Kalimat
ini disampaikan guru Affiq – sulung saya yang duduk di bangku kelas 6 SD, di
sebuah sekolah dasar milik pemerintah di Makassar.
Saat
itu saya meminta waktu khusus Ibu Mila (nama disamarkan), usai rapat dengan
orangtua murid kelas 6. Saya memintanya waktunya secara khusus untuk mendengar
uneg-uneg saya tentang penanganan Affiq. Meski Affiq meraih predikat juara
kelas, saya memiliki kesulitan dalam menghadapinya sehari-hari. Saya pikir,
kami bisa bekerja sama. Saya minta tolong ibu Mila menasihati Affiq sehubungan
hal tersebut karena sulung saya ini terkadang lebih menuruti gurunya ketimbang
saya.
Ibu
Mila kewalahan menghadapi murid-muridnya yang sebenarnya jumlahnya tak banyak.
Hanya 26 orang. Ke-26 orang ini boleh dikata berasal dari kalangan golongan
menengah ke bawah. Orangtua murid yang cukup sadar bahwa penanganan pendidikan
anak-anak mereka butuh kerja sama antara orangtua dan guru hanya segelintir.
Buktinya, waktu rapat hari itu saja hanya 10 orangtua yang hadir.
“Sehari-harinya,
murid –murid yang mengerjakan pekerjaan sekolah dan pekerjaan rumah bisa
dihitung jari. Saya tidak tahu, mau melakukan apa. Dalam hal disiplin pun,
banyak yang kurang. Saya sudah pernah menghukum dengan menyuruh mereka
membersihkan kelas misalnya, tapi tidak mempan,” keluh ibu Mila kepada para
orangtua murid.
“Jadi
saya harus bagaimana? Orangtua murid seharusnya membantu juga di rumah. Pantau
anaknya, Bu, Pak. Kalau Anda tak bisa membantu mereka mengerjakan pekerjaan
rumah, tak usah. Tapi dampingi mereka mengerjakan pekerjaan rumah,” lanjutnya
lagi.
Kemudia
wajah ibu Mila menatap kepada 2 orang ibu yang anaknya sangat bermasalah dalam
hal pelajaran. “Bagaimana, Bu? Ibu-ibu bilang akan mengusahakan anak-anaknya
supaya bisa belajar dengan baik?” tanyanya.
“Anak-anak
Ibu tidak mengerjakan pe er. Jangankan pe er, pe es – pekerjaan sekolah saja,
mereka malas mengerjakannya. Bagaimana ini, Bu? Tolong pantau mereka di rumah.
Selalu ada pe er Saya berikan. Tidak selalu dalam bentuk soal yang harus
dijawab, bisa dalam bentuk hafalan.” Ibu Mila menghela nafas.
“Katanya
tidak ada pe-er,” seorang ibu mencoba membela diri. “Ada itu, Bu,” sanggah ibu
Mila.
Saya
menangkap raut wajah tak yakin dari ibu yang membela diri itu. Saya berseloroh,
“Mesti tiap hari ditanya, adakah pe ernya atau tidak.” Ibu itu mestinya
mendengar seloroh saya, karena kami duduk nyaris berdekatan. “Dia bilang tidak
ada pe er,” ibu itu mengatakan hal itu dengan ragu-ragu.
Melihat
ekspresinya, saya tak yakin kalau ibu itu tiap hari menanyakan kepada anaknya
mengenai ada tidaknya pekerjaan rumah. Terhadap Affiq saja, saya sering
dibuatnya gondok setengah mati. Tidak selalu pekerjaan rumah mau dikerjakannya
tanpa disuruh. Saya terpaksa berkoar-koar, bolak-balik mengingatkannya.
Beban
kurikulum anak SD sekarang berat. Bahan-bahan pelajaran yang dulu diajarkan di
tingkat SMP, sudah banyak yang ditransfer ke sekolah dasar. Sementara masih
banyak orangtua yang merasa pendidikan anak-anak mereka adalah urusan sekolah
dan guru semata. Bagi mereka, memasukkan anak-anak itu ke sekolah sudah cukup.
