceritanya :)
ReplyDeleteAlhamdulillah berkesempatan hadir mbak Ely. Mudah2an bermanfaat buat banyak orang :)
DeleteMantep banget...
ReplyDeleteKalau di luar negeri profesi penulis tuh terjamin ya...
Dapet duitnya banyak, hihihi~