Sulung saya Affiq, dulu punya minat belajar. Seperti pada anak-anak lain,
daya serap terbesarnya adalah ketika ia punya kesadaran sendiri dalam
mempelajari sesuatu. Misalnya ketika mengenal huruf. Setiap sempat, saya
mengenalkan huruf. Sedikit-sedikit dulu. Misalnya mulai huruf a. Huruf a dulu
selama 2 hari. Setelah itu baru huruf b, juga selama 2 hari.
Sekitar lima hinga sepuluh menit saja, setelah itu ia bermain yang lain.
Tetapi kalau minatnya sedang tinggi, bisa saja lebih lama. Di saat minat
belajarnya sedang tinggi itulah, kesempatan mengajarkan lebih banyak lagi
padanya. Saya baru tahu ternyata susu
tanpa gula tambahan sangat bermanfaat bagi tumbuh-kembang dan konsentrasi anak. Affiq dulu
minum susu tanpa gula tambahan.
Affiq sangat aktif bergerak. Ia tak bisa diam meski di dalam rumah, bahkan
hingga sekarang di usia sebelas tahun. Syukurnya ia cepat bisa membaca, di saat
ia masih berusia tiga tahun lebih. Ini bukan karena saya yang hebat tapi lebih
karena besarnya potensi diri dan minat belajarnya. Saya hanya memanfaatkan
saat-saat di mana ia bisa berkonsentrasi dengan sungguh-sungguh, yaitu ketika
minat belajarnya sedang tinggi.
Foto wisuda TPA, saat Affiq wisuda |
Biasanya jika sedang sangat berminat dan hatinya sedang senang, ia banyak
bertanya. Di saat itu pula ia mudah menyerap pengetahuan. Maka saya berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Huruf Hijaiyyah juga cepat dihafalnya. Ia
suka belajar sendiri dari buku Iqra’. Tapi secara suka-suka. Maksudnya, tidak
berurutan Iqra’ 1 dulu, dilanjutkan Iqra’ 2, 3, dan seterusnya. Saya
membiarkannya saja, selama dia mau belajar dan tak merusak buku.
Bila banyak anak diajar mengaji secara khusus oleh guru mengaji pada usia lima
tahun, saya tak memberlakukannya pada Affiq. Saya tahu persis wataknya. Di usia
itu ia masih tak suka “dipaksa” belajar. Menentukan jadwal mengaji pasti
merupakan sebuah paksaan baginya. Sudah tentu hal tersebut tak bakal mendatangkan
konsentrasi bagi Affiq.
TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) amat dekat dengan rumah kami, hanya
berjarak sekitar tiga puluh meter. Tetapi apapun yang menarik perhatiannya
antara rumah dan TPA, bisa saja membuatnya berpaling dan tidak melakukan apa
yang seharusnya ia kerjakan. Itu pula yang membuat saya tidak memaksakan ia
untuk belajar mengaji di TPA.
Piala Affiq |
Di samping itu, sejak kelas satu sekolah dasar Affiq bisa mengikuti
pelajaran Agama Islam dan pelajaran baca-tulis al-Qur’an dengan baik. Tak ada
kendala berarti.
Saya pernah bertanya kepadanya, “Mau tidak, belajar mengaji di TPA?” Ia
menolak keras. Saya membiarkannya. Pertanyaan itu kemudian saya ulangi beberapa
waktu kemudian di saat Affiq duduk di kelas tiga sekolah dasar. Diiringi dengan
penjelasan setengah membujuk tentang pentingnya belajar mengaji di TPA. Saya
mencontohkan adik sepupunya yang tinggal di luar kota. Adik sepupunya sudah bisa
membaca al-Qur’an setelah khusus belajar mengaji di masjid.
Kalau dari segi kemampuan, saya bisa saja mengajari Affiq. Tapi saya
kesulitan mendisiplinkannya belajar. Ia selalu saja mau bermain bila dengan
saya. Saya butuh orang lain untuk mengajarinya. Kalau yang mengajarinya orang
lain, keinginan bermainnya bisa lebih diredam. Sementara di usia Affiq yang
sudah masuk delapan tahun menurut saya, sudah seharusnya menerapkan disiplin
belajar padanya termasuk belajar mengaji. Menguasai buku Iqra’ jilid 1 sampai
dengan 6 saja tidak cukup. Ia harus bisa membaca kitab al-Qur’an.
Syukurnya, penjelasan saya bisa diterima Affiq. Ia menyatakan bersedia
belajar mengaji di TPA. Kesediaannya memungkinkan datangnya konsentrasi
belajar. Buku Iqra’ 1 sampai dengan 6 dengan cepat diselesaikannya. Kitab al-Qur’an
pun bisa dengan cepat dibacanya. Tajwid dipelajarinya di TPA, juga di sekolah.