Padahal
bagi kebanyakan anak, sekadar suruhan tak cukup. Beban pelajaran sulit diolah
dalam otak mereka. Bisa jadi karena guru tak dapat atau tak mampu
mentransfernya dengan baik ke benak mereka atau memang otak mereka yang tak
mampu menerimanya. Sementara orangtua mereka sama sekali tak sadar bahwa mereka
perlu “campur tangan” dalam hal ini.
Kepada
ibu Mila, saya memaparkan satu lagi uneg-uneg saya, “Saya suka mengamati sampai
di mana pelajaran Affiq di sekolah, Bu. Dan kalau ternyata bahan pelajarannya
belum habis menjelang ulangan umum semester genap, saya stres sendiri. Apalagi
Affiq kalau disuruh belajar, selalu beralasan ‘Belum diajar oleh ibu guru’.”
Saya
menatap ibu Mila, ia tampak mendengarkan dengan baik apa yang saya keluhkan.
“Jadi
Saya bilang sama Affiq ‘Kalau Mama yang bikin soal, bisa diatur. Tapi ini kan
bukan, soalnya dibuat oleh pegawai Depdikbud. Dan mereka tak peduli Kamu sudah
belajar di sekolah atau belum!’,” lanjut saya.
Sejak
kelas 3 SD, soal-soal ulangan untuk kenaikan kelas di sekolah-sekolah milik
pemerintah di kota kami memang dibuat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
kotamadya. Jadi “stres” yang saya alami ini sudah bertahun-tahun lamanya karena
materi pelajaran yang seharusnya selesai di semester genap (bahkan juga di
semester ganjil) tidak ada yang tamat. Sehingga saya harus bersitegang dengan
Affiq setiap menjelang ulangan umum semester genap diselenggarakan.
“Itu
juga kesalahan Saya, Bu.” Saya tak menyangka ibu Mila mengakui hal ini.
“Teman-teman
Affiq tingkat pemahamannya tak sama dengan Affiq. Banyak yang masih jauh di
bawah Affiq. Jadi saya tak bisa maju terus. Saya merasa harus mengulang-ulangi
materinya. Jadi nanti Saya bilang ke Affiq kalau diajar di rumah, harus diikuti
ya Bu?”
Saya
membayangkan dilema yang dihadapi ibu Mila. Pasti sulit berada di posisinya.
Dahulu, ada guru Affiq yang tak mau mengaku bila materi yang belum selesai
diajarkan, ditanyakan dalam ulangan umum. Guru itu bahkan ngotot sudah
mengajarkannya. Dengan mau mengakuinya, membuat saya salut pada ibu Mila.
Di
akhir pertemuan ibu Mila meminta maaf secara khusus kepada kedua ibu tadi
karena telah menegurnya di depan orangtua-orangtua yang lain. Ia pun berkata
kepada saya akan menegur Affiq secara pribadi, tidak di depan teman-temannya.
¨¨¨
Coba
saja perhatikan materi yang harus ditelan anak-anak kita di sekolah. Pada mata
pelajaran IPA, sudah terkandung pelajaran Biologi (sudah ada istilah bahasa Latin
yang harus dihafal seperti materi sistem pernapasan, peredaran darah, dan macam-macam
cara berkembang biak makhluk hidup. Juga ada pendidikan seks, dan lain-lain).
Selain itu terkandung juga pelajaran Fisika (seperti materi yang membahas
berbagai hal tentang macam-macam bentuk energi dan lain-lain).
Pada
mata pelajaran IPS terdapat begitu banyak hal yang harus mereka hafal. Sejarah Indonesia
sudah terkandung di sini, mulai dari zaman penjajahan Jepang, Belanda,
perjuangan kemerdekaan, pergerakan nasional, dan sumpah pemuda. Selain harus
menghafal urutan peristiwa, tanggal-tanggalnya, mereka juga harus menghafal
tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.
Juga
ada materi pelajaran Geografi, seperti nama-nama gunung, danau, wilayah-wilayah
dataran dan laut di Indonesia termasuk sejarah pemekaran provinsi-provinsi
baru, kenampakan alam dan sosial negara-negara tetangga, peran Indonesia di era
globalisasi (antara lain membahas kerja sama antarnegara seperti ASEAN, MEE,
APEC, AFTA), dan lain-lain.
