6 Januari 2013, Athifah
diundang acara ulangtahun anak tetangga bernama Humaira. Niatnya, saya hendak
membawanya saja, tanpa Afyad (huh emak-emak tega). Karena saya selalu kewalahan membawanya ke mana-mana, selalu saja maunya
menjelajah. Bukannya hanya menjelajah wilayah sang empunya rumah, bila puas di
dalam rumah, ia pasti keluar rumah. Untuk menjelajahi wilayah sekitar rumah.
Tenaganya yang sepertinya tak pernah habis sungguh membuat saya kewalahan.
Acara ulangtahun adalah acara
yang krusial, begitu banyak benda yang bisa dieksplorasi di dalam rumah. Belum
lagi daya tarik ruangan-ruangan dalam rumah dan keadaan sekitar rumah, pasti
amat membuat Afyad berminat. Makanya saya memutuskan untuk tak membawa Afyad.
Mulanya saya sendiri yang
akan mengantar Athifah, tapi karena melihat sikon – Afyad sebenarnya (ia sudah
kelihatan bete), yang tak bisa saya
tinggalkan maka saya memutuskan menitipkan Athifah pada tetangga sebelah rumah.
Pukul 4 sore itu, Athifah sudah siap. Karena Afyad melihatnya sudah berpakaian
rapi dan tahu saja kakaknya mau keluar, jadilah Afyad saya bawa ke tetangga.
“Pergi mi Fia?” saya bertanya pada ayah Fia.
“Ai, pergi mi. Ikut ki sama Mbak,” jawab ayah Fia.
Waduh, telat. Mbak itu
tetangga juga, anaknya – Niko tentu diundang ke pesta Humaira.
Saya menyapu pandangan ke
arah selatan. Ah, masih ada harapan.
Kak Ebo yang tinggalnya tak jauh dari rumah, masih ada depan rumahnya bersama
anak dan adiknya.
“Kak, titip ka’ Athifah sama kita’,” pinta saya.
Kak Ebo menyanggupi.
Lega.
Saya menunggu mereka
berangkat lalu balik badan, hendak pulang ke rumah. Afyad protes, ia menunjuk
ke arah perginya Athifah. Beberapa kali saya mencoba membujuknya namun gagal.
Akhirnya saya meninjau ulang keputusan saya dan menggantinya. Okeh, saya akan bawa Afyad, mungkin tak
perlu sampai di rumah Humaira, cukup di depan rumahnya saja. Atau ... lihat
nanti sajalah.
“Pulang dulu, Nak. Pakai
sepatu,” bujuk saya.
Afyad tak mau.
Mana mungkin saya membawanya
dalam keadaan darurat seperti itu. Kakinya tak beralaskan sama sekali. Tadi itu
saya menggendongnya. Belum lagi baju dan wajahnya masih cemong-cemong.
“Pulang dulu, pakai sepatu
ya. Afyad kan tidak pakai sepatu?”
Afyad mengamuk.
Beberapa warga sekitar
menoleh ke arah kami.
Terpaksa saya menggendongnya
paksa, pulang ke rumah.
Di rumah ia mengamuk lagi. Sama
sekali tak mau pakai sepatu. Ia bahkan berguling-guling di teras yang basah
karena baru kena tempias air hujan, mendemonstrasikan kemarahannya.
Saya menggendong Afyad sejauh
kira-kira 200 meter ke jalan besar. Kami berdiri di pinggir jalan, mengamati
rumah Humaira yang masih 10 meter ke arah barat. Beberapa tetangga sudah
meninggalkan rumah Humaira, melewati kami.
Semenit dua menit, Athifah
dan kak Ebo belum nampak. Lima menit, belum kelihatan juga. Wah jangan-jangan kak Ebo membantu yang
punya hajat. Setahu saya ia dan keluarganya memang akrab dengan ibu Humaira dan
biasa membantunya. Kalau benar kak Ebo sedang membantu ibu Humaira, waduh alamat berapa jam lagi kami harus
menunggu.
Maka saya memutuskan menuju
rumah Humaira saja sambil tersengal-sengal menggendong Afyad. Rupanya kak Ebo
sedang makan. Sudah telanjur dilihat ibu Humaira dan dipanggil masuk, maka saya
“terpaksa” duduk dulu. Mau langsung pamit pulang tidak enak juga.
Afyad juga kebagian balon dan
bingkisan berupa tas plastik jinjing bergambar karakter animasi di film anak-anak
yang berisi aneka camilan. Ditawari soto, saya menolak. Ibu Humaira berkeras
saya harus makan kue. Jadi saya mengambil pudingnya sedikit. Afyad masih kalem,
memperhatikan suasana baru. Biasanya memang dia kalem dulu, sambil starter. Habis makan, saya pamit.
Jreng jreng ... Afyad
tak mau pulang. Ia tak mau jalan. Sepertinya naluri explorer-nya sudah mulai bangkit. Maka terpaksa saya menggendongnya
sambil menggenggam tas bingkisan, balon setangkai, dan payung yang sedari tadi
saya bawa. Rempong juga dan membuat
saya amat terengah-engah. Untungnya saya tak perlu lama-lama menggendongnya,
akhirnya dia ikhlas jalan kaki pulang.
Yah, begitulah punya anak
balita. Rencana apapun bisa saja berubah. Setiap keputusan bisa saja ditinjau
ulang dan diubah J
Makassar, 13
Januari 2013
Silakan juga dibaca:
Share :
wahh senangnya punya kisah menarik seperti ini bersama orang tersayang :) luar biasa.
ReplyDeleteALhamdulillah. Mudah2an tulisan & blog ini kelak menjadi kenangan tentang saya bagi anak2 :)
Deletewah, seru ya mbak, pasti si Afyad ini anak yang imut-imut dan lucu ....
ReplyDeleteYa .. benar :)
DeleteWah, kebayang repotnya Mugniar...tapi itulah yang namanya anak-anak, sekali punya keinginan, sulit buat dibelokkan :D
ReplyDeleteApapun, seru sekali saya baca cerita ini. Dan langsung kepikiran, oh, oh...begitu ya rasanya punya anak laki-laki...anak saya soalnya perempuan, hanya satu pula...hehe
Apa kabar, Mugniar?
Salam sayang buat anak-anak ya!
Kedua anak laki saya lasak semua mbak Irma :D
DeleteSeru.
Alhamdulillah baik mbak. Terimakasih. SAlam buat keluarga :)
nanti aku kalo udah jadi ibu juga kayak tante mugnkin ya :D
ReplyDeleteMungkin yaa :)
DeleteGitu deh anak-anak. Kalo ada maunya, nggak bisa nggak, HARUS.
ReplyDeleteKunjungan sore bu...wah ibu ini mang jagonya tulis menulis ya
ReplyDeletekadang anak2 kalau sudah punya mau begitu ya mbak
ReplyDeleteiia bener banged tuu bu.. kapanpun bisa berubah.. sabar sabar ajja kita nya ;)
ReplyDeleteKebayang saya mba... kalau saya jadi emak2 bagaimana nanti ya?? tuing2 (@.@)/
ReplyDelete