Ini semua bukan berarti proses belajar mengajinya berjalan mulus. Semangat
belajarnya mengalami pasang-surut. Berkali-kali saya harus bersitegang karena
ia menolak pergi mengaji. Guru mengajinya pernah terpaksa menghukumnya dengan
memundurkan bacaannya sebanyak tiga halaman karena ia bolos mengaji selama dua
minggu. Sejak dihukum, Affiq baru benar-benar merasakan ada sanksi yang jatuh
padanya bila tak sungguh-sungguh belajar mengaji. Ia jera. Beberapa waktu
kemudian, hukuman datang dari saya atau papanya jika ia bolos mengaji walau
hanya satu hari.
Tahun lalu, Affiq lulus ujian TPA yang diselenggarakan oleh departemen
Agama di kota kami. Alhamdulillah, ia berhasil menjadi wisudawan terbaik di
antara 36 santri yang berasal dari beberapa TPA di kota kami yang ikut ujian
itu. Ia pulang ke rumah membawa piala kemenangannya dengan wajah sumringah.
***
Buku-buku karya anggota IIDN |
Menuliskan ini mengingatkan saya untuk lebih memperhatikan Athifah dan
Afyad – si tengah dan si bungsu yang berusia enam dan tiga tahun. Saya sadar, pada
Affiq dulu perhatian saya tercurah sedemikian besarnya karena ia sulung dan
rentang usianya cukup jauh dari Athifah: lima tahun. Kini saya begitu kewalahan
dengan rutinitas sehari-hari yang tanpa asisten rumahtangga. Meladeni ketiga
permata hati setiap harinya saja terasa begitu menyita waktu.
“Nak, besok belajar Iqra’ yuk,” ajak saya pada Athifah.
“Kalau masuk es de, Athifah sudah harus bisa baca Iqra’,” lanjut saya.
Athifah diam menyimak. Ia lalu mengangguk, mengiyakan perkataan saya.
“Ah, maafkan Mama ya Nak. Kamu
memang sudah lancar membaca tapi Mama lupa kalau Kamu juga harus menguasai Iqra’
secepatnya,” saya membatin.
Saya hampir lupa, setelah “mengantar” Affiq, saya juga harus “mengantar”
Athifah dan Afyad. Saya sudah punya “patron” dengan Affiq. Seharusnya saya bisa
menerapkannya kepada kedua adiknya. Tentu saja dengan penyesuaian di sana sini
karena karakter mereka berbeda dan beberapa keadaan yang sudah tak sama lagi.
Makassar, Januari 2013
Silakan juga dibaca:
Share :
kali tulisannya sudah top banget mbak, sudah keren banget, ini nih saya hanya ingin bertanya satu hal
ReplyDeletedi foto wisudah itu kok sudah pake toga ya? hehehe...
soal mampu belajar karena mau saa jadi teringat dengan istilah di dunia ini tidak ada orang pintar dan orang bodoh.. yang ada hanyalah orang pintar dan orang malas. :D
Anak2 sekarang, mau TPA mau TK kalo acara kelulusannya disebut wisuda, pada pakai toga lho :D
DeleteMakasih ya dah nyimak :)
Kalau rasa ingin tahunya kuat, kita tinggal membimbing dan mengfasilitasi apa yang menjadi hobi dan keinginannya.
ReplyDeleteIya mas Hadi. Sudah ngerti teorinya mas Hadi, tinggal paraktiknya :D
Deletesaya sih belum pengalaman dalam mendidik anak, tapi mungkin selama kita rutin mengajarinya dan si anak tidak tertekan pasti hasilnya juga baik ya mbak...
ReplyDeleteBegitu kira2 mas Agus :)
Deletehalo mbak....
ReplyDeleteduh...cukup lama saya tak mampir kemari..maaf ya mbak.
Affiq ini hampir sama dengan zidane mbak, sangat aktif.
Zidane juga sampai hari ini belum mau mengaji di TPA dekat rumah. Tapi kalo mengaji di rumah mau. Jadi selama ini ya hanya ngaji dengan saya atau ayahnya. tapi alhamdulillah zidane sudah hampir tamat iqro.
Yang penting anak ada kemauan untuk belajar, kita orangtua pasti sudah senang ya mbak.
Iya mbak. Kalau anaknya mau, biasanya lebih mudah belajarnya ya. Salam buat Zidane mbak :)
Deletewah, keluarga berprestasi nih? saya jadi minder...
ReplyDeleteDuh, biasa saja mas Ibrahim, tidak perlu minder.
DeleteAffiq hebat mba, menikmati dan menjelajahi dunia anak, gak lurus sesuai aturan. mnurut buku parenting ( http://momsbooksclub.blogspot.com/2012/01/ayah-edy-menjawab.html)yg saya baca ketika anak melakukan hal yang justru di larang orangtua/guru karena keingintahuan dan sifat keras kepalanya, sel saraf di otaknya bertambah...
ReplyDeleteAturan sering bikin saya malah mau frustrasi mbak Rina, karena sesuai keadaan jadi saya saat2ini tidak begitu sreg baca buku2 parenting karena sifat anak saya susah untuk menerapkannya :D
DeleteRupanya memang ada yang berpendapat begitu ya: gal lurus sesuai aturan. Makasih mbak RIna, saya menuju link itu ...
jadi keingetan masalah anak saya Mbak. Mau masuk SD tapi belum lancar iqra. Trims sharingnya ya :)
ReplyDelete