Pelajaran
PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) pun menuntut mereka menyediakan ruang memori
yang besar agar bisa menghafal materi-materi disajikan. Mereka harus menghafal
tugas-tugas lurah, camat, sekretaris lurah, sekretaris camat, beserta bawahan
mereka, gubernur, walikota, presiden, wakil presiden, anggota DPR, anggota MPR,
proses perumusan panca sila, proses pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah
di Indonesia, dan lain-lain.
Masih
banyak lagi yang harus mereka kuasai. Untuk mata pelajaran – mata pelajaran
yang memiliki guru khusus, mungkin kita masih bisa menaruh harapan kiranya
guru-guru ini mampu mentransfer materi-materi yang berjubel itu dengan cara
yang pas ke benak anak-anak karena biasanya mereka memiliki latar belakang
pendidikan yang sama dengan mata pelajaran yang mereka ajarkan.
Tetapi
untuk mata pelajaran – mata pelajaran yang harus ditangani sendiri oleh guru
kelas, hal ini menjadi teramat sulit. Banyak di antara guru-guru ini yang
mengeluh karena kapasitas mereka terlalu dituntut menjadi super dalam
membawakan materi-materi yang tidak sedikit itu. Di sekolah Affiq misalnya,
bidang-bidang studi yang memiliki guru khusus hanya Pendidikan Agama, Bahasa
Inggris, Olah Raga, Seni Budaya dan Keterampilan, dan sebuah mata pelajaran
muatan lokal – GPQ (Gerakan Pembelajaran al-Qur’an). Tugas guru kelaslah menguasai
dan mengajarkan bidang-bidang studi yang lain.
Melihat
beban kurikulum yang berat saat ini, idealnya mata pelajaran IPA misalnya,
dibawakan oleh 2 guru, yang berlatar belakang pendidikan Fisika dan yang
berlatar belakang pendidikan Biologi. Dan mereka harusnya memiliki kemampuan
memberikan pelajaran IPA dengan cara yang mudah dimengerti anak usia sekolah
dasar, bukan sekadar menghafal.
Orang-orang
yang bergelut dalam dunia pendidikan seharusnya tahu, pola mengajar siswa SMP
dan SMA tak sama dengan pola mengajar siswa SD. Masih banyak guru (apalagi di
sekolah-sekolah milik pemerintah) yang tidak bisa membedakan hal ini. Mengajar
menurut mereka adalah masuk kelas, isi absen, menerangkan sedikit, menyuruh
anak-anak mengerjakan latihan/PR, dan menyuruh anak-anak menghafal, lalu memberi
PR. Yang paling konyol, masih banyak yang suka menyuruh murid-muridnya menyalin
kembali isi buku cetak ke buku tulis! Padahal mengajar anak-anak SD seyogianya
mengajak mereka bergembira dengan mata pelajaran itu, seperti dunia mereka yang
selalu ceria, dunia yang tanpa beban.
Di
sisi lain. Saat ini menjadi guru teramat sangat mudah. Bila di sebuah institusi
pendidikan butuh waktu 2 tahun dalam mengambil akta mengajar, ada kampus-kampus
lain yang memudahkannya. Di kampus-kampus itu, hanya butuh waktu 6 bulan untuk
mendapatkan akta mengajar.
Sekarang,
lulusan S1 apapun bisa menjadi guru. Tak masalah bila mereka benar-benar
mempelajari bagaimana cara mengajari anak sekolah dasar (paham kurikulum, tahu
metode dan psikologi pendidikan) misalnya. Sayangnya banyak yang tidak tahu. Di
sekolah Affiq misalnya, pernah terjadi seorang guru Agama, baru hari pertama
mengajar langsung menyuruh murid-murid kelas 1 menulis
“Bismillahirrahmanirrahim” dalam huruf Arab secara bersambung. Juga pernah guru
kelas 2 memberikan soal pengurangan yang hasilnya negatif padahal anak kelas 2
SD belum mempelajari hal ini. Juga ada guru-guru yang tidak bisa mengerjakan
soal penjumlahan dan perkalian bersusun.
Sering
pula guru-guru salah dalam mengajar. Misalnya ada guru yang melangkahi “pra
syarat” dalam pelajaran Matematika. Padahal untuk bisa mengerjakan soal dalam
sebuah bab, murid-murid harus menguasai hal yang tercantum dalam pra syarat –
hal yang harus dikuasai mereka sebelum masuk ke inti bab.
Di
sekolah-sekolah swasta yang berbayar mahal, permasalahan kapabilitas guru
seperti yang saya tuturkan di atas sepertinya bukan masalah. Di sekolah-sekolah
milik pemerintah seperti sekolah anak saya, hal ini masih menjadi masalah. Hal
ini dikarenakan:
- Untuk menjadi guru, seleksinya tidak ketat. Tidak seperti seleksi untuk menjadi pegawai BUMN misalnya. Oleh karena itu kapabilitas guru menjadi tanda tanya besar.
- Selama mengajar tidak ada pemantauan yang signifikan mengenai kapabilitas guru dalam mengajar, menyangkut penguasaan materi, pemahaman dan penguasaan psikologi pendidikan, dan pemahaman dan penguasaan metode mengajar yang tepat untuk anak usia sekolah dasar.
Beda
dengan zaman saya SD dulu. Saya sekolah di SD negeri tapi tak pernah ada guru yang salah dalam mengajar. Semua
guru di mata saya hebat, mereka menguasai semua mata pelajaran dengan teramat
baik. Mereka dapat menjelaskan dengan amat baik, juga bisa menjawab pertanyaan
dengan baik. Padahal guru yang mengajar secara khusus hanyalah guru Agama dan
Olahraga, sebagian besar diajar oleh guru kelas.
Yah,
semoga ke depannya ada perbaikan yang berarti bagi kapabilitas guru – khususnya
guru-guru yang mengajar di SD-SD milik pemerintah. Karena, mau tidak mau kapabilitas
mereka berpengaruh terhadap pondasi pengetahuan anak-anak kita. Dan pondasi itu
tentunya akan menjadi bekal bagi masa depan anak-anak kita.
Makassar, 14 Oktober 2012
Tulisan ini diikutkan pada Lomba Blog Gerakan Indonesia
Berkibar "Guruku Pahlawanku"
Silakan juga dibaca:
Share :
Peran orangtua murid memang sangat diperlukan dalam proses belajar/pembelajaran siswa untuk menunjang pembelajaran di sekolah, ini dikarenakan jam belajar formal (sekolah) siswa sangat terbatas...
ReplyDeleteMateri SD yang banyak terkadang membuat saya pribadi kewalahan mengejar dateline UTS ataupun UAS buk,
dan untuk pelajaran tertentu yang menggunakan materi pra-syarat harus benar-benar ditekankan dulu konsepnya agar siswa mudah untuk naik ke jenjang materi selanjutnya, misalnya materi perkalian pada kelas 2 SD sebelumnya siswa harus tahu betul konsep tentang penjumlahan, dikarenakan sejatinya perkalian adalah penjumlahan berulang...
Usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru sepertinya sudah mulai dijalankan tahun ini pada penerimaan cpns keguruan, yaitu dengan melalui 2 tahap seleksi. Tes Kompetensi Dasar (TKD) dan Tes Kompetensi Bidang (TKB) buk...
Semoga Pendidikan di Indonesia semakin berkembang ke arah yang positif!! :)
Salam buk,
Iya benar pak guru. Dengan beratnya beban kurikulum sekarang, jam belajar di sekolah jadi demikian terbatas. Saya perhatikan pada anak saya, sudah bertahun2 lamanya dalama setiap harinya belum tentu semua jadwal roster bisa dipelajari. Ada 3 mata pelajaran, tapi rata2nya hanya 2 yang bisa dipelajari di sekolah.
DeleteKalau melalui jalur penerimaan CPNS keguruan baguslah seperti itu pak guru, tapi banyak juga guru yang masuk dengan cara honor dulu. Nah, mereka inilah yang amat dipertanyakan kapabilitasnya.
Aamiin. Semoga pendidikan kita berkembang ke arah yang lebih baik. Senang sekali komentar pertama di tulisan ini berasal dari seorang guru.
Salam dari Makassar, pak guru :)
pejabat yang bikin kurikulum mikirnya anak kota doang
ReplyDeletega mikir yang di luar kota keberatan dengan mata pelajarannya.
tapi diantara semua guru, yang masih beneran dihargai kayaknya guru sd deh. smp apalagi sma sepertinya sudah mulai dipandang sebelah mata oleh anak didiknya
miris..
Kalo anak Makassar termasuk anak kota, mas Rawins ... banyak sekali anak kota ini yang over loaded dgn model kurikulum sekarang. Di Jakarta pun saya kira begitu juga. Anak2 yang si SD2 pemerintah, bagaimana nasibnya ya?
DeleteAtau sebenarnya kurikulumnya masuk akal tapi penerapannya yang ketinggian? Entahlah :|
at anak kota juga berat kok.. kl pengalaman sy liat kurikulum sepupu2 sy yg sklh di SD2 negeri kayaknya lebih santai ya mbak.. jam sklnya pendek2..
DeleteKurikulum setahu saya di mana-mana sama, mbak Chi. Pelaksanaannya yang santai, termasuk di sekolah anak saya. Itu menjadi beban tersendiri buat saya. Bahan pelajaran yang ada di kurikulum harus habis sementara guru tak selalu menghabiskan materinya.
Deletesip! seandainya mama gue kayak Bu Mugniar! #ups
ReplyDeleteSip #eh? :D
Deletememangb berat menjadi seorang guru, terlebih jika guru itu betul betul ingin mendidik dan mengajar pada anak didiknya, tidak sekedar mentransfer ilmu. Selain dibutuhkan ketrampilan mengajar juga diperlukan kesabaran yang sangat apalagi guru SD, kalau istri saya guru Mts. itupun juga hampir sama batapa susah nya mengatur, maka tanpa kerjasama ortu dan guru sulit mencapai hasil yang maksimal
ReplyDeleteIya Pak ... tidak semua orangtua sadar harus ikut dalam pendidikan anaknya ya Pak. Berarti di tempat Anda sama di tempat saya :)
Deleteharus ada hubungan segitiga emas ya mbak, antara orangtua ,murid dan guru supaya kegiatan belajar bisa berjalan dnegan baik
ReplyDeleteIya mbak Lid ...
Deletesaya juga sering geleng-geleng kepala ketika menemani anak-anak mengerjakan PR di rumah saya; mereka adalah beberapa anak tetangga yang orangtuanya "angkat tangan" menghadapi PR anak-anaknya; jadilah mereka berbondong-bondong ke rumah saya....
ReplyDeleteSemoga sukses ngontesnya ya, Mbak.
Mereka "angkat tangan" di saat seharusnya mereka "campur tangan" ya. Untung ada mas Akhmad yang bisa ditempati anak2 mereka untuk bertanya. Kalau tidak, pilihan satu2nya ya les (kalo mau berhasil)
DeleteTerimakasih mas Akhmad :)
teman saya pernah curhat, temannya -- yang lulusan pendidikan fisika dan sekarang jadi guru -- malah minta diajarin kawan saya tentang salah satu materi pelajaran fisika, padahal teman saya itu lulusan statistik :'(
ReplyDeletekalau guru tidak menguasai materi, bagaimana mau mentransfer ilmu?
btw, beban kurikulum memang sudah parah. adik saya sering curhat stres karena materi pelajaran yang susah. dia masih SMP tapi materinya seperti anak SMA.
untung saya udah lulus, nggak merasakan sekolah yang bikin stres :D
Hah? Koq bisa begitu ya? Guru Fisika, latar belakang pendidikan fisika saja bingung? Mudah2an tdk banyak yang seperti itu ya Milo.
DeleteAnak SD sdh susah. SMP apalagi.
Untung juga saya sudah lama lulusnya :D
semoga menang ya mbak lombanya
ReplyDeleteAamiin. Terimakasih mbak Ely :)
DeleteGimana anak-anakku nanti ya? Huhuhu...
ReplyDeleteMudah2an nanti tak ada yang kreatif, menurunkan semua materi SMP ke SD, mbak Ley :D
Deletemenurut saya,yang salah dari guru sd,smp,sma sampai perguruan tinggi adalah sangat mendewakan apa yang dinamakan nilai bukan kualitas dari masing2 person baik itu secara moral & agama
ReplyDeleteYaah .. krn sistem pendidikan kita menuntutnya seperti itu. Semua diukur dengan nilai. Bukan melihat proses belajar si anak, dan kualitas lain yang tak terlihat ...
Deleteterkdang memang kita bisa sadar bahwa berat banget bebannya entah yang bikin kurikulum ngaco ato gimana ..
ReplyDeleteterus gurunya juga gitu ..
yah, meski masih ada juga si guru yang bogus
sukses ya mbak :)
Ya .. begitu deh :D
DeleteTerimakasih yaa
Betul Niar (hehehe..mulai sekarang mbaknya aku copot ya), bahwa masalah terbesar dalam intistusi pendidikan resmi Indonesia adalah mutu guru..Saya teramat sering melihat pengajar tak membawa citra guru sama sekali. Bagi mereka mengajar adalah sumber ekonomi atau pekerjaan, jadinya ya gitu deh..:(
ReplyDeleteKeren ini lomba kayaknya. mau ikut ah..Sukses ya Niar...
Begitu dong kak, biar lebih akrab .. panggil saya Niar saja.
DeleteItulah ... guru tak bisa dijadikan sekadar profesi seperti pegawai karena mereka menghadapi manusia. Apalgi anak2 yang sedang berkembang. Banyak guru yang tak menyadarinya. Sayang sekali.
Saya salut sama guru2 yang sangat menyadari hal ini. Tak banyak, tapi ada. Mereka sangat berdedikasi
Senada dengan Mbak Evi dan tanpa ada niat utk mendiskreditkan peran mulia guru, bhwa skrg ini banyak sosok guru yg jauh dr sosok guru jaman dulu yg memiliki dedikasi utk mendidik dan mengajar dengan sepenuh hati.
ReplyDeleteAda yg blg sama saya, bhw sebenarnya anak-anak yg les [pd gurunya] tidak semuanya kurang pintar tp krn 'takut' nilainya 'berubah' jeblok walaupun dia menguasai materi pelajaran tsb.
Waktu SD saya pernah les karena takut tidak dapat informasi mengenai soal yang masuk. Gurunya suka ngasih bocoran soal sama yang les sementara yang tidak les tidak dikasih. Padahal sebenarnya saya tak butuh les. Untungnya ortu akhirnya memasukkan saya les. Daripada daripada .... :D
DeleteWow, sesuatu banget deh pembahasannya mbak niar ini :) dalem gitu ^^ hihi
ReplyDeleteAH masak sesuatu? Kenapa komennya pendek sekali?
Delete:D
Hmmm kapabilitas guru? kayaknya bener juga Bun, soale sekarang banyak universitas instan yang diminati orang-orang yang ingin menjadi guru tanpa peduli kualitas dedikasinya buat pendidikan.
ReplyDeletesukses lombanya Bun.. salam buat si kecil ya :)
Sekarang katanya jaman instan. Apa2 maunya mudah mas Lozz :D
DeleteTerimakasih ...
Selain di sekolah pendidikan dapat diperoleh pada keluarga dan masyarakat. Adanya kerjasama walimurid dan guru adalah langkah yang sudah bagus, mengenai hasilnya masih kurang memuaskan, ini hanyalah proses saja, masih bisa diperbaiki.
ReplyDeleteDalam satu kelas terdapat murid yang memiliki latar belakang dan kemampuan daya serap yang berbeda, betapa sulitnya menjadi guru ya…..? Makanya sekolah tidak mentargetkan ketuntasan 100%. Untuk sekolah SSN saja biasanya menetapkan KKM 75, artinya dengan memperoleh nilai 75 anak tersebut sudah dianggap tuntas.
Masalahnya hasil akhir tidak menolerir perbedaan siswa itu, pak guru. Hasil akhir pembelajaran anak2 tetap berupa angka2 dan kelak akan berpengaruh kepada kelulusannya dan pilihan SMP yang bisa dimasukinya.
DeleteLogikanya, anak2 tetap harus mendapatkan angka tertinggi untuk mendapatkan hasil yang baik. Apalagi ujian2 kenaikan kelas dibuat oleh pegawai dari Depdikbud yang juga tidak menolerir apakah semua materi tuntas diberikan guru atau tidak.
Sy menganggap - dengan kenyataan itu: Nilai 75 tidak pernah tuntas.
Pemantauan guru di dalam kelas disebut supervisi, ini telah dilakukan oleh kepala sekolah, pengawas, serta pejabat disdik. Namun kemampuan guru, kepsek, pengawas tak sama dan ada batasnya,
ReplyDeleteKemampuan akting guru di dalam kelas hingga kini tidak sama, ini yang harus dimaklumi…., manakala anak kita mendapatkan guru yang hebat, alhamdu lillah, tetapi jika tidak, orangtua perlu membantunya dalam hal belajar.
Memang kemampuan masing2 orang tidak sama, pak guru. Hanya saja saya melihat koq untuk kemampuan standar saja (seperti masalah2 yang saya tuliskan di atas) tidak terpenuhi?
DeleteSementara anak2 kita harus memenuhi standar kelulusan. Semakin rendah nilai mereka semakin sulit lulus dan masuk SMP terbaik.
Orangtua memang selalu harus memantau pelajaran anaknya. Dan banyak orangtua yang menyerah karena semakin beratnya beban pelajaran anak2. Andai ada sensus mengenai berapa banyak orangtua yang masih bisa memahami pelajaran anak2nya dan berapa banyak yang tidak mampu, kita pasti kaget.
kalau untuk orang yang berduit, masalah bisa diselesaikan dengan les privat. Lha kalau yang tidak mampu bagaimana? Sementara otak mereka pun tak mampu membantu pelajaran anak2nya? Yang parah kalau mereka sendiri tak sadar kalau mereka harus "campur tangan" dalam pembelajaran anak2 mereka di sekolah.
Penyebaran guru sampai kini tidak merata, makanya ada guru yang mengajar bukan jurusannya. Adanya sertifikasi guru memungkinkan guru harus mengajar sesuai jurusannya, ini hanya menunggu waktu, saatnya pasti tiba.
ReplyDeleteKurikulum semakin berat, semoga dapat didengar oleh yang berwenang, hal ini biarlah dipikir oleh ahlinya. Begitu pula saat perekrutan/seleksi menjadi guru
Bagi saya, sebenarnya tak masalah guru mengajar bukan di jurusannya asal memang benar2 menguasai materi, tahu psikologii pendidikan, dan tahu menyampaikan pelajaran dari benaknya ke benak anak2 dengan cara yang dimengerti oleh anak2.
DeleteHanya saja tuntutan kurikulum di lain pihak koq makin berat ya. Misalnya seperti bahan2 Fisika dan Biologi yang sudah dipelajari anak2 SD sekarang ini. Kalau yang dari jurusannya kan lebih menguasai dan bisa membawakannya dengan lebih baik.
Nah ... jika penyebaran guru tak merata, mengapa para penentu kebijakan mengenai kurikulum ini membuat kurikulum menjadi semakin berat?
Sementara sumber daya tidak memadai? Aneh juga ... :|
Yaah mudah2an ada yang mendengar hal ini ya Pak.
Para orang tua yang memiliki anak pintar/cerdas sebaiknya sarankan untuk sekolah guru, ini akan menjadi modal utama dalam perbaikan mutu pendidikan mendatang.
ReplyDeleteDemikian juga para intelektual muda yang idealis… berburulah menjadi PNS terutama GURU, untuk membenahi mutu pendidikan sekarang
Hal yang paling menarik adalah kini masyarakat mulai menuntut hak atas pendidikan yang bermutu. Saya bangga dengan masyarakat kita, dan sebagai guru turut tertantang akan hal ini.
Semoga pendidikan kita semakin membaik di masa mendatang
Itu pikiran yang bagus pak guru. Suami saya jg pernah bilang, sayangnya orang2 cerdas kebanyakan tak berminat menjadi guru. Kenapa ya? Apa karena masalah kesejahteraan?
DeleteBtw, terimakasih banyak pak guru atas komentar2nya. Saya senang sekali pak guru mau meluangkan waktunya di blog ini.
Aamiin, semoga semakin baik. Semoga sukses untuk pak guru.